Jakarta (ANTARA) - Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) mengadukan seluruh anggota Komisi Pemilihan Umum RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Jumat.
Koalisi tersebut mendalilkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengabaikan sejumlah putusan pengadilan berkaitan aturan 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan pada Pemilu 2024.
Pengabaian ini berdampak cukup fatal karena menimbulkan sengketa di Daerah Pemilihan (Dapil) VI untuk pemilihan anggota DPRD Gorontalo dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan PKS itu untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU).
"Kami menuntut para penyelenggara ini dinyatakan melanggar kode etik," kata perwakilan koalisi dari NETGRIT Hadar Nafis Gumay kepada awak media di Kantor DKPP, Jakarta.
"Kemudian, tiga orang pimpinan, Ketua KPU (Hasyim Asy'ari), kemudian Pak Idham Holik sebagai Ketua Divisi Teknisnya, Pak Mochamad Afifuddin sebagai Ketua Divisi Bidang Hukumnya untuk dijatuhkan sanksi maksimal, diberhentikan sebagai anggota KPU, kemudian anggota yang lain diberikan peringatan yang keras," ujarnya.
Mantan anggota KPU RI itu meyakini dengan putusan seperti yang mereka minta, penyelenggaraan pemilu berikutnya dapat lebih diharapkan karena tanpa aturan KPU yang tidak proafirmasi caleg perempuan, seharusnya ada 267 orang caleg perempuan lebih banyak dalam surat suara Pemilu DPR RI 2024.
"Jika ditotal dengan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, jumlahnya bisa lebih dari 8.000 (caleg perempuan yang seharusnya masuk surat suara)," jelas Hadar.
Sebelumnya, koalisi yang sama juga pernah mengadukan Hasyim Asy'ari dkk ke DKPP setelah membuat aturan "pembulatan ke bawah" yang mengakibatkan jumlah caleg perempuan diprediksi merosot signifikan pada Pemilu 2024. Namun, ketika itu pemungutan suara belum digelar.
Putusan DKPP waktu itu menjatuhkan sanksi teguran keras kepada semua komisioner KPU RI terkait tindakan lembaga itu mengabaikan kewajiban afirmatif untuk caleg perempuan.
Koalisi tersebut mendalilkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengabaikan sejumlah putusan pengadilan berkaitan aturan 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan pada Pemilu 2024.
Pengabaian ini berdampak cukup fatal karena menimbulkan sengketa di Daerah Pemilihan (Dapil) VI untuk pemilihan anggota DPRD Gorontalo dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan PKS itu untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU).
"Kami menuntut para penyelenggara ini dinyatakan melanggar kode etik," kata perwakilan koalisi dari NETGRIT Hadar Nafis Gumay kepada awak media di Kantor DKPP, Jakarta.
"Kemudian, tiga orang pimpinan, Ketua KPU (Hasyim Asy'ari), kemudian Pak Idham Holik sebagai Ketua Divisi Teknisnya, Pak Mochamad Afifuddin sebagai Ketua Divisi Bidang Hukumnya untuk dijatuhkan sanksi maksimal, diberhentikan sebagai anggota KPU, kemudian anggota yang lain diberikan peringatan yang keras," ujarnya.
Mantan anggota KPU RI itu meyakini dengan putusan seperti yang mereka minta, penyelenggaraan pemilu berikutnya dapat lebih diharapkan karena tanpa aturan KPU yang tidak proafirmasi caleg perempuan, seharusnya ada 267 orang caleg perempuan lebih banyak dalam surat suara Pemilu DPR RI 2024.
"Jika ditotal dengan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, jumlahnya bisa lebih dari 8.000 (caleg perempuan yang seharusnya masuk surat suara)," jelas Hadar.
Sebelumnya, koalisi yang sama juga pernah mengadukan Hasyim Asy'ari dkk ke DKPP setelah membuat aturan "pembulatan ke bawah" yang mengakibatkan jumlah caleg perempuan diprediksi merosot signifikan pada Pemilu 2024. Namun, ketika itu pemungutan suara belum digelar.
Putusan DKPP waktu itu menjatuhkan sanksi teguran keras kepada semua komisioner KPU RI terkait tindakan lembaga itu mengabaikan kewajiban afirmatif untuk caleg perempuan.