Jakarta (ANTARA) - Ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai kongkalikong pembelian emas Antam oleh terdakwa Budi Said dan Eksi Anggraeni serta pejabat PT Antam Tbk lain berpotensi terbukti jika melihat fakta persidangan.
Menurut dia, berbagai informasi dari para saksi di persidangan mengarah pada adanya kongkalikong tersebut, sehingga bisa berakibat pada putusan pidana maupun perdata yang diajukan pada Budi Said di Mahkamah Agung (MA).
"Dengan demikian, ini akan menyelamatkan kerugian keuangan negara," ujar Fickar saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Apalagi, kata dia, sudah ada putusan majelis terhadap Eksi di tingkat banding yang menyatakan mereka bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pada tingkat banding, Eksi divonis 11 tahun penjara, denda Rp600 juta atau kurungan 6 bulan, serta pidana tambahan membayar ganti rugi Rp87 miliar atau kurungan 5 tahun.
Vonis tersebut lebih berat dari tingkat pertama, yakni 7 tahun penjara, denda Rp600 juta, serta pidana tambahan membayar ganti rugi Rp87 miliar atau kurungan 2,5 tahun.
Sementara itu untuk ketiga terdakwa lainnya, yakni Endang Kumoro, Ahmad Purwanto, dan Misdianto sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 11/PID.SUS-TPK/2024/PT SBY, masing-masing divonis 9 tahun penjara dan denda Rp300 juta atau kurungan 6 bulan.
Hukuman itu juga lebih berat dari putusan tingkat pertama, yakni masing-masing penjara 6,5 tahun dan denda Rp300 juta.
Dalam proses persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu, juga terungkap adanya skema korupsi dalam kasus pembelian emas PT Antam oleh Budi Said.
Modus operandi yang digunakan melibatkan sejumlah mantan pegawai Antam, yaitu Ahmad Purwanto, Endang Kumoro, dan Misdianto, di mana masing-masing menerima uang suap sebesar Rp150 juta dari Eksi, yang merupakan broker, atas perintah Budi Said.
"Mereka (para pegawai Antam) seolah-olah melakukan praktik pinjam-meminjam emas dengan Eksi Anggraeni," ungkap mantan Vice President Operation Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Antam Andik Julianto dalam kesaksiannya di persidangan.
Dalam kasus dugaan korupsi jual beli logam mulia emas Antam, pengusaha Budi Said, yang dikenal sebagai crazy rich atau orang superkaya di Surabaya dan mantan General Manager (GM) Antam Abdul Hadi Aviciena terseret sebagai terdakwa.
Dalam kasus itu, Budi Said didakwa melakukan korupsi dengan menerima selisih lebih emas Antam sebesar 58,13 kilogram atau senilai Rp35,07 miliar, yang tidak sesuai dengan faktur penjualan emas dan tidak ada pembayarannya kepada Antam sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp1,07 triliun.
Selain itu, terdapat kewajiban kekurangan serah emas Antam dari Antam kepada terdakwa Budi Said sebanyak 1.136 kilogram berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1666 K/Pdt/2022 tanggal 29 Juni 2022.
Tak hanya didakwa melakukan korupsi, Budi Said juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil korupsinya, antara lain dengan menyamarkan transaksi penjualan emas Antam hingga menempatkannya sebagai modal pada CV Bahari Sentosa Alam.
Atas perbuatannya, Budi Said disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Budi Said juga terancam pidana sesuai dengan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Abdul didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp92,25 miliar dalam kasus dugaan korupsi jual beli logam mulia emas lantaran tidak memonitor pelaksanaan opname stok dari kantor Pulogadung pada 2018.
Padahal, opname stok wajib dilaksanakan secara berkala per triwulan pada semua Butik Antam, termasuk pada BELM Surabaya 01, yang pada tahun 2018 sedang mengalami peningkatan angka penjualan emas yang besar.
Dengan demikian, perbuatan Abdul diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut dia, berbagai informasi dari para saksi di persidangan mengarah pada adanya kongkalikong tersebut, sehingga bisa berakibat pada putusan pidana maupun perdata yang diajukan pada Budi Said di Mahkamah Agung (MA).
"Dengan demikian, ini akan menyelamatkan kerugian keuangan negara," ujar Fickar saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Apalagi, kata dia, sudah ada putusan majelis terhadap Eksi di tingkat banding yang menyatakan mereka bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pada tingkat banding, Eksi divonis 11 tahun penjara, denda Rp600 juta atau kurungan 6 bulan, serta pidana tambahan membayar ganti rugi Rp87 miliar atau kurungan 5 tahun.
Vonis tersebut lebih berat dari tingkat pertama, yakni 7 tahun penjara, denda Rp600 juta, serta pidana tambahan membayar ganti rugi Rp87 miliar atau kurungan 2,5 tahun.
Sementara itu untuk ketiga terdakwa lainnya, yakni Endang Kumoro, Ahmad Purwanto, dan Misdianto sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 11/PID.SUS-TPK/2024/PT SBY, masing-masing divonis 9 tahun penjara dan denda Rp300 juta atau kurungan 6 bulan.
Hukuman itu juga lebih berat dari putusan tingkat pertama, yakni masing-masing penjara 6,5 tahun dan denda Rp300 juta.
Dalam proses persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu, juga terungkap adanya skema korupsi dalam kasus pembelian emas PT Antam oleh Budi Said.
Modus operandi yang digunakan melibatkan sejumlah mantan pegawai Antam, yaitu Ahmad Purwanto, Endang Kumoro, dan Misdianto, di mana masing-masing menerima uang suap sebesar Rp150 juta dari Eksi, yang merupakan broker, atas perintah Budi Said.
"Mereka (para pegawai Antam) seolah-olah melakukan praktik pinjam-meminjam emas dengan Eksi Anggraeni," ungkap mantan Vice President Operation Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Antam Andik Julianto dalam kesaksiannya di persidangan.
Dalam kasus dugaan korupsi jual beli logam mulia emas Antam, pengusaha Budi Said, yang dikenal sebagai crazy rich atau orang superkaya di Surabaya dan mantan General Manager (GM) Antam Abdul Hadi Aviciena terseret sebagai terdakwa.
Dalam kasus itu, Budi Said didakwa melakukan korupsi dengan menerima selisih lebih emas Antam sebesar 58,13 kilogram atau senilai Rp35,07 miliar, yang tidak sesuai dengan faktur penjualan emas dan tidak ada pembayarannya kepada Antam sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp1,07 triliun.
Selain itu, terdapat kewajiban kekurangan serah emas Antam dari Antam kepada terdakwa Budi Said sebanyak 1.136 kilogram berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1666 K/Pdt/2022 tanggal 29 Juni 2022.
Tak hanya didakwa melakukan korupsi, Budi Said juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil korupsinya, antara lain dengan menyamarkan transaksi penjualan emas Antam hingga menempatkannya sebagai modal pada CV Bahari Sentosa Alam.
Atas perbuatannya, Budi Said disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Budi Said juga terancam pidana sesuai dengan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Abdul didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp92,25 miliar dalam kasus dugaan korupsi jual beli logam mulia emas lantaran tidak memonitor pelaksanaan opname stok dari kantor Pulogadung pada 2018.
Padahal, opname stok wajib dilaksanakan secara berkala per triwulan pada semua Butik Antam, termasuk pada BELM Surabaya 01, yang pada tahun 2018 sedang mengalami peningkatan angka penjualan emas yang besar.
Dengan demikian, perbuatan Abdul diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.