Semarang (ANTARA News) - Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan sunat perempuan yang menjadi anjuran agama dengan "female genital mutilation" yang menjadi tradisi yang berlaku di beberapa negara Afrika berbeda.
"Yang dilarang dengan Surat Edaran (SE) Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat waktu itu adalah apa yang disebut dalam bahasa Inggris sebagai `female genital mutilation` (FGM)," katanya di Semarang, Rabu.
Hal itu diungkapkannya usai Rapat Kerja Kesehatan Daerah Jawa Tengah bertema "Konsolidasi Percepatan Pencapaian Target Pembangunan Kesehatan dan MDG`s" yang berlangsung di Semarang.
Sunat perempuan sebelumnya pernah dilarang melalui SE Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, Nomor HK 00.07.1.31047a, tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan.
Pada tahun 2008, MUI mengeluarkan fatwa yang membolehkan sunat perempuan dan Kementerian Kesehatan, kemudian menerbitkan peraturan menteri yang membolehkan sunat perempuan, asalkan sesuai dengan standar kesehatan dan agama.
Larangan praktik FGM, kata dia, sebenarnya dikeluarkan WHO (World Health Organization) karena melihat bukti-bukti praktik FGM, terutama di beberapa negara Afrika, kemudian disepakati dalam World Health Assembly.
"Aturan itu di Indonesia kemudian diterjemahkan sebagai sunat perempuan. Sebenarnya, itu (FGM, red.) bukan sunat perempuan dari sisi agama sebagaimana yang disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI)," katanya.
Ia menjelaskan bahwa FGM yang menjadi kebiasaan yang dilakukan masyarakat di beberapa negara Afrika sebenarnya merupakan perusakan alat kelamin anak perempuan dengan tujuan mencegah hubungan seks sebelum menikah.
"Kalaupun ternyata melakukan hubungan seksual sebelum menikah, si perempuan yang sudah melakukan FGM tidak akan menikmati. Ini kan tidak ada kaitannya dengan agama, berbeda dengan sunat perempuan," katanya.
Sunat perempuan dalam agama sebagaimana yang disampaikan MUI, kata Nafsiah, lebih seperti "goresan" yang kemudian diatur Permenkes keluaran 2010, bukan "mutilation" atau perusakan alat kelamin perempuan seperti FGM.
(KR-ZLS/D007)
"Yang dilarang dengan Surat Edaran (SE) Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat waktu itu adalah apa yang disebut dalam bahasa Inggris sebagai `female genital mutilation` (FGM)," katanya di Semarang, Rabu.
Hal itu diungkapkannya usai Rapat Kerja Kesehatan Daerah Jawa Tengah bertema "Konsolidasi Percepatan Pencapaian Target Pembangunan Kesehatan dan MDG`s" yang berlangsung di Semarang.
Sunat perempuan sebelumnya pernah dilarang melalui SE Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, Nomor HK 00.07.1.31047a, tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan.
Pada tahun 2008, MUI mengeluarkan fatwa yang membolehkan sunat perempuan dan Kementerian Kesehatan, kemudian menerbitkan peraturan menteri yang membolehkan sunat perempuan, asalkan sesuai dengan standar kesehatan dan agama.
Larangan praktik FGM, kata dia, sebenarnya dikeluarkan WHO (World Health Organization) karena melihat bukti-bukti praktik FGM, terutama di beberapa negara Afrika, kemudian disepakati dalam World Health Assembly.
"Aturan itu di Indonesia kemudian diterjemahkan sebagai sunat perempuan. Sebenarnya, itu (FGM, red.) bukan sunat perempuan dari sisi agama sebagaimana yang disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI)," katanya.
Ia menjelaskan bahwa FGM yang menjadi kebiasaan yang dilakukan masyarakat di beberapa negara Afrika sebenarnya merupakan perusakan alat kelamin anak perempuan dengan tujuan mencegah hubungan seks sebelum menikah.
"Kalaupun ternyata melakukan hubungan seksual sebelum menikah, si perempuan yang sudah melakukan FGM tidak akan menikmati. Ini kan tidak ada kaitannya dengan agama, berbeda dengan sunat perempuan," katanya.
Sunat perempuan dalam agama sebagaimana yang disampaikan MUI, kata Nafsiah, lebih seperti "goresan" yang kemudian diatur Permenkes keluaran 2010, bukan "mutilation" atau perusakan alat kelamin perempuan seperti FGM.
(KR-ZLS/D007)