Muara Teweh (Antara Kalteng) - Realisasi penerimaan dana perimbangan royalti dan iuran tetap tambang batu bara di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah periode Januari-Maret 2015 baru Rp17,5 juta (0,02 persen) dari target Rp87,5 miliar.
"Dana tersebut merupakan penerimaan bagi hasil bukan pajak dari pemerintah pusat," kata Kepala Bidang Pendapatan pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Barito Utara (Barut), Rini Hastuti di Muara Teweh, Jumat.
Penerimaan tersebut merupakan hasil pembayaran kewajiban sejumlah investor tambang batu bara pemegang izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dan izin usaha pertambangan (IUP) di kabupaten pedalaman Sungai Barito.
Realisasi triwulan pertama untuk royalti (iuran eksplorasi dan eksploitasi batu bara) hanya Rp11,3 juta (0,02 persen) dari target Rp56,5 miliar dan iuran tetap (landrent) Rp6,1 juta (0,02 persen) dari rencana Rp30,9 miliar.
"Kami hanya menerima dana bagi hasil pajak itu sekitar 64 persen dari pemerintah pusat, sedangkan perusahaan mana saja yang membayar tidak tahu," katanya.
Kepala Bidang Pengawasan Tambang Dinas Pertambangan dan Energi Barut, Sarifudin mengatakan, jumlah investor batu bara yang sudah memasuki tahap eksplorasi dan eksploitasi di daerah ini masing-masing sekitar puluhan perusahaan.
"Namun dari puluhan investor yang telah memasuki tahap eksploitasi hanya sekitar 13 yang sudah produksi," katanya.
Hasil penjualan tambang batu bara yang dieksploitasi sejumlah perusahaan pertambangan sampai Maret 2015 mencapai 1,3 juta metrik ton.
Satu jutaan lebih ton batu bara itu diangkut menggunakan tongkang melalui Sungai Barito yang merupakan sarana utama transportasi hasil sumber daya alam sejumlah kabupaten di pedalaman Kalteng.
"Saat ini transportasi itu merupakan angkutan utama bagi sejumlah investor membawa hasil tambang keluar daerah," jelasnya.
Sarifudin mengatakan, sejumlah perusahaan itu wajib membayar royalti kepada pemerintah dengan perhitungan kualitas kalori batu bara di bawah 5.100 kilo kalori dikenakan tiga persen dari harga jual.
Kemudian antara 5.100-6.100 kilo kalori dikenakan lima persen dari harga jual dan di atas 6.100 kilo kalori membayar royalti tujuh persen dari harga jual.
Sedangkan untuk "landrent", seluruh investor yang memasuki tahap ekspolitasi tahun pertama dikenakan Rp2.000/hektare, tahun II Rp2.500/hektare, tahun III Rp3.000/hektare dan tahap eksploitasi I (30 tahun) Rp15.000/haktare.
"Produksi batu bara di daerah itu sampai kini disebutkan belum maksimal karena faktor alam dan juga terkait dengan masalah perizinan jalan tambang dan kehutanan," katanya.
Penjualan batubara Barut pada periode Januari-Desember 2014 mencapai 4,1 juta ton atau turun dibanding 2013 yang mencapai 5,1 juta ton.
"Dana tersebut merupakan penerimaan bagi hasil bukan pajak dari pemerintah pusat," kata Kepala Bidang Pendapatan pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Barito Utara (Barut), Rini Hastuti di Muara Teweh, Jumat.
Penerimaan tersebut merupakan hasil pembayaran kewajiban sejumlah investor tambang batu bara pemegang izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dan izin usaha pertambangan (IUP) di kabupaten pedalaman Sungai Barito.
Realisasi triwulan pertama untuk royalti (iuran eksplorasi dan eksploitasi batu bara) hanya Rp11,3 juta (0,02 persen) dari target Rp56,5 miliar dan iuran tetap (landrent) Rp6,1 juta (0,02 persen) dari rencana Rp30,9 miliar.
"Kami hanya menerima dana bagi hasil pajak itu sekitar 64 persen dari pemerintah pusat, sedangkan perusahaan mana saja yang membayar tidak tahu," katanya.
Kepala Bidang Pengawasan Tambang Dinas Pertambangan dan Energi Barut, Sarifudin mengatakan, jumlah investor batu bara yang sudah memasuki tahap eksplorasi dan eksploitasi di daerah ini masing-masing sekitar puluhan perusahaan.
"Namun dari puluhan investor yang telah memasuki tahap eksploitasi hanya sekitar 13 yang sudah produksi," katanya.
Hasil penjualan tambang batu bara yang dieksploitasi sejumlah perusahaan pertambangan sampai Maret 2015 mencapai 1,3 juta metrik ton.
Satu jutaan lebih ton batu bara itu diangkut menggunakan tongkang melalui Sungai Barito yang merupakan sarana utama transportasi hasil sumber daya alam sejumlah kabupaten di pedalaman Kalteng.
"Saat ini transportasi itu merupakan angkutan utama bagi sejumlah investor membawa hasil tambang keluar daerah," jelasnya.
Sarifudin mengatakan, sejumlah perusahaan itu wajib membayar royalti kepada pemerintah dengan perhitungan kualitas kalori batu bara di bawah 5.100 kilo kalori dikenakan tiga persen dari harga jual.
Kemudian antara 5.100-6.100 kilo kalori dikenakan lima persen dari harga jual dan di atas 6.100 kilo kalori membayar royalti tujuh persen dari harga jual.
Sedangkan untuk "landrent", seluruh investor yang memasuki tahap ekspolitasi tahun pertama dikenakan Rp2.000/hektare, tahun II Rp2.500/hektare, tahun III Rp3.000/hektare dan tahap eksploitasi I (30 tahun) Rp15.000/haktare.
"Produksi batu bara di daerah itu sampai kini disebutkan belum maksimal karena faktor alam dan juga terkait dengan masalah perizinan jalan tambang dan kehutanan," katanya.
Penjualan batubara Barut pada periode Januari-Desember 2014 mencapai 4,1 juta ton atau turun dibanding 2013 yang mencapai 5,1 juta ton.