Nusa Dua, Bali (Antara Kalteng) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan pasar batu bara dunia kini sedang menuju keseimbangan atau ekuilibrium baru yang akan membuat industri batu bara nasional menjadi lebih efisien.
"Penurunan harga batu bara dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya mendorong pasar ke arah normalisasi, karena yang terjadi sebelumnya merupakan keuntungan abnormal," katanya, saat membuka Pertemuan Tahunan Coaltrans Asia ke-21 di Nusa Dua, Bali, Senin.
Ia mengatakan harga batu bara yang sempat melejit hinga di atas 100 dolar AS per ton memang membuat banyak industri meraup keuntungan besar. Namun, keuntungan besar dalam tempo singkat justru memunculkan perilaku buruk para pengusaha batu bara maupun pejabat pemerintah.
"Terbukti kondisi tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan dan praktik-praktik korupsi di banyak daerah," ungkapnya.
Menurut dia, harga yang rendah saat ini yaitu sekitar 64 dolar AS per ton, akan memaksa podusen batu bara melakukan konsolidasi internal.
"Ini menjadi situasi yang baik untuk 'mendidik' perusahaaan agar menjadi efisien, patuh hukum dan melakukan segala hal dengan pendekatan keilmuan," tutur Sudirman Said.
Konsolidasi tersebut terbukti telah membuat produsen batu bara nasional bertahan. Bahkan saat harga rendah produksi batu bara nasional justru terus naik. "Hal itu menunjukkan bahwa penjualan tidak terpengaruh dengan harga batu bara yang rendah," ucapnya.
Pada tahun 2014, realisasi PNBP dari penjualan batu bara mencapai 81 persen dari total realisasi PNBP Sub-Sektor Minerba yang mencapai Rp32,3 triliun.
Ia optimistis upaya konsolidasi tersebut akan mendorong pengembangan pasar batu bara di dalam negeri sejalan dengan kebijakan penambahan kapasitas pembangkit listrik 35 ribu Mega Watt (MW). "Sekitar 60 persen dari penambahan kapasitas pembangkit listrik ini akan dipasok oleh pembangkit batu bara," tambahnya.
Ia mengharapkan adanya kebijakan tersebut akan meningkatkan pasar batu bara dalam negeri dari 80-90 juta ton menjadi 250 juta ton pada tahun 2019.
"Penurunan harga batu bara dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya mendorong pasar ke arah normalisasi, karena yang terjadi sebelumnya merupakan keuntungan abnormal," katanya, saat membuka Pertemuan Tahunan Coaltrans Asia ke-21 di Nusa Dua, Bali, Senin.
Ia mengatakan harga batu bara yang sempat melejit hinga di atas 100 dolar AS per ton memang membuat banyak industri meraup keuntungan besar. Namun, keuntungan besar dalam tempo singkat justru memunculkan perilaku buruk para pengusaha batu bara maupun pejabat pemerintah.
"Terbukti kondisi tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan dan praktik-praktik korupsi di banyak daerah," ungkapnya.
Menurut dia, harga yang rendah saat ini yaitu sekitar 64 dolar AS per ton, akan memaksa podusen batu bara melakukan konsolidasi internal.
"Ini menjadi situasi yang baik untuk 'mendidik' perusahaaan agar menjadi efisien, patuh hukum dan melakukan segala hal dengan pendekatan keilmuan," tutur Sudirman Said.
Konsolidasi tersebut terbukti telah membuat produsen batu bara nasional bertahan. Bahkan saat harga rendah produksi batu bara nasional justru terus naik. "Hal itu menunjukkan bahwa penjualan tidak terpengaruh dengan harga batu bara yang rendah," ucapnya.
Pada tahun 2014, realisasi PNBP dari penjualan batu bara mencapai 81 persen dari total realisasi PNBP Sub-Sektor Minerba yang mencapai Rp32,3 triliun.
Ia optimistis upaya konsolidasi tersebut akan mendorong pengembangan pasar batu bara di dalam negeri sejalan dengan kebijakan penambahan kapasitas pembangkit listrik 35 ribu Mega Watt (MW). "Sekitar 60 persen dari penambahan kapasitas pembangkit listrik ini akan dipasok oleh pembangkit batu bara," tambahnya.
Ia mengharapkan adanya kebijakan tersebut akan meningkatkan pasar batu bara dalam negeri dari 80-90 juta ton menjadi 250 juta ton pada tahun 2019.