London (Antara Kalteng) - Film dokumenter "Street Punk! Banda Aceh," karya jurnalis Maria Bakkalapulo dan pasangan produsernya Niall Macaulay berhasil mengundang rasa kagum penikmat film Indonesia di London, Inggris.
Film itu ditayangkan dalam Festival Film Indonesia yang bertemakan "Films of The Archipelago," yang diadakan di Deptford Cinema, bioskop berbasis komunitas di wilayah Tenggara London, dari tanggal 4 sampai dengan 26 Maret.
"Filmnya sangat menarik dan tidak dapat dibayangkan ada sekelompok anak remaja dengan gaya Barat di Aceh yang budaya sangat ketat," ujar gadis manis, Grabiella kepada Antara London, usai menonton film "Street Punk! Banda Aceh," Senin malam.
Film Street Punk Banda Aceh menceritakan kisah kehidupan anak remaja di Banda Aceh yang tergabung dalam komunitas punk yang sangat populer di negara Barat, tumbuh 11 tahun lalu, setelah terjadinya gempa bawah laut besar memicu tsunami di Samudera Hindia, yang menewaskan 167.000 orang di Aceh.
Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Inggris dan Irlandia, Rizal Sukma, menyampaikan pujiannya atas penyelenggaraan Films of the Archipelago di Deptford Cinema yang dapat mempromosikan kekayaan budaya dan keunikan kehidupan sosial Indonesia kepada masyarakat Inggris.
Dikatakannya film merupakan salah satu medium yang efektif dalam pelaksanaan diplomasi budaya Indonesia di Inggris, yang dapat mempererat hubungan antarwarga diantara kedua negara
Sementara itu Lenah Susianty, pengagas festival film Indonesia Festival bersama Paul Flanders kepada Antara mengatakan film Indonesia belum banyak dikenal di Inggris.
Hal ini disebabkan tidak adanya hubungan dengan perusahaan pendistribusi film di Inggris. Hanya beberapa film saja yang bisa masuk ke bioskop umum di Inggris, seperti The Raid yang disutradarai Gareth Evans, ujarnya.
Untuk itu dengan digelarnya "Films of The Archipelago," yang menjadi uji coba untuk melihat animo penonton.
"Saya merasa senang dengan animo penonton yang cukup banyak sebagian besar orang Inggris, sasaran kami memang itu. Selain itu film Indonesia sudah saatnya dikenal di luar karena banyak yang bagus," ujar Lenah yang lama menetap di London dan bekerja sebagai penerjemah.
Film Indonesia lainnya yang diputar selama festival selain Street Punk Banda Aceh, sebelumnya Jilbab Selfie, juga ada film Jalanan, Maryam, Lovely Man, serta film laga Headshot, dan Pintu Terlarang dengan harga tiket sebesar lima poundsterling.
Film itu ditayangkan dalam Festival Film Indonesia yang bertemakan "Films of The Archipelago," yang diadakan di Deptford Cinema, bioskop berbasis komunitas di wilayah Tenggara London, dari tanggal 4 sampai dengan 26 Maret.
"Filmnya sangat menarik dan tidak dapat dibayangkan ada sekelompok anak remaja dengan gaya Barat di Aceh yang budaya sangat ketat," ujar gadis manis, Grabiella kepada Antara London, usai menonton film "Street Punk! Banda Aceh," Senin malam.
Film Street Punk Banda Aceh menceritakan kisah kehidupan anak remaja di Banda Aceh yang tergabung dalam komunitas punk yang sangat populer di negara Barat, tumbuh 11 tahun lalu, setelah terjadinya gempa bawah laut besar memicu tsunami di Samudera Hindia, yang menewaskan 167.000 orang di Aceh.
Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Inggris dan Irlandia, Rizal Sukma, menyampaikan pujiannya atas penyelenggaraan Films of the Archipelago di Deptford Cinema yang dapat mempromosikan kekayaan budaya dan keunikan kehidupan sosial Indonesia kepada masyarakat Inggris.
Dikatakannya film merupakan salah satu medium yang efektif dalam pelaksanaan diplomasi budaya Indonesia di Inggris, yang dapat mempererat hubungan antarwarga diantara kedua negara
Sementara itu Lenah Susianty, pengagas festival film Indonesia Festival bersama Paul Flanders kepada Antara mengatakan film Indonesia belum banyak dikenal di Inggris.
Hal ini disebabkan tidak adanya hubungan dengan perusahaan pendistribusi film di Inggris. Hanya beberapa film saja yang bisa masuk ke bioskop umum di Inggris, seperti The Raid yang disutradarai Gareth Evans, ujarnya.
Untuk itu dengan digelarnya "Films of The Archipelago," yang menjadi uji coba untuk melihat animo penonton.
"Saya merasa senang dengan animo penonton yang cukup banyak sebagian besar orang Inggris, sasaran kami memang itu. Selain itu film Indonesia sudah saatnya dikenal di luar karena banyak yang bagus," ujar Lenah yang lama menetap di London dan bekerja sebagai penerjemah.
Film Indonesia lainnya yang diputar selama festival selain Street Punk Banda Aceh, sebelumnya Jilbab Selfie, juga ada film Jalanan, Maryam, Lovely Man, serta film laga Headshot, dan Pintu Terlarang dengan harga tiket sebesar lima poundsterling.