Medan (ANTARA) - Minat investasi pertambangan di Indonesia masih rendah dan trennya menurun akibat banyak faktor, khususnya ketidakpastian mengenai penyelesaian sengketa tanah dan peraturan lingkungan yang diterbitkan daerah.
"Indeks ketertarikan investasi pertambangan di Indonesia misalnya masih di tingkat 25 dari indeks yang sebesar 83," ujar Guru Besar Teknik Pertambangan ITB, Prof Dr Ir Irwandy Arif di Parapat, Sumatera Utara, Senin, pada saat berbicara tentang perkembangan industri pertambangan emas Indonesia dan dunia.
Menurut dia, hambatan bisnis pertambangan di sektor kebijakan itu terlihat dari persepsi indeks kebijakan yang tinggi atau 70 dari indikator sebesar 83.
Irwandy Arief menyebutkan selain ketidakpastian mengenai penyelesaian sengketa tanah dan ketidakpastian mengenai peraturan lingkungan yang diterbitkan daerah, banyak hal lain yang menyebabkan minat investasi di sektor pertambangan itu rendah. Mulai dari adanya duplikasi dan inkosistensi peraturan, tumpang tindih kewenangan antardepartemen, antarkabupaten, dan antara pusat dengan daerah.
Kemudian ketidakpastian mengenai daerah mana yang akan dilindungi sebagai taman, hutan lindung, situs arkelogi dan lainnya. Termasuk ketidakpastian mengenai administrasi, interpretasi dan penegakan peraturan yang berlaku.
"Sudah seharusnya kondisi itu diperbaiki karena kontribusi usaha pertambangan bagi negara cukup besar," katanya.
Usaha pertambangan memiliki dampak berantai yang positif seperti membuka keterisolasian, penerimaan negara/daerah, penyerapan tenaga kerja dan menumbuhkan usaha jasa, serta dampak ke fiskal berupa penerimaan royalti, pajak penghasilan, deviden, PBB, pajak daerah dan lainnya.
Potensi hasil pertambangan di Indonesia, kata dia, masih cukup besar. Cadangan emas di Indonesia misalnya masuk peringkat kelima besar di dunia atau pada 2018 sebanyak 2.500 ton. Sementara emas yang sudah diproduksi di Indonesia masih 85 ton.
"Indeks ketertarikan investasi pertambangan di Indonesia misalnya masih di tingkat 25 dari indeks yang sebesar 83," ujar Guru Besar Teknik Pertambangan ITB, Prof Dr Ir Irwandy Arif di Parapat, Sumatera Utara, Senin, pada saat berbicara tentang perkembangan industri pertambangan emas Indonesia dan dunia.
Menurut dia, hambatan bisnis pertambangan di sektor kebijakan itu terlihat dari persepsi indeks kebijakan yang tinggi atau 70 dari indikator sebesar 83.
Irwandy Arief menyebutkan selain ketidakpastian mengenai penyelesaian sengketa tanah dan ketidakpastian mengenai peraturan lingkungan yang diterbitkan daerah, banyak hal lain yang menyebabkan minat investasi di sektor pertambangan itu rendah. Mulai dari adanya duplikasi dan inkosistensi peraturan, tumpang tindih kewenangan antardepartemen, antarkabupaten, dan antara pusat dengan daerah.
Kemudian ketidakpastian mengenai daerah mana yang akan dilindungi sebagai taman, hutan lindung, situs arkelogi dan lainnya. Termasuk ketidakpastian mengenai administrasi, interpretasi dan penegakan peraturan yang berlaku.
"Sudah seharusnya kondisi itu diperbaiki karena kontribusi usaha pertambangan bagi negara cukup besar," katanya.
Usaha pertambangan memiliki dampak berantai yang positif seperti membuka keterisolasian, penerimaan negara/daerah, penyerapan tenaga kerja dan menumbuhkan usaha jasa, serta dampak ke fiskal berupa penerimaan royalti, pajak penghasilan, deviden, PBB, pajak daerah dan lainnya.
Potensi hasil pertambangan di Indonesia, kata dia, masih cukup besar. Cadangan emas di Indonesia misalnya masuk peringkat kelima besar di dunia atau pada 2018 sebanyak 2.500 ton. Sementara emas yang sudah diproduksi di Indonesia masih 85 ton.