Palangka Raya (ANTARA) - Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah berencana mengundang Dewan Adat Dayak Kalteng, untuk menghindari salah paham terkait rancangan peraturan daerah tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, yang sampai sekarang ini pembahasannya belum final.
"Undangan kepada DAD Kalteng itu sedang dipersiapkan," kata Ketua Tim Pembahasan Raperda Darkarhutla DPRD Kalteng Agus Susilasani di ruang press room DPRD Kalteng, Senin.
Menurut dia, Tim Pembahasan Raperda Provinsi Kalteng Tentang Darkarhutla selalu berkomitmen dan tetap mempertahankan hak-hak masyarakat peladang maupun pekebun, serta selalu mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dalam pembahasannya.
Susilasani menegaskan bahwa dalam rangka pengayaan materi raperda tersebut, pihaknya terbuka dan menerima saran serta masukan dari berbagai elemen masyarakat, demi terwujudnya cita-cita kelestarian lingkungan hidup yang tetap menghormati prinsif kearifan lokal di Kalteng.
"Mohon maaf yang tulus karena tidak dapat menghadiri undangan pertemuan dengan DAD kalteng, sebagaimana undangan yang telah disampaikan. Pada tanggal itu saya tidak berada di tempat dalam rangka melaksanakan tugas kedinasan," ucapnya.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Kalteng itu mengaku raperda darkarhutla telah melalui pembahasan yang panjang karena dalam pasal 5 dan pasal 6, sekalipun melarang setiap orang dan atau perusahaan membakar lahan, namun tetap masih memberi pengecualian kepada masyarakat peladang maupun pekebun tradisional membuka lahannya dengan cara pembakaran terkendali di lahan bukan gambut.
Baca juga: Raperda buka lahan dengan cara bakar dikonsultasikan ke kemendagri
Dia mengatakan pembukaan lahan dengan cara pembakaran terkendali oleh masyarakat yang diatur di raperda itu dirumuskan atas dasar kearifan lokal, sebagaiam tercantum dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Tapi, seperti kita ketahui bersama, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanian dan Bappenas, sejak awal sudah meminta pasal 5 dan 6 di raperda itu untuk diubah ataupun dihapus," beber Susilasani.
Meski ada permintaan mengubah dan menghapus dari Pemerintah Pusat, namun DPRD bersama Pemprov Kalteng sepakat untuk memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi masyarakat di provinsi ini berladang maupun berkebun. Sebab, berladang maupun berkebun merupaka mata pencarian sebagian masyarakat Kalteng sejak turun-temurun.
Anggota DPRD Kalteng itu mengatakan upaya memperjuangkan tersebut dengan melakukan pertemuan dan fasilitasi dengan Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 5 April 2019. Dalam fasilitasi tersebut ada perubahan kata dari 'Kearifan Lokal' menjadi 'Masyarakat Hukum Adat', yang kemudian berkembang dalam pembahasan raperda Darkarhutla tersebut.
Setelah mendengar paparan Biro Hukum Pemprob Kalteng tentang perbedaan masyarakat adat dan masyarakat hukum adat, serta mekanisme penetapannya yang harus melalui peraturan gubernur (pergub) atau peraturan bupati (perbub), maka dalam pembahasan diusulkan kembali perubahan kalimat pasal 5 ayat 3 di raperda Darkarhutla.
"Dalam pasal 5 ayat 3 itu, masyarakat hukum adat diganti dengan masyarakat peladang pekebun yang tujuannya agar dalam penerapannya nanti diharapkan lebih memudahkan masyarakat," ucapnya.
Tim Pembahasan Raperda Darkarhutla DPRD dan Pemprov Kalteng akan terus bekerja dan menyelesaikan raperda itu, serta kembali melakukan koordinasi dan konsultasi dengan pihak Kemendagri.
"Mengenai hasil pembahasan raperda ini besar harapan kami dapat diselesaikan tepat pada waktunya," demikian Susilasani.
Baca juga: Tuntaskan raperda inisiatif perlindungan Adat Dayak, kata Freddy Ering
"Undangan kepada DAD Kalteng itu sedang dipersiapkan," kata Ketua Tim Pembahasan Raperda Darkarhutla DPRD Kalteng Agus Susilasani di ruang press room DPRD Kalteng, Senin.
Menurut dia, Tim Pembahasan Raperda Provinsi Kalteng Tentang Darkarhutla selalu berkomitmen dan tetap mempertahankan hak-hak masyarakat peladang maupun pekebun, serta selalu mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dalam pembahasannya.
Susilasani menegaskan bahwa dalam rangka pengayaan materi raperda tersebut, pihaknya terbuka dan menerima saran serta masukan dari berbagai elemen masyarakat, demi terwujudnya cita-cita kelestarian lingkungan hidup yang tetap menghormati prinsif kearifan lokal di Kalteng.
"Mohon maaf yang tulus karena tidak dapat menghadiri undangan pertemuan dengan DAD kalteng, sebagaimana undangan yang telah disampaikan. Pada tanggal itu saya tidak berada di tempat dalam rangka melaksanakan tugas kedinasan," ucapnya.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Kalteng itu mengaku raperda darkarhutla telah melalui pembahasan yang panjang karena dalam pasal 5 dan pasal 6, sekalipun melarang setiap orang dan atau perusahaan membakar lahan, namun tetap masih memberi pengecualian kepada masyarakat peladang maupun pekebun tradisional membuka lahannya dengan cara pembakaran terkendali di lahan bukan gambut.
Baca juga: Raperda buka lahan dengan cara bakar dikonsultasikan ke kemendagri
Dia mengatakan pembukaan lahan dengan cara pembakaran terkendali oleh masyarakat yang diatur di raperda itu dirumuskan atas dasar kearifan lokal, sebagaiam tercantum dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Tapi, seperti kita ketahui bersama, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanian dan Bappenas, sejak awal sudah meminta pasal 5 dan 6 di raperda itu untuk diubah ataupun dihapus," beber Susilasani.
Meski ada permintaan mengubah dan menghapus dari Pemerintah Pusat, namun DPRD bersama Pemprov Kalteng sepakat untuk memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi masyarakat di provinsi ini berladang maupun berkebun. Sebab, berladang maupun berkebun merupaka mata pencarian sebagian masyarakat Kalteng sejak turun-temurun.
Anggota DPRD Kalteng itu mengatakan upaya memperjuangkan tersebut dengan melakukan pertemuan dan fasilitasi dengan Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 5 April 2019. Dalam fasilitasi tersebut ada perubahan kata dari 'Kearifan Lokal' menjadi 'Masyarakat Hukum Adat', yang kemudian berkembang dalam pembahasan raperda Darkarhutla tersebut.
Setelah mendengar paparan Biro Hukum Pemprob Kalteng tentang perbedaan masyarakat adat dan masyarakat hukum adat, serta mekanisme penetapannya yang harus melalui peraturan gubernur (pergub) atau peraturan bupati (perbub), maka dalam pembahasan diusulkan kembali perubahan kalimat pasal 5 ayat 3 di raperda Darkarhutla.
"Dalam pasal 5 ayat 3 itu, masyarakat hukum adat diganti dengan masyarakat peladang pekebun yang tujuannya agar dalam penerapannya nanti diharapkan lebih memudahkan masyarakat," ucapnya.
Tim Pembahasan Raperda Darkarhutla DPRD dan Pemprov Kalteng akan terus bekerja dan menyelesaikan raperda itu, serta kembali melakukan koordinasi dan konsultasi dengan pihak Kemendagri.
"Mengenai hasil pembahasan raperda ini besar harapan kami dapat diselesaikan tepat pada waktunya," demikian Susilasani.
Baca juga: Tuntaskan raperda inisiatif perlindungan Adat Dayak, kata Freddy Ering