Jakarta (ANTARA) - Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia, yang pada 2019 genap berusia 492 tahun, tetap menjadi pesona tersendiri bagi masyarakat Indonesia.
Layaknya sebuah ibu kota negara di belahan bumi lainnya, Propinsi DKI Jakarta tentu telah menorehkan berbagai pencapaian pembangunan, meski juga tidak terlepas dari berbagai persoalan terutama terkait permasalahan kependudukan.
Untuk itulah, pemerintah berupaya mencari pengganti kawasan ibu kota pemerintahan sebagai upaya pemerataan pembangunan.
Pembangunan di ibu kota Jakarta yang namanya pernah berganti tiga kali mulai dari Jayakarta menjadi Batavia, lalu kemudian Jakarta itu terus melaju hingga saat ini.
"Hutan beton", ruang terbuka hijau, hingga fasilitas kendaraan umum terus dibangun di kota Jakarta yang menurut Badan Pusat Statistik penduduknya sudah mencapai 10,18 juta jiwa.
Seiring pertambahan penduduk dan padatnya lalu lintas di DKI Jakarta, Pemerintah melalui Bappenas kembali membuka wacana mencari daerah pengganti untuk ibu kota Indonesia di luar Pulau Jawa.
Sebelumnya ada opsi untuk memusatkan kawasan perkantoran pemerintahan di Jakarta Pusat, yakni di sekeliling kawasan Monumen Nasional. Opsi tersebut sepertinya tidak dilirik karena Jakarta sudah telalu padat.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menjelaskan dalam rapat terbatas di Kantor Presiden pada Senin (29/4/2019) mengatakan bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan di DKI Jakarta pada 2013 mencapai Rp65 triliun per tahun.
Bahkan, potensi kerugian itu pada tahun 2019 diperkirakan bisa mencapai Rp100 triliun.
Selain macet, faktor lain pertimbangan pemindahan ibu kota adalah turunnya permukaan tanah di Jakarta bagian utara yang rata-rata 7,5 centimeter per tahun. Parahnya, penurunan permukaan tanah turun telah mencapai 60 centimeter selama periode 1989-2007 dan diprediksi akan terus meningkat.
Kualitas air sungai di Jakarta, juga tercemar berat sebesar 96 persen sehingga memiliki bahaya bagi sanitasi.
Namun bagaimana pun kondisi saat ini, Jakarta tetap berperan sebagai ibu kota negara yang menjadi pusat pertumbuhan perekonomian nasional.
"Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, pusat perekonomiam bahkan menjadi pusat bisnis yang levelnya regional, Asia Tenggara," jelas Bambang.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan pemindahan ibu kota hanya untuk urusan pemerintahan baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, sementara urusan bisnis tetap di Jakarta.
"Karena pekerjaan rumahnya seperti masalah daya dukung lingkungan hidup, ketersediaan air bersih, soal pengelolaan udara, pengelolaan limbah, transportasi masih jadi PR yang harus diselesaikan," kata Anies.
Cari lokasi
Tujuan pemerataan pembangunan juga dikedepankan oleh pemerintah dalam rencana pemindahan ibu kota ini.
Lantas di mana lokasi ibu kota yang baru? Apa saja yang menjadi syarat sebuah daerah dapat dijadikan sebagai ibu kota negara?
Bambang yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjelaskan lokasi ibu kota baru harus berada di tengah-tengah wilayah Indonesia untuk merepresentasikan keadilan dan mendorong percepatan wilayah timur Indonesia.
Syarat selanjutnya yakni harus memiliki resiko yang minim akan bencana gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, longsor maupun kebakaran hutan dan lahan.
Ketersediaan air bersih dan bebas pencemaran lingkungan juga menjadi syarat kawasan ibu kota baru.
Calon kawasan ibu kota itu juga harus dekat dengan kota yang sudah terbangun dan memiliki infrastruktur seperti bandara, akses logistik yang memadai serta dekat dengan perairan.
"Demikian juga harus diperhatikan dari sisi sosial, kita ingin minimumkan potensi konflik sosial. Dan juga kita harapkan masyarakat di sekitar wilayah tersebut memiliki budaya terbuka terhadap pendatang," ujar Bambang.
Untuk pilihan kawasannya sendiri, pemerintah telah melakukan sejumlah studi kelayakan di beberapa calon daerah ibu kota.
Presiden Joko Widodo saat mengunjungi Bukit Soeharto pada 7 Mei 2019, terkai rencana pemindahan ibu kota negara. (Ist)
Sebagai pilihan memang syarat-syarat tersebut ada di Pulau Kalimantan, diantaranya yakni Bukit Soeharto Kalimatan Timur, Gunung Mas di Kalimantan Tengah, dan Kawasan Segitiga di Kalimantan Tengah, maupun Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan.
Beberapa daerah telah disurvei oleh pemerintah secara berkala.
Sejumlah daerah pun "berlomba" memaparkan kelebihan kawasan masing-masing yang dinilainya positif untuk ibu kota baru.
Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Fahrizal Fitri pada akhir Maret 2019 mengungkap Kota Palangkaraya di provinsi itu telah disurvei oleh perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Tim memeriksa kesiapan Palangkaraya dari aspek politik, hukum dan segi keamanan.
Selain itu, Sekretaris Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Tohar, pun mengungkap tim dari Bappenas sudah delapan kali mengkaji lokasi calon ibu kota negara di wilayah tersebut sejak 2018.
Tohar menjelaskan selain Penajam Paser, tim juga mengkaji kondisi Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan sebagai calon ibu kota baru pemerintahan.
Foto udara kawasan Bukit Nyuling, Tumbang Talaken Manuhing, Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (25/7/2019). Daerah yang menjadi bakal calon Ibu Kota Negara itu telah ditinjau oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Mei lalu saat mengecek kelaikan lokasi terkait wacana pemindahan Ibu Kota Negara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.
Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, menjelaskan bahwa rencana pemindahan ibu kota merupakam pemikiran hebat sebuah bangsa yang besar, baik secara ukuran geografis maupun keberagaman kekayaan.
"Makanya kita sangat antusias sekali dan ini mungkin bagian dari upaya bangsa ini ingin lepas dari, belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Sampai hari ini, 73 tahun Indonesia merdeka, masih banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia dan ini adalah alternatif pemecahan masalah yang besar, yang sedang dihadapi oleh bangsa," ujar Sahbirin.
Sejumlah jumlah wilayah di Kalimantan Selatan memiliki kondisi tanah yang stabil serta berlokasi di pinggir Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI 1 dan ALKI 2) sehingga diklaim memiliki sisi ekonomis yang besar.
Sesuai dengan koridornya, setelah semua aspek kajian terpenuhi, pemerintah selanjutnya akan berkonsultasi kepada DPR RI termasuk dengan sejumlah tokoh bangsa sebelum memutuskan kota definitif untuk pembangunan ibu kota baru pemerintahan Indonesia.
Untuk menentukan daerah mana yang akan menjadi ibu kota akan dilakukan melalui calon ibu kota dilakukan semacam "beauty contest.
Jika semua berjalan dengan rencana, maka persiapan pemindahan ibu kota baru akan didetilkan dalam "master plan" pada 2020, dengan tahap konstruksi direncanakan dimulai pada 2021 hingga 2024, dan pada tahun yang sama (2024) dilakukkan pemindahan tahap pertama.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas (29/4/2019) bertopik pemindahan ibu kota menegaskan bahwa wacana pemindahan ibu kota kerap timbul tenggelam, karena sebelumnya di masa lalu tidak direncanakan secara matang maupun diputuskan.
Untuk itu, Pemerintah serius dalam merencanakan pemindahan ibu kota dan mempertimbangkannya untuk keperluan jangka panjang secara visioner sekaligus kompetisi di tingkat global.
"Memindahkan ibu kota memerlukan persiapan yang matang, persiapan yang detail, baik dari sisi pilihan lokasi yang tepat, termasuk dengan memperhatikan aspek geopolitik, geostrategis, kesiapan infrastruktur pendukung dan juga soal pembiayaannya," kata Presiden.
Jokowi menekankan rencana perpindahan ibu kota ke kawasan yang baru bukan hanya akan memindahkan pusat pemerintahan, tetapi juga upaya mendorong kegiatan ekonomi dan pemerataan pembangunan.
Kepala Negara mengarahkan menteri terkait untuk mencari daerah yang paling tepat dan aman dinilai dari sisi ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan, hingga terkait resiko bencana.
Bahkan beberapa kementerian telah memiliki data hasum kelayakan ke daerah-daerah di Pulau Kalimantan.
Indonesia perlu belajar atau membandingkan proses pemindahan ibu kota dari negara lain yang telah memindahkan ibu kota pemerintahannya ke kawasan yang baru seperti Korea Selatan dari Seoul ke Sejong, serta Brazil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, dan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya.
Negeri ginseng Korsel membutuhkan biaya 22 miliar dolar AS dengan desain kota untuk kapasitas tinggal 500 ribu orang.
Sementara, Brazil membutuhkan biaya sebesar 8,1 miliar dolar AS untuk pembangunan tahap awal yang direncanakan hanya ditinggali oleh 500 ribu jiwa, namun saat ini ditempati oleh 2,5 juta orang.
Bambang Brodjonegoro menjelaskan rancangan ibu kota baru pemerintahan akan dibangun secara modern dengan konsep kota yang cerdas, asri dan indah.
Sejumlah pihak yang menurutnya akan "menempati" ibu kota baru itu yakni institusi-institusi dengan fungsi pemerintahan baik eksekutif, kementerian dan lembaga, legislatif, MPR RI, DPR RI, kehakiman, kejaksaan, Mahakamah Konstitusi, TNI dan Polri, kedutaan besar negara sahabat serta organisasi-organisasi internasional.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga angkat bicara perihal tantangan pemindahan ibu kota pemerintahan.
Dia mengingatkan tantangan terbesar yakni pada saat perpindahan para pegawai pemerintahan yang bermigrasi ke daerah baru.
Wapres menilai dibutuhkan waktu selama 10-20 tahun untuk benar-benar menuntaskan proses pemindahan ibu kota pemerintahan.
Pemindahan ibu kota pemerintahan harus direncanakan dengan matang dan berjenjang serta membutuhkan kekuatan politis yang berkesinambungan.
Pasalnya, hal-hal yang dituju bukan hanya perpindahan ibu kota saja, namun juga kehidupan masyarakat, sektor sosial budaya dan pembangunan ekonominya.
Tentu semua sepakat, bahwa pemindahan ibu kota yang di depan mata ini merupakam pekerjaan rumah yang besar, karena tidak mudah memindahkan ibu kota pemerintahan ke tempat yang baru.
Namun jika program ini berhasil, dan semua terintegrasi serta berkesinambungan maka akan menciptakan Indonesia yang semakin kuat serta mewujudkan Sila Kelima Pancasila; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Layaknya sebuah ibu kota negara di belahan bumi lainnya, Propinsi DKI Jakarta tentu telah menorehkan berbagai pencapaian pembangunan, meski juga tidak terlepas dari berbagai persoalan terutama terkait permasalahan kependudukan.
Untuk itulah, pemerintah berupaya mencari pengganti kawasan ibu kota pemerintahan sebagai upaya pemerataan pembangunan.
Pembangunan di ibu kota Jakarta yang namanya pernah berganti tiga kali mulai dari Jayakarta menjadi Batavia, lalu kemudian Jakarta itu terus melaju hingga saat ini.
"Hutan beton", ruang terbuka hijau, hingga fasilitas kendaraan umum terus dibangun di kota Jakarta yang menurut Badan Pusat Statistik penduduknya sudah mencapai 10,18 juta jiwa.
Seiring pertambahan penduduk dan padatnya lalu lintas di DKI Jakarta, Pemerintah melalui Bappenas kembali membuka wacana mencari daerah pengganti untuk ibu kota Indonesia di luar Pulau Jawa.
Sebelumnya ada opsi untuk memusatkan kawasan perkantoran pemerintahan di Jakarta Pusat, yakni di sekeliling kawasan Monumen Nasional. Opsi tersebut sepertinya tidak dilirik karena Jakarta sudah telalu padat.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menjelaskan dalam rapat terbatas di Kantor Presiden pada Senin (29/4/2019) mengatakan bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan di DKI Jakarta pada 2013 mencapai Rp65 triliun per tahun.
Bahkan, potensi kerugian itu pada tahun 2019 diperkirakan bisa mencapai Rp100 triliun.
Selain macet, faktor lain pertimbangan pemindahan ibu kota adalah turunnya permukaan tanah di Jakarta bagian utara yang rata-rata 7,5 centimeter per tahun. Parahnya, penurunan permukaan tanah turun telah mencapai 60 centimeter selama periode 1989-2007 dan diprediksi akan terus meningkat.
Kualitas air sungai di Jakarta, juga tercemar berat sebesar 96 persen sehingga memiliki bahaya bagi sanitasi.
Namun bagaimana pun kondisi saat ini, Jakarta tetap berperan sebagai ibu kota negara yang menjadi pusat pertumbuhan perekonomian nasional.
"Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, pusat perekonomiam bahkan menjadi pusat bisnis yang levelnya regional, Asia Tenggara," jelas Bambang.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan pemindahan ibu kota hanya untuk urusan pemerintahan baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, sementara urusan bisnis tetap di Jakarta.
"Karena pekerjaan rumahnya seperti masalah daya dukung lingkungan hidup, ketersediaan air bersih, soal pengelolaan udara, pengelolaan limbah, transportasi masih jadi PR yang harus diselesaikan," kata Anies.
Cari lokasi
Tujuan pemerataan pembangunan juga dikedepankan oleh pemerintah dalam rencana pemindahan ibu kota ini.
Lantas di mana lokasi ibu kota yang baru? Apa saja yang menjadi syarat sebuah daerah dapat dijadikan sebagai ibu kota negara?
Bambang yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjelaskan lokasi ibu kota baru harus berada di tengah-tengah wilayah Indonesia untuk merepresentasikan keadilan dan mendorong percepatan wilayah timur Indonesia.
Syarat selanjutnya yakni harus memiliki resiko yang minim akan bencana gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, longsor maupun kebakaran hutan dan lahan.
Ketersediaan air bersih dan bebas pencemaran lingkungan juga menjadi syarat kawasan ibu kota baru.
Calon kawasan ibu kota itu juga harus dekat dengan kota yang sudah terbangun dan memiliki infrastruktur seperti bandara, akses logistik yang memadai serta dekat dengan perairan.
"Demikian juga harus diperhatikan dari sisi sosial, kita ingin minimumkan potensi konflik sosial. Dan juga kita harapkan masyarakat di sekitar wilayah tersebut memiliki budaya terbuka terhadap pendatang," ujar Bambang.
Untuk pilihan kawasannya sendiri, pemerintah telah melakukan sejumlah studi kelayakan di beberapa calon daerah ibu kota.
Sebagai pilihan memang syarat-syarat tersebut ada di Pulau Kalimantan, diantaranya yakni Bukit Soeharto Kalimatan Timur, Gunung Mas di Kalimantan Tengah, dan Kawasan Segitiga di Kalimantan Tengah, maupun Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan.
Beberapa daerah telah disurvei oleh pemerintah secara berkala.
Sejumlah daerah pun "berlomba" memaparkan kelebihan kawasan masing-masing yang dinilainya positif untuk ibu kota baru.
Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Fahrizal Fitri pada akhir Maret 2019 mengungkap Kota Palangkaraya di provinsi itu telah disurvei oleh perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Tim memeriksa kesiapan Palangkaraya dari aspek politik, hukum dan segi keamanan.
Selain itu, Sekretaris Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Tohar, pun mengungkap tim dari Bappenas sudah delapan kali mengkaji lokasi calon ibu kota negara di wilayah tersebut sejak 2018.
Tohar menjelaskan selain Penajam Paser, tim juga mengkaji kondisi Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan sebagai calon ibu kota baru pemerintahan.
Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, menjelaskan bahwa rencana pemindahan ibu kota merupakam pemikiran hebat sebuah bangsa yang besar, baik secara ukuran geografis maupun keberagaman kekayaan.
"Makanya kita sangat antusias sekali dan ini mungkin bagian dari upaya bangsa ini ingin lepas dari, belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Sampai hari ini, 73 tahun Indonesia merdeka, masih banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia dan ini adalah alternatif pemecahan masalah yang besar, yang sedang dihadapi oleh bangsa," ujar Sahbirin.
Sejumlah jumlah wilayah di Kalimantan Selatan memiliki kondisi tanah yang stabil serta berlokasi di pinggir Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI 1 dan ALKI 2) sehingga diklaim memiliki sisi ekonomis yang besar.
Sesuai dengan koridornya, setelah semua aspek kajian terpenuhi, pemerintah selanjutnya akan berkonsultasi kepada DPR RI termasuk dengan sejumlah tokoh bangsa sebelum memutuskan kota definitif untuk pembangunan ibu kota baru pemerintahan Indonesia.
Untuk menentukan daerah mana yang akan menjadi ibu kota akan dilakukan melalui calon ibu kota dilakukan semacam "beauty contest.
Jika semua berjalan dengan rencana, maka persiapan pemindahan ibu kota baru akan didetilkan dalam "master plan" pada 2020, dengan tahap konstruksi direncanakan dimulai pada 2021 hingga 2024, dan pada tahun yang sama (2024) dilakukkan pemindahan tahap pertama.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas (29/4/2019) bertopik pemindahan ibu kota menegaskan bahwa wacana pemindahan ibu kota kerap timbul tenggelam, karena sebelumnya di masa lalu tidak direncanakan secara matang maupun diputuskan.
Untuk itu, Pemerintah serius dalam merencanakan pemindahan ibu kota dan mempertimbangkannya untuk keperluan jangka panjang secara visioner sekaligus kompetisi di tingkat global.
"Memindahkan ibu kota memerlukan persiapan yang matang, persiapan yang detail, baik dari sisi pilihan lokasi yang tepat, termasuk dengan memperhatikan aspek geopolitik, geostrategis, kesiapan infrastruktur pendukung dan juga soal pembiayaannya," kata Presiden.
Jokowi menekankan rencana perpindahan ibu kota ke kawasan yang baru bukan hanya akan memindahkan pusat pemerintahan, tetapi juga upaya mendorong kegiatan ekonomi dan pemerataan pembangunan.
Kepala Negara mengarahkan menteri terkait untuk mencari daerah yang paling tepat dan aman dinilai dari sisi ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan, hingga terkait resiko bencana.
Bahkan beberapa kementerian telah memiliki data hasum kelayakan ke daerah-daerah di Pulau Kalimantan.
Indonesia perlu belajar atau membandingkan proses pemindahan ibu kota dari negara lain yang telah memindahkan ibu kota pemerintahannya ke kawasan yang baru seperti Korea Selatan dari Seoul ke Sejong, serta Brazil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, dan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya.
Negeri ginseng Korsel membutuhkan biaya 22 miliar dolar AS dengan desain kota untuk kapasitas tinggal 500 ribu orang.
Sementara, Brazil membutuhkan biaya sebesar 8,1 miliar dolar AS untuk pembangunan tahap awal yang direncanakan hanya ditinggali oleh 500 ribu jiwa, namun saat ini ditempati oleh 2,5 juta orang.
Bambang Brodjonegoro menjelaskan rancangan ibu kota baru pemerintahan akan dibangun secara modern dengan konsep kota yang cerdas, asri dan indah.
Sejumlah pihak yang menurutnya akan "menempati" ibu kota baru itu yakni institusi-institusi dengan fungsi pemerintahan baik eksekutif, kementerian dan lembaga, legislatif, MPR RI, DPR RI, kehakiman, kejaksaan, Mahakamah Konstitusi, TNI dan Polri, kedutaan besar negara sahabat serta organisasi-organisasi internasional.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga angkat bicara perihal tantangan pemindahan ibu kota pemerintahan.
Dia mengingatkan tantangan terbesar yakni pada saat perpindahan para pegawai pemerintahan yang bermigrasi ke daerah baru.
Wapres menilai dibutuhkan waktu selama 10-20 tahun untuk benar-benar menuntaskan proses pemindahan ibu kota pemerintahan.
Pemindahan ibu kota pemerintahan harus direncanakan dengan matang dan berjenjang serta membutuhkan kekuatan politis yang berkesinambungan.
Pasalnya, hal-hal yang dituju bukan hanya perpindahan ibu kota saja, namun juga kehidupan masyarakat, sektor sosial budaya dan pembangunan ekonominya.
Tentu semua sepakat, bahwa pemindahan ibu kota yang di depan mata ini merupakam pekerjaan rumah yang besar, karena tidak mudah memindahkan ibu kota pemerintahan ke tempat yang baru.
Namun jika program ini berhasil, dan semua terintegrasi serta berkesinambungan maka akan menciptakan Indonesia yang semakin kuat serta mewujudkan Sila Kelima Pancasila; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.