Jakarta (ANTARA) - Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Rommy menyebut bahwa operasi tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap dirinya memangkas suara PPP pada Pemilihan Umum 2019.
"Terlebih penangkapan saya pada tanggal 15 Maret 2019, atau 1 bulan sebelum pemilu 2019," kata Rommy saat membacakan nota eksepsi (keberatan) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Penurunan suara PPP, menurut Rommy, secara politik tidak bisa dipisahkan dari imbas citra politik secara nasional karena penangkapan terhadap dirinya. Pada Pemilu 2014, PPP mendapatkan 39 kursi, kini perolehan kursinya menjadi 19 kursi DPR RI.
Rommy membacakan nota keberatan sepanjang 19 halaman tersebut selama sekitar 1 jam.
Dalam perkara ini, Rommy didakwa menerima suap bersama-sama dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sebesar Rp325 juta dari Kepala Kantor Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Rp91,4 juta dari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi terkait dengan pengangkatan keduanya dalam jabatan masing-masing.
Menurut Rommy, perolehan suara PPP dalam Pemilu 2019 mengalami penurunan lebih dari 1 juta suara karena pada Pemilu 2014 PPP mengantungi 8,1 juta suara atau 6,53 persen dari suara sah nasional. Akan tetapi, pada Pemilu 2019 meraih 6,3 juta atau 4,52 persen suara.
"Perolehan suara ini menjadikan PPP sebagai partai paling buncit dan nyaris tidak lolos ambang batas parlemen," ungkap Rommy.
Rommy pun melimpahkan sebab penurunan suara PPP tersebut kepada penyelidik KPK.
"Kepada penyelidik yang memimpin operasi KPK pada tanggal 15 maret 2019 sudah saya katakan, 'Kalau PPP nanti terjerembab di Pileg 2019, Andalah yang paling bertanggung jawab atas berkurangnya dukungan politik legislasi yang dibutuhkan umat secara nasional," tambah Rommy.
Rommy yakin meski KPK menyatakan operasi itu murni agenda penegakan hukum, hal yang naif kalau KPK tidak menyadari bahwa agenda penegakan hukum dilakukan hanya sebulan sebelum pemilu terhadap seorang ketua umum parpol bakal memiliki imbas secara politik.
"Kecuali kalau memang rancangannya adalah mengerdilkan PPP atau sekadar mencari sensasi, itu sukses besar," tegas Rommy.
Rommy pun meminta agar jabatannya sebagai ketua umum PPP dalam surat dakwaan dihapus karena dapat menimbulkan protes umat.
"Oleh karena itu, jika hari ini dan hari-hari selanjutnya kader dan fungsionaris PPP hadir di majelis yang mulia ini atau mengikuti secara live dari siaran media sosial semua hanya untuk mentabayun apakah penangkapan, kemudian dakwaan kepada saya ini murni perkara hukum, fiksi ilmiah atau operasi politik yang berbungkus penegakan hukum?" kata Rommy.
Terkait dengan perkara ini Haris dan Muafaq telah divonis. Haris divonis 2 tahun penjara, sedangkan Muafaq divonis 1,5 tahun penjara.
"Terlebih penangkapan saya pada tanggal 15 Maret 2019, atau 1 bulan sebelum pemilu 2019," kata Rommy saat membacakan nota eksepsi (keberatan) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Penurunan suara PPP, menurut Rommy, secara politik tidak bisa dipisahkan dari imbas citra politik secara nasional karena penangkapan terhadap dirinya. Pada Pemilu 2014, PPP mendapatkan 39 kursi, kini perolehan kursinya menjadi 19 kursi DPR RI.
Rommy membacakan nota keberatan sepanjang 19 halaman tersebut selama sekitar 1 jam.
Dalam perkara ini, Rommy didakwa menerima suap bersama-sama dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sebesar Rp325 juta dari Kepala Kantor Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Rp91,4 juta dari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi terkait dengan pengangkatan keduanya dalam jabatan masing-masing.
Menurut Rommy, perolehan suara PPP dalam Pemilu 2019 mengalami penurunan lebih dari 1 juta suara karena pada Pemilu 2014 PPP mengantungi 8,1 juta suara atau 6,53 persen dari suara sah nasional. Akan tetapi, pada Pemilu 2019 meraih 6,3 juta atau 4,52 persen suara.
"Perolehan suara ini menjadikan PPP sebagai partai paling buncit dan nyaris tidak lolos ambang batas parlemen," ungkap Rommy.
Rommy pun melimpahkan sebab penurunan suara PPP tersebut kepada penyelidik KPK.
"Kepada penyelidik yang memimpin operasi KPK pada tanggal 15 maret 2019 sudah saya katakan, 'Kalau PPP nanti terjerembab di Pileg 2019, Andalah yang paling bertanggung jawab atas berkurangnya dukungan politik legislasi yang dibutuhkan umat secara nasional," tambah Rommy.
Rommy yakin meski KPK menyatakan operasi itu murni agenda penegakan hukum, hal yang naif kalau KPK tidak menyadari bahwa agenda penegakan hukum dilakukan hanya sebulan sebelum pemilu terhadap seorang ketua umum parpol bakal memiliki imbas secara politik.
"Kecuali kalau memang rancangannya adalah mengerdilkan PPP atau sekadar mencari sensasi, itu sukses besar," tegas Rommy.
Rommy pun meminta agar jabatannya sebagai ketua umum PPP dalam surat dakwaan dihapus karena dapat menimbulkan protes umat.
"Oleh karena itu, jika hari ini dan hari-hari selanjutnya kader dan fungsionaris PPP hadir di majelis yang mulia ini atau mengikuti secara live dari siaran media sosial semua hanya untuk mentabayun apakah penangkapan, kemudian dakwaan kepada saya ini murni perkara hukum, fiksi ilmiah atau operasi politik yang berbungkus penegakan hukum?" kata Rommy.
Terkait dengan perkara ini Haris dan Muafaq telah divonis. Haris divonis 2 tahun penjara, sedangkan Muafaq divonis 1,5 tahun penjara.