Jakarta (ANTARA) - Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia menyetujui pinjaman sebesar 150 juta dolar AS bagi Indonesia untuk meningkatkan investasi tenaga panas bumi dengan mengurangi risiko eksplorasi tahap awal.
Direktur Negara Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Rodrigo A Chaves dalam pernyataan di Jakarta, Sabtu, mengatakan pinjaman ini dapat mengatasi pendanaan pengeboran eksplorasi yang menjadi salah satu hambatan utama untuk memperluas tenaga panas bumi di Indonesia.
"Dengan mengatasi rintangan ini, Indonesia akan memanfaatkan sepenuhnya potensi panas bumi yang besar di negara ini," kata Rodrigo Chaves.
Untuk itu, ia mengatakan, Bank Dunia berkomitmen untuk membantu Indonesia mencapai akses universal terhadap listrik sebagai landasan untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kemakmuran bagi warga Indonesia.
Pinjaman ini disertai hibah sebesar 127,5 juta dolar AS dari Green Climate Fund dan Clean Technology Fund yang merupakan dua institusi yang mendukung pembangunan ramah iklim.
Melalui proyek Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM), pinjaman akan membantu pengembang, baik sektor publik maupun swasta, mengurangi risiko eksplorasi sumber daya panas bumi termasuk menutup sebagian biaya jika eksplorasi gagal.
Proyek ini juga akan membiayai bantuan teknis dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan utama sektor panas bumi.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral FX Sutijastoto menambahkan proyek tenaga panas bumi merupakan investasi yang berisiko, terutama pada tahap eksplorasi dan tidak ada institusi keuangan yang memberi pendanaan pada tahap awal tersebut.
"Kami menyambut baik fasilitas GREM, yang khusus mendanai aktivitas eksplorasi dan memberi instrumen untuk membagi risiko. Proyek ini akan membantu menjawab tantangan besar pendanaan eksplorasi sehingga berkontribusi pada keberhasilan pengembangan tenaga panas bumi di Indonesia," katanya.
Saat ini, biaya pengeboran eksplorasi untuk energi ini relatif kecil dibanding total biaya pengembangan tenaga panas bumi.
Namun, ini adalah fase paling berisiko dan pengembang sering sulit memperoleh modal awal karena mungkin tidak akan memperoleh kembali biaya yang dikeluarkan jika pengeboran menunjukkan bahwa sumber daya panas bumi tidak layak secara ekonomi.
Sebagai sumber energi yang bersih dan terbarukan serta bisa menyediakan listrik secara berkesinambungan, panas bumi bisa mengurangi ketergantungan Indonesia pada batubara dan bahan bakar fosil lain.
Jika sumber daya panas bumi dapat diakses dengan mudah, maka biayanya akan bersaing dengan batubara dan gas alam.
"Untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 memerlukan kontribusi dari pengembangan panas bumi sekitar tujuh persen atau setara 7.000 MW. Ini merupakan pembangunan skala besar dan ambisius dengan total nilai investasi sebesar 35 miliar dolar AS," ujar Sutijastoto.
Indonesia merupakan net importir minyak mentah dan masih bergantung pada bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik.
Dari total kapasitas daya terpasang nasional, 88 persen bersumber dari bahan bakar fosil sedangkan 12 persen berasal dari energi terbarukan.
Indonesia telah memiliki 1,9 gigawatt tenaga panas bumi terpasang dan berencana untuk mengembangkan 4,6 gigawatt tambahan untuk membantu memenuhi target energi terbarukan pemerintah.
Direktur Negara Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Rodrigo A Chaves dalam pernyataan di Jakarta, Sabtu, mengatakan pinjaman ini dapat mengatasi pendanaan pengeboran eksplorasi yang menjadi salah satu hambatan utama untuk memperluas tenaga panas bumi di Indonesia.
"Dengan mengatasi rintangan ini, Indonesia akan memanfaatkan sepenuhnya potensi panas bumi yang besar di negara ini," kata Rodrigo Chaves.
Untuk itu, ia mengatakan, Bank Dunia berkomitmen untuk membantu Indonesia mencapai akses universal terhadap listrik sebagai landasan untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kemakmuran bagi warga Indonesia.
Pinjaman ini disertai hibah sebesar 127,5 juta dolar AS dari Green Climate Fund dan Clean Technology Fund yang merupakan dua institusi yang mendukung pembangunan ramah iklim.
Melalui proyek Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM), pinjaman akan membantu pengembang, baik sektor publik maupun swasta, mengurangi risiko eksplorasi sumber daya panas bumi termasuk menutup sebagian biaya jika eksplorasi gagal.
Proyek ini juga akan membiayai bantuan teknis dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan utama sektor panas bumi.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral FX Sutijastoto menambahkan proyek tenaga panas bumi merupakan investasi yang berisiko, terutama pada tahap eksplorasi dan tidak ada institusi keuangan yang memberi pendanaan pada tahap awal tersebut.
"Kami menyambut baik fasilitas GREM, yang khusus mendanai aktivitas eksplorasi dan memberi instrumen untuk membagi risiko. Proyek ini akan membantu menjawab tantangan besar pendanaan eksplorasi sehingga berkontribusi pada keberhasilan pengembangan tenaga panas bumi di Indonesia," katanya.
Saat ini, biaya pengeboran eksplorasi untuk energi ini relatif kecil dibanding total biaya pengembangan tenaga panas bumi.
Namun, ini adalah fase paling berisiko dan pengembang sering sulit memperoleh modal awal karena mungkin tidak akan memperoleh kembali biaya yang dikeluarkan jika pengeboran menunjukkan bahwa sumber daya panas bumi tidak layak secara ekonomi.
Sebagai sumber energi yang bersih dan terbarukan serta bisa menyediakan listrik secara berkesinambungan, panas bumi bisa mengurangi ketergantungan Indonesia pada batubara dan bahan bakar fosil lain.
Jika sumber daya panas bumi dapat diakses dengan mudah, maka biayanya akan bersaing dengan batubara dan gas alam.
"Untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 memerlukan kontribusi dari pengembangan panas bumi sekitar tujuh persen atau setara 7.000 MW. Ini merupakan pembangunan skala besar dan ambisius dengan total nilai investasi sebesar 35 miliar dolar AS," ujar Sutijastoto.
Indonesia merupakan net importir minyak mentah dan masih bergantung pada bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik.
Dari total kapasitas daya terpasang nasional, 88 persen bersumber dari bahan bakar fosil sedangkan 12 persen berasal dari energi terbarukan.
Indonesia telah memiliki 1,9 gigawatt tenaga panas bumi terpasang dan berencana untuk mengembangkan 4,6 gigawatt tambahan untuk membantu memenuhi target energi terbarukan pemerintah.