Palangka Raya (ANTARA) - Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Kalimantan Tengah Satriadi menyatakan pemilihan kepala daerah Kalteng pada 2020 terancam tanpa pengawasan, karena sampai 1 Oktober 2019 tidak ada penandatangan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) untuk anggaran pengawasan.
Tahapan pilkada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 15 tahun 2019 pun sudah dimulai pada awal Oktober 2019, kata Satriadi di Palangka Raya, Selasa.
"Pemerintah Provinsi Kalteng bahkan sudah melakukan penandatangan NPHD, tapi Bawaslu Kalteng tidak ada ikut menandatangani. Jadi, yang membuat Pilkada Kalteng terancam tanpa pengawasan," beber dia.
Informasinya Pemprov Kalteng tidak sepenuhnya menyetujui besaran anggaran yang diusulkan Bawaslu terkait pelaksanaan Pilkada 2020. Di mana Bawaslu Kalteng mengusulkan anggaran sebesar Rp122 miliar, namun disetujui Pemprov hanya sekitar Rp88 miliar lebih.
Satriadi mengatakan bahwa pihaknya sebenarnya cukup akomodatif dan responsif dengan pemprov terkait pembahasan anggaran. Hal itu dibuktikan dengan dilakukannya pembahasan bersama dan adanya penurunan yang sangat tajam dari usulan semula Rp122 miliar, menjadi Rp115 miliar, diturunkan lagi hingga Rp110 miliar, dan terakhir Rp95,4 miliar.
"Karena sudah ada kesepakatan Rp95,4 miliar, maka dilakukan rapat bersama, Senin (30/9/20109), khusus untuk membahas isi NPHD. Namun pada siangnya, kami mendapat undangan dari pak Sekda untuk dilakukan pembahasan lagi terkait anggaran, dan meminta supaya anggaran 95,4 tersebut diminta untuk diturunkan lagi," ucapnya.
Permintaan penurunan kembali tersebut terutama item honorarium dan bulan masa tugas bagi pengawas Adhock, namun pihak Bawaslu Kalteng kurang setuju, sehingga rapat tidak tercapai kesepakatan.
Baca juga: Anggaran pelaksanaan pilkada Kalteng kembali berkurang
Satriadi mengatakan terkait honorarium sudah sesuai dengan Surat dari Menteri Keuangan RI No.S-631/MK.02/2019 tanggal 26 Agustus 2019 perihal revisi Surat Menteri Keuangan Nomor S-417/MK.02/2016 dan S-994/MK.02/2017. Hal Honorarium Pengawasan Tahapan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pengawasan Tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang ditujukan kepada Ketua Bawaslu Republik Indonesia.
Sebagaimana diatur dalam UU No.10/2016 tentang Perubahan kedua atas UU No.1/2015 tentang penetapan peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, pada pasal bagian keenam Pengawas Penyelenggaraan Pemilihan, pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengawasan terhadap penyelenggaran Pemilihan dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL dan Pengawas TPS.
"Tentu jika Pilkada Kalteng tahun depan tanpa pengawasan maka berpengaruh pada legitimiasi proses pelaksanaan dan hasil Pilkada itu sendiri," demikian Satriadi.
Baca juga: 13 bacagub Kalteng resmi daftar ke PDI Perjuangan
Baca juga: Habib Ismail mengaku kaget dengan pernyataan Sugianto terkait pilkada
Tahapan pilkada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 15 tahun 2019 pun sudah dimulai pada awal Oktober 2019, kata Satriadi di Palangka Raya, Selasa.
"Pemerintah Provinsi Kalteng bahkan sudah melakukan penandatangan NPHD, tapi Bawaslu Kalteng tidak ada ikut menandatangani. Jadi, yang membuat Pilkada Kalteng terancam tanpa pengawasan," beber dia.
Informasinya Pemprov Kalteng tidak sepenuhnya menyetujui besaran anggaran yang diusulkan Bawaslu terkait pelaksanaan Pilkada 2020. Di mana Bawaslu Kalteng mengusulkan anggaran sebesar Rp122 miliar, namun disetujui Pemprov hanya sekitar Rp88 miliar lebih.
Satriadi mengatakan bahwa pihaknya sebenarnya cukup akomodatif dan responsif dengan pemprov terkait pembahasan anggaran. Hal itu dibuktikan dengan dilakukannya pembahasan bersama dan adanya penurunan yang sangat tajam dari usulan semula Rp122 miliar, menjadi Rp115 miliar, diturunkan lagi hingga Rp110 miliar, dan terakhir Rp95,4 miliar.
"Karena sudah ada kesepakatan Rp95,4 miliar, maka dilakukan rapat bersama, Senin (30/9/20109), khusus untuk membahas isi NPHD. Namun pada siangnya, kami mendapat undangan dari pak Sekda untuk dilakukan pembahasan lagi terkait anggaran, dan meminta supaya anggaran 95,4 tersebut diminta untuk diturunkan lagi," ucapnya.
Permintaan penurunan kembali tersebut terutama item honorarium dan bulan masa tugas bagi pengawas Adhock, namun pihak Bawaslu Kalteng kurang setuju, sehingga rapat tidak tercapai kesepakatan.
Baca juga: Anggaran pelaksanaan pilkada Kalteng kembali berkurang
Satriadi mengatakan terkait honorarium sudah sesuai dengan Surat dari Menteri Keuangan RI No.S-631/MK.02/2019 tanggal 26 Agustus 2019 perihal revisi Surat Menteri Keuangan Nomor S-417/MK.02/2016 dan S-994/MK.02/2017. Hal Honorarium Pengawasan Tahapan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pengawasan Tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang ditujukan kepada Ketua Bawaslu Republik Indonesia.
Sebagaimana diatur dalam UU No.10/2016 tentang Perubahan kedua atas UU No.1/2015 tentang penetapan peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, pada pasal bagian keenam Pengawas Penyelenggaraan Pemilihan, pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengawasan terhadap penyelenggaran Pemilihan dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL dan Pengawas TPS.
"Tentu jika Pilkada Kalteng tahun depan tanpa pengawasan maka berpengaruh pada legitimiasi proses pelaksanaan dan hasil Pilkada itu sendiri," demikian Satriadi.
Baca juga: 13 bacagub Kalteng resmi daftar ke PDI Perjuangan
Baca juga: Habib Ismail mengaku kaget dengan pernyataan Sugianto terkait pilkada