Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengenai adanya kasus yang dilaporkan oleh Presiden Joko Widodo ke KPK namun belum terungkap hingga kini.
"Dari apa yang disampaikan Menkopolhukam di salah satu acara yang terbuka untuk umum kemarin, kita belum mengetahui kasus apa yang dimaksud," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Selasa.
Mahfud MD dalam pertemuan dengan tokoh masyarakat di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (11/11) mengungkapkan adanya laporan dari Presiden Jokowi ke KPK, namun kasus tersebut tidak kunjung terungkap hingga kini.
Laode mengatakan berdasarkan aturan perundang-undangan, seluruh data pelaporan, termasuk informasi mengenai identitas pelapor harus dirahasiakan.
Dia pun mempersilakan Mahfud untuk mendatangi KPK bila memang ingin mengetahui lebih jauh terkait kasus yang dimaksud.
Lebih jauh Syarif mengatakan saat ini setidaknya terdapat dua kasus yang sedang ditangani KPK dan menjadi perhatian Presiden Jokowi dan sejumlah pihak.
Kedua kasus itu, kata Syarif, memang membutuhkan waktu dalam pengungkapannya lantaran kompleksitas perkara dan sulitnya memperoleh bukti.
Kasus pertama terkait pengadaan Helikopter Agusta Westland 101 (AW101). Syarif mengatakan penanganan kasus tersebut memerlukan kerja sama yang kuat antara KPK dan POM TNI.
KPK dalam kasus ini menangani satu orang tersangka dari pihak swasta, yakni Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. Sedangkan POM TNI menangani tersangka dengan latar belakang militer.
POM TNI sendiri telah menetapkan lima tersangka terkait kasus itu.
Lima tersangka itu, yakni anggota TNI AU yaitu atas nama Kolonel Kal FTS SE sebagai Kepala Unit Pelayanan Pengadaan, Marsekal Madya TNI FA yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa.
Selanjutnya Letkol administrasi WW selaku pejabat pemegang kas atau pekas, Pelda (Pembantu letnan dua) SS staf pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, dan Marsda TNI SB selaku asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara.
Syarif mengatakan saat ini KPK tengah menunggu hasil audit kerugian keuangan negara akibat kasus tersebut yang sedang dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
"Jadi kasus ini sangat tergantung pada keterbukaan dan kesungguhan TNI. Pihak swasta-nya sudah atau tengah ditangani oleh KPK," kata Syarif.
"Khusus untuk kasus ini kami mengharapkan dukungan penuh Presiden dan Menkopolhukam, karena kasusnya sebenarnya tidak susah kalau ada kemauan dari TNI dan BPK," sambung dia.
Sedangkan kasus kedua adalah penyidikan perkara suap terkait perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Services (PES) Pte. Ltd.
Dalam kasus tersebut KPK telah menetapkan Managing Director Pertamina Energy Services Pte. Ltd periode 2009-2013 berinisial BTO sebagai tersangka.
Syarif mengatakan dalam pengungkapan perkara itu, KPK membutuhkan penelusuran bukti lintas negara, sehingga memerlukan kerja sama internasional yang kuat.
Namun ternyata terdapat beberapa negara yang enggan membantu mengungkap kasus tersebut.
"Perlu disampaikan bahwa kasus ini melibatkan beberapa negara yaitu Indonesia, Thailand, United Arab Emirate, Singapore, British Virgin Island, dan sayangnya hanya dua negara yang mau membantu, sedang dua negara lain tidak kooperatif," kata Syarif.
Terlibatnya sejumlah perusahaan di beberapa negara "save heaven" seperti British Virgin Island, kata dia, menambah kesulitan dalam pengungkapan kasus.
Syarif berharap semua pihak dapat mendukung penanganan perkara tersebut.
"Lebih dari itu, perlu dipahami penanganan perkara korupsi tentu harus didasarkan pada alat bukti. Dan kemampuan memperoleh alat bukti sangat dipengaruhi oleh kewenangan yang diberikan Undang-Undang serta sikap kooperatif pihak-pihak yang dipanggil KPK," kata dia.
"Dari apa yang disampaikan Menkopolhukam di salah satu acara yang terbuka untuk umum kemarin, kita belum mengetahui kasus apa yang dimaksud," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Selasa.
Mahfud MD dalam pertemuan dengan tokoh masyarakat di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (11/11) mengungkapkan adanya laporan dari Presiden Jokowi ke KPK, namun kasus tersebut tidak kunjung terungkap hingga kini.
Laode mengatakan berdasarkan aturan perundang-undangan, seluruh data pelaporan, termasuk informasi mengenai identitas pelapor harus dirahasiakan.
Dia pun mempersilakan Mahfud untuk mendatangi KPK bila memang ingin mengetahui lebih jauh terkait kasus yang dimaksud.
Lebih jauh Syarif mengatakan saat ini setidaknya terdapat dua kasus yang sedang ditangani KPK dan menjadi perhatian Presiden Jokowi dan sejumlah pihak.
Kedua kasus itu, kata Syarif, memang membutuhkan waktu dalam pengungkapannya lantaran kompleksitas perkara dan sulitnya memperoleh bukti.
Kasus pertama terkait pengadaan Helikopter Agusta Westland 101 (AW101). Syarif mengatakan penanganan kasus tersebut memerlukan kerja sama yang kuat antara KPK dan POM TNI.
KPK dalam kasus ini menangani satu orang tersangka dari pihak swasta, yakni Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. Sedangkan POM TNI menangani tersangka dengan latar belakang militer.
POM TNI sendiri telah menetapkan lima tersangka terkait kasus itu.
Lima tersangka itu, yakni anggota TNI AU yaitu atas nama Kolonel Kal FTS SE sebagai Kepala Unit Pelayanan Pengadaan, Marsekal Madya TNI FA yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa.
Selanjutnya Letkol administrasi WW selaku pejabat pemegang kas atau pekas, Pelda (Pembantu letnan dua) SS staf pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, dan Marsda TNI SB selaku asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara.
Syarif mengatakan saat ini KPK tengah menunggu hasil audit kerugian keuangan negara akibat kasus tersebut yang sedang dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
"Jadi kasus ini sangat tergantung pada keterbukaan dan kesungguhan TNI. Pihak swasta-nya sudah atau tengah ditangani oleh KPK," kata Syarif.
"Khusus untuk kasus ini kami mengharapkan dukungan penuh Presiden dan Menkopolhukam, karena kasusnya sebenarnya tidak susah kalau ada kemauan dari TNI dan BPK," sambung dia.
Sedangkan kasus kedua adalah penyidikan perkara suap terkait perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Services (PES) Pte. Ltd.
Dalam kasus tersebut KPK telah menetapkan Managing Director Pertamina Energy Services Pte. Ltd periode 2009-2013 berinisial BTO sebagai tersangka.
Syarif mengatakan dalam pengungkapan perkara itu, KPK membutuhkan penelusuran bukti lintas negara, sehingga memerlukan kerja sama internasional yang kuat.
Namun ternyata terdapat beberapa negara yang enggan membantu mengungkap kasus tersebut.
"Perlu disampaikan bahwa kasus ini melibatkan beberapa negara yaitu Indonesia, Thailand, United Arab Emirate, Singapore, British Virgin Island, dan sayangnya hanya dua negara yang mau membantu, sedang dua negara lain tidak kooperatif," kata Syarif.
Terlibatnya sejumlah perusahaan di beberapa negara "save heaven" seperti British Virgin Island, kata dia, menambah kesulitan dalam pengungkapan kasus.
Syarif berharap semua pihak dapat mendukung penanganan perkara tersebut.
"Lebih dari itu, perlu dipahami penanganan perkara korupsi tentu harus didasarkan pada alat bukti. Dan kemampuan memperoleh alat bukti sangat dipengaruhi oleh kewenangan yang diberikan Undang-Undang serta sikap kooperatif pihak-pihak yang dipanggil KPK," kata dia.