Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengaku dicecar 22 pertanyaan dalam pemeriksaannya sebagai saksi terkait kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024.

"Ada 22 pertanyaan yang diajukan pada saya. Pertama, terkait dengan profil saya, jabatan saya, tugas kewenangan, dan kewajiban saya," kata Arief usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Dalam penyidikan kasus itu, KPK pada Selasa memeriksa Arief sebagai saksi untuk tersangka Saeful (SAE) dari unsur swasta.

Selain Saeful, KPK juga telah menetapkan tiga tersangka lainnya, yakni mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan (WSE), mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF), dan kader PDIP Harun Masiku (HAR) yang saat masih menjadi buronan.

"Kedua, terkait relasi saya dengan Pak Wahyu, cara kerja saya dengan Pak Wahyu dan para anggota KPU," ujar Arief.

Selanjutnya, kata dia, juga dikonfirmasi soal surat-surat dari PDI Perjuangan perihal pengajuan Harun dalam PAW tersebut.

"Ketiga, terkait cara kami merespons dan menjawab surat-surat dari PDI Perjuangan terkait dengan perkara ini," ungkap Arief.

Lebih lanjut, ia juga menyebut bahwa Wahyu bersama komisioner KPU lainnya juga tidak berbeda pendapat selama rapat pleno bahwa PAW terhadap Harun Masiku itu tidak dapat dilaksanakan.

"Tidak ada, tidak ada. Pokoknya KPU telah mengambil putusan sebagaimana yang kami tuangkan dalam surat yang kami kirimkan sebagai jawaban itu. Siapa pun bisa mengajukan PAW tetapi pengajuan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kami memproses sesuai ketentuan yang berlaku," kata Arief.

Dalam pemeriksaannya, ia juga mengaku sempat ditanya apakah dirinya turut menerima aliran uang terkait kasus suap tersebut.

"Tidak, cuma saya ditanya, Pak Arief menerima juga tidak? Ya saya bilang tidak lah," ucap Arief.

Dalam konstruksi perkara kasus itu, KPK menjelaskan bahwa pada awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan advokatnya Donny Tri Istiqomah mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.

Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019.

Gugatan itu kemudian dikabulkan Mahkamah Agung (MA) pada 19 Juli 2019. MA menetapkan partai adalah penentu suara dan pengganti antarwaktu.

Penetapan MA itu kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti caleg yang meninggal tersebut.

Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti almarhum Nazarudin Kiemas yang juga adik dari mendiang Taufik Kiemas.

Dua pekan kemudian atau tanggal 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat berisi penetapan caleg.

Selanjutnya, Saeful menghubungi Agustiani dan melakukan lobi untuk mengabulkan Harun sebagai PAW.

Kemudian Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saeful kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun. Wahyu menyanggupi untuk membantu dengan membalas "siap, mainkan!".

Wahyu pun meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun menjadi anggota DPR RI dapil Sumatera Selatan I menggantikan caleg DPR terpilih dari Fraksi PDIP dapil Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp600 juta.

Pewarta : Benardy Ferdiansyah
Uploader : Ronny
Copyright © ANTARA 2024