Jakarta (ANTARA) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) maupun cabang olahraga lainnya terkait dana Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima).
"Ada tim khusus BPK untuk PDTT (Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu) tahun 2017 dan 2018 dan ruang lingkupnya untuk Satlak Prima sejak 2014-2017," kata Sekretaris Menpora (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Gatot menjadi saksi untuk mantan Menpora Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Ulum dalam dakwaan Imam disebut perantara penerima uang tersebut.
Satlak Prima adalah Program Pemerintah untuk menciptakan Atlet Andalan Nasional yang mampu berprestasi di tingkat internasional. Struktur tersebut dibentuk sejak 2010 dan dibubarkan pada 19 Oktober 2017.
"Temuan BPK ada anggaran Satlak Prima tidak sesuai peruntukan, misalnya, akomodasi yang nilainya beda dengan jumlah dicairkan, lalu penggunaan nutrisi dan seterusnya sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan," ungkap Gatot.
Namun, Gatot tidak ingat jumlah anggaran yang dinilai tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh BPK.
Gatot mengetahui kondisi tersebut dari anggota BPK Achsanul Qosasih yang memaparkan audit intern tersebut pada Agustus 2019.
"Saat itu dipaparkan dalam acara khusus yang dihadiri Pak Menteri, kami jajaran eselon 1 Sesmenpora, Plt Deputi IV, staf ahli, pimpinan KONI, KOI (Komite Olimpiade Indonesia), pimpinan cabang-cabang olahraga. Paparan itu jadi peringatan mengingat Desember 2018 ada OTT dan BPK berharap hal-hal itu tidak terulang," tutur Gatot.
Namun, paparan tersebut tidak terbuka untuk umum. "Dipaparkan secara terbuka dalam slide untuk masing-masing cabor dan KONI tapi itu konsumsi intern, Pak Achsanul mengatakan dipastikan jangan ada wartawan dan bocor ke orang luar," ungkap Gatot.
Kisaran kebocorannya adalah sekitar 15 persen. "Potongan anggarannya sekitar 15 persen, dan menanggapi paparan itu Pak Menteri mengatakan hal itu jadi peringatan untuk internal Kemenpora dan cabor-cabor agar tidak diulangi lalu pada Februari 2019 Pak Imam mengeluarkan edaran mengenai pembayaran non-tunai, efek dari paparan Pak Achsanul tersebut," ujar Gatot menambahkan.
Dalam perkara ini mantan Menpora Imam Nahrawi bersama-sama dengan asisten pribadinya Miftahul Ulum didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E Awuy yaitu terkait proprosal bantuan dana hibah kepada Kemenpora dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berpresetasi tahun 2018.
Sedangkan dalam dakwaan kedua Imam didakwa menerima gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar dengan rincian Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy; uang Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI, Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kemenpora RI tahun anggaran 2015-2016; uang Rp1 milliar dari Edward Taufan Panjaitan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program Satlak Prima 2016-2017 dan uang sejumlah Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Presitasi Olahraga Nasional (PPON) tahun 2017-2018 dari KONI Pusat.
"Ada tim khusus BPK untuk PDTT (Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu) tahun 2017 dan 2018 dan ruang lingkupnya untuk Satlak Prima sejak 2014-2017," kata Sekretaris Menpora (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Gatot menjadi saksi untuk mantan Menpora Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Ulum dalam dakwaan Imam disebut perantara penerima uang tersebut.
Satlak Prima adalah Program Pemerintah untuk menciptakan Atlet Andalan Nasional yang mampu berprestasi di tingkat internasional. Struktur tersebut dibentuk sejak 2010 dan dibubarkan pada 19 Oktober 2017.
"Temuan BPK ada anggaran Satlak Prima tidak sesuai peruntukan, misalnya, akomodasi yang nilainya beda dengan jumlah dicairkan, lalu penggunaan nutrisi dan seterusnya sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan," ungkap Gatot.
Namun, Gatot tidak ingat jumlah anggaran yang dinilai tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh BPK.
Gatot mengetahui kondisi tersebut dari anggota BPK Achsanul Qosasih yang memaparkan audit intern tersebut pada Agustus 2019.
"Saat itu dipaparkan dalam acara khusus yang dihadiri Pak Menteri, kami jajaran eselon 1 Sesmenpora, Plt Deputi IV, staf ahli, pimpinan KONI, KOI (Komite Olimpiade Indonesia), pimpinan cabang-cabang olahraga. Paparan itu jadi peringatan mengingat Desember 2018 ada OTT dan BPK berharap hal-hal itu tidak terulang," tutur Gatot.
Namun, paparan tersebut tidak terbuka untuk umum. "Dipaparkan secara terbuka dalam slide untuk masing-masing cabor dan KONI tapi itu konsumsi intern, Pak Achsanul mengatakan dipastikan jangan ada wartawan dan bocor ke orang luar," ungkap Gatot.
Kisaran kebocorannya adalah sekitar 15 persen. "Potongan anggarannya sekitar 15 persen, dan menanggapi paparan itu Pak Menteri mengatakan hal itu jadi peringatan untuk internal Kemenpora dan cabor-cabor agar tidak diulangi lalu pada Februari 2019 Pak Imam mengeluarkan edaran mengenai pembayaran non-tunai, efek dari paparan Pak Achsanul tersebut," ujar Gatot menambahkan.
Dalam perkara ini mantan Menpora Imam Nahrawi bersama-sama dengan asisten pribadinya Miftahul Ulum didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E Awuy yaitu terkait proprosal bantuan dana hibah kepada Kemenpora dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berpresetasi tahun 2018.
Sedangkan dalam dakwaan kedua Imam didakwa menerima gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar dengan rincian Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy; uang Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI, Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kemenpora RI tahun anggaran 2015-2016; uang Rp1 milliar dari Edward Taufan Panjaitan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program Satlak Prima 2016-2017 dan uang sejumlah Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Presitasi Olahraga Nasional (PPON) tahun 2017-2018 dari KONI Pusat.