Jakarta (ANTARA) - Profesi aktor suara diperkirakan akan semakin dicari seiring meningkatnya konten animasi di Indonesia.
Sejauh ini, serial animasi biasanya melibatkan para aktor suara atau penyulih suara profesional. Sedikit berbeda dengan film animasi yang lebih sering menggaet aktor dan aktris yang ternama.
Formula yang dipakai Indonesia mirip seperti film-film animasi dari Amerika Serikat, seperti "Frozen" yang melibatkan sederet aktor dan penyanyi ternama sebagai pengisi suara, seperti Kristen Bell, Idina Menzel dan Jonathan Groff.
"Terkait kebutuhan proyeknya, biasanya formulanya pasti memilih artis yang terkenal. Seperti Dwayne "The Rock" di Moana. Dia terkenal, tapi memang cocok untuk karakter itu," ujar Daryl Wilson, ketua Asosiasi Industri Animasi dan Kreatif Indonesia (AINAKI) kepada ANTARA.
Baca juga: Ridwan Kamil jadi pengisi suara tokoh Elang Jawa di film 'Riki Rhino'
Saat ini, para aktor suara lebih banyak dituntut untuk menyulih suara, mengganti dialog kartun dari bahasa lain ke bahasa Indonesia.
Namun, seiring bertambahnya konten animasi lokal yang membutuhkan penokohan kuat dari suara, para pengisi suara dituntut untuk memoles kemampuannya berakting lewat suara. Mereka punya keleluasaan sekaligus tantangan untuk menciptakan ciri khas dari sebuah karakter.
"Dengan adanya Intellectual Property lokal yang butuh eksplorasi karakter, profesi dubber yang dulunya sulih suara dituntut jadi voice actor," katanya.
"Akting kan penerjemahan karakter, misalnya ada proyek A, sutradara akan minta karakternya harus dibeginikan...Ini tantangan buat para dubber, bagaimana bisa mempelajari ini."
Fadjar Ibnu Thufail, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mengkaji animasi Jepang, berpendapat para penyulih suara animasi di Indonesia lebih condong pada gaya Hollywood.
Baca juga: Tom Holland hingga Selena Gomez jadi pengisi suara binatang di 'Dolittle'
Jepang punya sekolah khusus untuk orang yang ingin menjadi pengisi suara atau seiyuu.
Fadjar menuturkan, siswa-siswa pengisi suara diberikan materi mulai dari teater hingga pemahaman karakter tentang masyarakat Jepang.
Seiyuu bagaikan bunglon yang bisa beradaptasi menjadi macam-macam karakter. Seiyuu yang sukses tak melulu identik dengan karakter tertentu, ia bisa menciptakan karakter yang berbeda-beda karena punya dasar teater dan akting.
Baca juga: Tom Hanks sabet penghargaan seumur hidup Golden Globe 2020
"Harus memahami karakter mulai dari Hokkaido sampai Okinawa. Di kita juga begitu, misalnya bagaimana karakter orang Batak. Tapi, kalau di Jepang itu dimasukkan ke kurikulum pendidikan, bukan cuma karena berbakat mengikuti (suara) orang Batak," jelas dia.
"Mereka dilatih juga menirukan suara hewan, bahkan suara kereta api. Ibaratnya, kalau tidak ada alat, dia bisa isi suara apapun."
Fadjar pernah bertemu dengan beberapa orang Indonesia yang sedang belajar menjadi seiyuu di Negeri Sakura.
Bukan cuma belajar bahasa Jepang dan menciptakan suara-suara karakter yang beragam, mereka juga harus memahami nuansa ekspresi dalam teater Jepang.
"Makanya, belum tentu dubber di Indonesia bisa jadi dubber di Jepang, butuh keterampilan teatrikal yang berbeda dengan Indonesia," kata dia.
Sejauh ini, serial animasi biasanya melibatkan para aktor suara atau penyulih suara profesional. Sedikit berbeda dengan film animasi yang lebih sering menggaet aktor dan aktris yang ternama.
Formula yang dipakai Indonesia mirip seperti film-film animasi dari Amerika Serikat, seperti "Frozen" yang melibatkan sederet aktor dan penyanyi ternama sebagai pengisi suara, seperti Kristen Bell, Idina Menzel dan Jonathan Groff.
"Terkait kebutuhan proyeknya, biasanya formulanya pasti memilih artis yang terkenal. Seperti Dwayne "The Rock" di Moana. Dia terkenal, tapi memang cocok untuk karakter itu," ujar Daryl Wilson, ketua Asosiasi Industri Animasi dan Kreatif Indonesia (AINAKI) kepada ANTARA.
Baca juga: Ridwan Kamil jadi pengisi suara tokoh Elang Jawa di film 'Riki Rhino'
Saat ini, para aktor suara lebih banyak dituntut untuk menyulih suara, mengganti dialog kartun dari bahasa lain ke bahasa Indonesia.
Namun, seiring bertambahnya konten animasi lokal yang membutuhkan penokohan kuat dari suara, para pengisi suara dituntut untuk memoles kemampuannya berakting lewat suara. Mereka punya keleluasaan sekaligus tantangan untuk menciptakan ciri khas dari sebuah karakter.
"Dengan adanya Intellectual Property lokal yang butuh eksplorasi karakter, profesi dubber yang dulunya sulih suara dituntut jadi voice actor," katanya.
"Akting kan penerjemahan karakter, misalnya ada proyek A, sutradara akan minta karakternya harus dibeginikan...Ini tantangan buat para dubber, bagaimana bisa mempelajari ini."
Fadjar Ibnu Thufail, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mengkaji animasi Jepang, berpendapat para penyulih suara animasi di Indonesia lebih condong pada gaya Hollywood.
Baca juga: Tom Holland hingga Selena Gomez jadi pengisi suara binatang di 'Dolittle'
Jepang punya sekolah khusus untuk orang yang ingin menjadi pengisi suara atau seiyuu.
Fadjar menuturkan, siswa-siswa pengisi suara diberikan materi mulai dari teater hingga pemahaman karakter tentang masyarakat Jepang.
Seiyuu bagaikan bunglon yang bisa beradaptasi menjadi macam-macam karakter. Seiyuu yang sukses tak melulu identik dengan karakter tertentu, ia bisa menciptakan karakter yang berbeda-beda karena punya dasar teater dan akting.
Baca juga: Tom Hanks sabet penghargaan seumur hidup Golden Globe 2020
"Harus memahami karakter mulai dari Hokkaido sampai Okinawa. Di kita juga begitu, misalnya bagaimana karakter orang Batak. Tapi, kalau di Jepang itu dimasukkan ke kurikulum pendidikan, bukan cuma karena berbakat mengikuti (suara) orang Batak," jelas dia.
"Mereka dilatih juga menirukan suara hewan, bahkan suara kereta api. Ibaratnya, kalau tidak ada alat, dia bisa isi suara apapun."
Fadjar pernah bertemu dengan beberapa orang Indonesia yang sedang belajar menjadi seiyuu di Negeri Sakura.
Bukan cuma belajar bahasa Jepang dan menciptakan suara-suara karakter yang beragam, mereka juga harus memahami nuansa ekspresi dalam teater Jepang.
"Makanya, belum tentu dubber di Indonesia bisa jadi dubber di Jepang, butuh keterampilan teatrikal yang berbeda dengan Indonesia," kata dia.