Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarkat Universitas Indonesia (Gubes UI) Prof Budi Haryanto menganjurkan masyarakat yang tinggal di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan menggunakan masker N95 untuk mencegah terhirup asap sekaligus virus corona jenis baru atau COVID-19.
“Sumber polusi harus dibereskan, dan masyarakatnya dilindungi. Karena kondisi kesehatan mereka spesifik, sering terpapar asap karhutla, maka jangan lagi diberikan masker biasa, levelnya harus N95,” kata Prof Budi di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, masker tiga lapis yang biasa digunakan tenaga medis untuk operasi itu pun aman dapat ditembus asap karhutla yang biasanya berbentuk partikel ukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (PM2.5).
“Semua itu bisa masuk sampai ke saluran nafas,” ujar dia.
Wilayah-wilayah rawan karhutla, seperti Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, menurut dia, konsentrasi pencemarannya tinggi sekali. Karena peristiwa kabut asap berulang dan terjadi setiap kali, maka penduduknya akan lebih sensitif.
Lalu dengan seringnya pencemaran terjadi, kata dia, maka saluran nafas mereka lebih mudah terititasi, baik di saluran nafas bagian atas maupun di bawah.
“Bayangkan jika COVID-19 masuk. Percepatan gejalanya jadi lebih tinggi dibanding mereka yang tidak terpapar asap karhutla dosis tinggi,” katanya.
Dengan kata lain, Prof Budi mengatakan, masyarakat yang rutin terpapar asap karhutla jadi mudah tertular. Jika mereka ada gangguan fungsi paru, maka ketika terkena COVID-19 akan lebih fatal.
Karenanya, Prof Budi menegaskan untuk konsep pencegahan karhutla di sumbernya harus dilakukan. Masyarakatnya harus menggunakan masker N95.
“Mudah-mudahan bisa dicegah,” katanya.
“Sumber polusi harus dibereskan, dan masyarakatnya dilindungi. Karena kondisi kesehatan mereka spesifik, sering terpapar asap karhutla, maka jangan lagi diberikan masker biasa, levelnya harus N95,” kata Prof Budi di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, masker tiga lapis yang biasa digunakan tenaga medis untuk operasi itu pun aman dapat ditembus asap karhutla yang biasanya berbentuk partikel ukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (PM2.5).
“Semua itu bisa masuk sampai ke saluran nafas,” ujar dia.
Wilayah-wilayah rawan karhutla, seperti Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, menurut dia, konsentrasi pencemarannya tinggi sekali. Karena peristiwa kabut asap berulang dan terjadi setiap kali, maka penduduknya akan lebih sensitif.
Lalu dengan seringnya pencemaran terjadi, kata dia, maka saluran nafas mereka lebih mudah terititasi, baik di saluran nafas bagian atas maupun di bawah.
“Bayangkan jika COVID-19 masuk. Percepatan gejalanya jadi lebih tinggi dibanding mereka yang tidak terpapar asap karhutla dosis tinggi,” katanya.
Dengan kata lain, Prof Budi mengatakan, masyarakat yang rutin terpapar asap karhutla jadi mudah tertular. Jika mereka ada gangguan fungsi paru, maka ketika terkena COVID-19 akan lebih fatal.
Karenanya, Prof Budi menegaskan untuk konsep pencegahan karhutla di sumbernya harus dilakukan. Masyarakatnya harus menggunakan masker N95.
“Mudah-mudahan bisa dicegah,” katanya.