Jakarta (ANTARA) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang membuat masker kain disinfektor berbasis lapisan tembaga yang berpotensi mematikan virus Corona penyebab COVID-19 dengan memutus RNA dari virus yang menempel pada masker.
"Masker disinfektor ini dirancang dengan metode sederhana dan biaya terjangkau, serta menggunakan bahan baku yang mudah didapat di dalam negeri, sehingga dapat difabrikasi secara cepat dan praktis," kata peneliti Deni Shidqi Khaerudini dari Pusat Penelitian Fisika LIPI dalam webinar "Talk to Scientists: Riset Kimia dan Fisika LIPI Antisipasi COVID-19", Jakarta, Kamis.
Masker itu memiliki material dasar berupa kain katun, dan pelapis inovatif tembaga (Cu) sebagai 'contact killer' virus. Dalam hal ini, "contact killer" berarti perusakan bakteri maupun virus akibat kontak dengan tembaga.
Masker itu juga mempunyai kemampuan radikal bebas ion Cu yang mampu mematikan virus dengan memutus RNA. Masker itu bisa digunakan berkali-kali atau dicuci, dan tidak mengganggu suplai masker medis. Masker tersebut diperuntukkan bagi masyarakat umum, bukan untuk masker medis.
Deni mengatakan material aktif tembaga berperan sebagai "contact killer" sekaligus mereduksi ukuran pori masker kain.
Pengaplikasian tembaga dilakukan dengan cara pelapisan langsung atau penyisipan lembaran tembaga ke dalam masker kain.
Secara kajian ilmiah, tembaga (Cu) telah dikenal sebagai "antimicrobial agent" sejak zaman Mesir dan Yunani kuno, seperti untuk perawatan luka dan sterilisasi air.
Hingga 2011, tercatat telah terdaftar setidaknya 300 jenis paduan tembaga sebagai agen antimikroba (antimicrobial agent).
Mekanisme perusakan bakteri maupun virus akibat kontak dengan tembaga (contact killer) berbeda-beda tergantung jenis mikroorganisme.
Studi lain menunjukkan Human coronavirus 229E (HuCoV-229E), yang merupakan virus influenza, sejenis SARS-CoV-2, mampu dirusak dalam hitungan menit, dimana semakin tinggi kandungan atau kemurnian Cu, semakin cepat virus tersebut rusak atau terdegradasi.
Virus SARS-Cov-2 penyebab COVID-19 memiliki diameter 0,065 - 0,125 µm. Sementara suatu penelitian tentang uji efektivitas penyaringan (filter) dari masker medis, masker kain, dan masker kain dua lapis terhadap mikroorganisme B Atrophaeus yang berdiameter 0,9 - 1,25 µm, menunjukkan efektivitas masker medis dalam menyaring mikroorganisme B Atrophaeus sebesar 96,35, masker kain 69,42 persen, dan masker kain dua lapis 70,66 persen.
Jika melihat perbandingan ukuran diameter dimana mikroorganisme B Atrophaeus 10 kali lebih besar dari virus SARS-CoV-2, ada kemungkinan 30 persen atau lebih virus lolos memasuki saluran pernafasan ketika menggunakan masker kain.
Oleh karena itu, tidak cukup masker hanya ukuran pori yang kecil, tapi diperlukan lapisan aktif yang bersifat mematikan atau dapat memutus RNA virus dengan efektif pada masker.
"Dengan tembaga secara fisik pori-pori mengecil lebih tertutup, tapi tidak tertutup sempurna, tentu kita harus memberi ruang untuk bernafas tapi lapisan aktif tetap tertempel dengan baik," ujarnya.
Saat ini, LIPI terus melakukan penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan efektivitas masker berbasis lapisan tembaga.
"Masker disinfektor ini dirancang dengan metode sederhana dan biaya terjangkau, serta menggunakan bahan baku yang mudah didapat di dalam negeri, sehingga dapat difabrikasi secara cepat dan praktis," kata peneliti Deni Shidqi Khaerudini dari Pusat Penelitian Fisika LIPI dalam webinar "Talk to Scientists: Riset Kimia dan Fisika LIPI Antisipasi COVID-19", Jakarta, Kamis.
Masker itu memiliki material dasar berupa kain katun, dan pelapis inovatif tembaga (Cu) sebagai 'contact killer' virus. Dalam hal ini, "contact killer" berarti perusakan bakteri maupun virus akibat kontak dengan tembaga.
Masker itu juga mempunyai kemampuan radikal bebas ion Cu yang mampu mematikan virus dengan memutus RNA. Masker itu bisa digunakan berkali-kali atau dicuci, dan tidak mengganggu suplai masker medis. Masker tersebut diperuntukkan bagi masyarakat umum, bukan untuk masker medis.
Deni mengatakan material aktif tembaga berperan sebagai "contact killer" sekaligus mereduksi ukuran pori masker kain.
Pengaplikasian tembaga dilakukan dengan cara pelapisan langsung atau penyisipan lembaran tembaga ke dalam masker kain.
Secara kajian ilmiah, tembaga (Cu) telah dikenal sebagai "antimicrobial agent" sejak zaman Mesir dan Yunani kuno, seperti untuk perawatan luka dan sterilisasi air.
Hingga 2011, tercatat telah terdaftar setidaknya 300 jenis paduan tembaga sebagai agen antimikroba (antimicrobial agent).
Mekanisme perusakan bakteri maupun virus akibat kontak dengan tembaga (contact killer) berbeda-beda tergantung jenis mikroorganisme.
Studi lain menunjukkan Human coronavirus 229E (HuCoV-229E), yang merupakan virus influenza, sejenis SARS-CoV-2, mampu dirusak dalam hitungan menit, dimana semakin tinggi kandungan atau kemurnian Cu, semakin cepat virus tersebut rusak atau terdegradasi.
Virus SARS-Cov-2 penyebab COVID-19 memiliki diameter 0,065 - 0,125 µm. Sementara suatu penelitian tentang uji efektivitas penyaringan (filter) dari masker medis, masker kain, dan masker kain dua lapis terhadap mikroorganisme B Atrophaeus yang berdiameter 0,9 - 1,25 µm, menunjukkan efektivitas masker medis dalam menyaring mikroorganisme B Atrophaeus sebesar 96,35, masker kain 69,42 persen, dan masker kain dua lapis 70,66 persen.
Jika melihat perbandingan ukuran diameter dimana mikroorganisme B Atrophaeus 10 kali lebih besar dari virus SARS-CoV-2, ada kemungkinan 30 persen atau lebih virus lolos memasuki saluran pernafasan ketika menggunakan masker kain.
Oleh karena itu, tidak cukup masker hanya ukuran pori yang kecil, tapi diperlukan lapisan aktif yang bersifat mematikan atau dapat memutus RNA virus dengan efektif pada masker.
"Dengan tembaga secara fisik pori-pori mengecil lebih tertutup, tapi tidak tertutup sempurna, tentu kita harus memberi ruang untuk bernafas tapi lapisan aktif tetap tertempel dengan baik," ujarnya.
Saat ini, LIPI terus melakukan penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan efektivitas masker berbasis lapisan tembaga.