London (ANTARA) - Kombinasi obat-obatan antivirus yang digunakan pada pasien HIV tidak memiliki khasiat pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, kata sejumlah ilmuwan Inggris pada Senin (29/6) menyangkut hasil uji coba acak berskala besar.
Para ilmuwan yang menjalankan uji coba RECOVERY di Universitas Oxford mengatakan bahwa hasilnya "secara meyakinkan mengesampingkan manfaat yang berarti terhadap mortalitas dari lopinavir-ritonavir pada pasien COVID-19 yang dirawat, yang kami pelajari."
Para ilmuwan tidak menemukan perbedaan pada kematian, durasi rawat inap di rumah sakit atau risiko pemakaian ventilator, ketika mereka membandingkan 1.596 pasien yang diberi lopinavir-ritonavir dengan 3.376 pasien dalam kelompok kontrol.
Baca juga: Orang-orang di China incar obat HIV karena putus asa hadapi virus corona
Kaletra, buatan AbbVie Inc, merupakan kombinasi obat lopinavir dan ritonavir, yang digunakan secara bersamaan untuk melawan HIV. Perusahaan tersebut meningkatkan pasokannya seraya menentukan apakah obat tersebut dapat digunakan untuk mengobati COVID-19.
"Hasil awal ini menunjukkan bahwa bagi pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit dan tidak menggunakan ventilator, lopinavir-ritonavir bukanlah pengobatan yang efektif," kata Peter Horby, kepala riset uji coba tersebut.
Para ilmuwan tak dapat menyimpulkan soal kemanjuran kombinasi obat tersebut pada pasien yang menggunakan ventilator karena ada kesulitan dalam pemberian obat.
Baca juga: Apotek diingatkan tak sembarangan jual obat batuk
Lopinavir-ritonavir juga sedang diteliti dalam uji coba yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Uji coba RECOVERY, yang berbasis di Oxford, sedang mendalami efektivitas enam pengobatan COVID-19 potensial, yang melibatkan 11.800 pasien secara keseluruhan.
Kelompok uji coba yang mempelajari dexamethasone, streoid, menemukan obat tersebut mengurangi tingkat kematian pasien yang menggunakan oksigen. Kelompok lain membuktikan bahwa obat malaria hydroxychloroquine, yang digembar-gemborkan Presiden AS Donald Trump, tidak memiliki khasiat.
Sumber: Reuters
Baca juga: Obat herbal racikan sendiri jadi pilihan warga Amazon untuk cegah COVID-19
Baca juga: Benarkah obat darah tinggi bisa tekan angka kematian COVID-19?
Baca juga: Negara ini hentikan riset hydroxychloroquine untuk COVID-19
Para ilmuwan yang menjalankan uji coba RECOVERY di Universitas Oxford mengatakan bahwa hasilnya "secara meyakinkan mengesampingkan manfaat yang berarti terhadap mortalitas dari lopinavir-ritonavir pada pasien COVID-19 yang dirawat, yang kami pelajari."
Para ilmuwan tidak menemukan perbedaan pada kematian, durasi rawat inap di rumah sakit atau risiko pemakaian ventilator, ketika mereka membandingkan 1.596 pasien yang diberi lopinavir-ritonavir dengan 3.376 pasien dalam kelompok kontrol.
Baca juga: Orang-orang di China incar obat HIV karena putus asa hadapi virus corona
Kaletra, buatan AbbVie Inc, merupakan kombinasi obat lopinavir dan ritonavir, yang digunakan secara bersamaan untuk melawan HIV. Perusahaan tersebut meningkatkan pasokannya seraya menentukan apakah obat tersebut dapat digunakan untuk mengobati COVID-19.
"Hasil awal ini menunjukkan bahwa bagi pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit dan tidak menggunakan ventilator, lopinavir-ritonavir bukanlah pengobatan yang efektif," kata Peter Horby, kepala riset uji coba tersebut.
Para ilmuwan tak dapat menyimpulkan soal kemanjuran kombinasi obat tersebut pada pasien yang menggunakan ventilator karena ada kesulitan dalam pemberian obat.
Baca juga: Apotek diingatkan tak sembarangan jual obat batuk
Lopinavir-ritonavir juga sedang diteliti dalam uji coba yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Uji coba RECOVERY, yang berbasis di Oxford, sedang mendalami efektivitas enam pengobatan COVID-19 potensial, yang melibatkan 11.800 pasien secara keseluruhan.
Kelompok uji coba yang mempelajari dexamethasone, streoid, menemukan obat tersebut mengurangi tingkat kematian pasien yang menggunakan oksigen. Kelompok lain membuktikan bahwa obat malaria hydroxychloroquine, yang digembar-gemborkan Presiden AS Donald Trump, tidak memiliki khasiat.
Sumber: Reuters
Baca juga: Obat herbal racikan sendiri jadi pilihan warga Amazon untuk cegah COVID-19
Baca juga: Benarkah obat darah tinggi bisa tekan angka kematian COVID-19?
Baca juga: Negara ini hentikan riset hydroxychloroquine untuk COVID-19