Jakarta (ANTARA) - Orang yang terkena penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) tak berarti harus melewatkan melakukan aktivitas fisik, menurut dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Jakarta, Budhi Antariksa.
"Pasien dengan PPOK begitu beraktivitas yang dia takutkan sesak kumat. Mereka tidak mau melakukan aktivitas, cenderung duduk, diam. Akibatnya, otot-otot dalam tubuh akan terjadi pengecilan karena tidak dipakai sama sekali," ujar dia dalam webinar dalam rangka memperingati Hari PPOK Sedunia 2020 yang digelar Kalbe, Rabu.
Di sisi lain, pasien yang malas beraktivitas fisik juga berisiko memiliki otot-otot dada lebih lemah dibandingkan mereka yang rajin melakukan latihan semisal latihan pernapasan.
Baca juga: Kenali perbedaan COVID-19 dengan penyakit paru obstruktif kronik
"Juga mengakibatkan otot-otot dada tidak sekuat seperti kalau dia berlatih latihan napas, otot-ototnya bisa lebih kuat dan besar (kalau tetap latihan)," tutur Budhi.
Melakukan aktivitas fisik memang tidak akan memperbaiki kerusakan paru yang terjadi, tetapi bisa membantu meningkatkan kekuatan fisik dan kekuatan otot pernapasan pasien. Selain itu, kegiatan ini membantu mental pasien.
Seperti dilansir laman Healtline, sebelum pasien melakukan aktivitas fisik tertentu tak ada salahnya berkonsultasi dulu dengan dokter untuk mengetahui seberapa berat penyakitnya.
Sebelum memulai program olahraga, ada gunanya mempraktikkan senam pernapasan, lalu barulah memilih beberapa jenis olahraga atau aktivitas yang benar-benar pasien sukai.
Baca juga: Dokter paru sebut COVID-19 adalah penyakit seribu wajah
Pilihan terbaiknya, latihan aerobik atau kardiovaskular serta latihan ketahanan tubuh bagian atas atau beban untuk membantu memperkuat jantung, paru-paru, dan otot pernapasan di sekitarnya misalnya berjalan, jogging, bermain lompat tali, bersepeda dan berenang,
"Olahraga yang meningkatkan otot-otot napas, otot dada dan biasanya berenang yang paling bagus. Kalau tidak, bisa melakukan olahraga yang sifatnya menggerakkan otot dada seperti menarik napas panjang lalu mengeluarkannya. Ada senam asma yang fokusnya otot-otot pernapasannya," tutur Budhi.
Ingatlah, selalu lakukan pemanasan dan peregangan sebelum berolahraga dan lakukan pendinginan setelahnya untuk mengurangi stres pada jantung, otot dan persendian serta menghindari cedera.
Baca juga: Mengulas tentang penyakit pneumia atau infeksi paru-paru
Mulailah perlahan dan secara bertahap meningkatkan intensitas dan durasi latihan hingga 30 menit dan dilakukan empat kali seminggu.
PPOK merupakan penyakit yang ditandai gejala sesak napas persisten, keterbatasan aliran udara dan batuk berdahak. Pada beberapa kasus, pasien juga mengalami penurunan berat badan, kelelahan, nyeri dada, batuk berdarah yang merupakan tanda kondisi lain seperti infeksi atau kanker paru.
Seperti dikutip dari NHS, PPOK terjadi ketika paru-paru dan saluran udara menjadi rusak dan meradang. Kondisi ini biasanya berhubungan dengan paparan jangka panjang terhadap zat berbahaya seperti asap rokok (90 persen), paparan jenis debu dan bahan kimia tertentu di tempat kerja dapat merusak paru-paru, polusi udara hingga genetika.
Baca juga: Perokok pasif 25 persen lebih berisiko kena kanker paru
Baca juga: Sering gunakan vape, paru-paru seorang remaja dipenuhi minyak beku
Baca juga: Mandi malam sebabkan paru-paru basah?
"Pasien dengan PPOK begitu beraktivitas yang dia takutkan sesak kumat. Mereka tidak mau melakukan aktivitas, cenderung duduk, diam. Akibatnya, otot-otot dalam tubuh akan terjadi pengecilan karena tidak dipakai sama sekali," ujar dia dalam webinar dalam rangka memperingati Hari PPOK Sedunia 2020 yang digelar Kalbe, Rabu.
Di sisi lain, pasien yang malas beraktivitas fisik juga berisiko memiliki otot-otot dada lebih lemah dibandingkan mereka yang rajin melakukan latihan semisal latihan pernapasan.
Baca juga: Kenali perbedaan COVID-19 dengan penyakit paru obstruktif kronik
"Juga mengakibatkan otot-otot dada tidak sekuat seperti kalau dia berlatih latihan napas, otot-ototnya bisa lebih kuat dan besar (kalau tetap latihan)," tutur Budhi.
Melakukan aktivitas fisik memang tidak akan memperbaiki kerusakan paru yang terjadi, tetapi bisa membantu meningkatkan kekuatan fisik dan kekuatan otot pernapasan pasien. Selain itu, kegiatan ini membantu mental pasien.
Seperti dilansir laman Healtline, sebelum pasien melakukan aktivitas fisik tertentu tak ada salahnya berkonsultasi dulu dengan dokter untuk mengetahui seberapa berat penyakitnya.
Sebelum memulai program olahraga, ada gunanya mempraktikkan senam pernapasan, lalu barulah memilih beberapa jenis olahraga atau aktivitas yang benar-benar pasien sukai.
Baca juga: Dokter paru sebut COVID-19 adalah penyakit seribu wajah
Pilihan terbaiknya, latihan aerobik atau kardiovaskular serta latihan ketahanan tubuh bagian atas atau beban untuk membantu memperkuat jantung, paru-paru, dan otot pernapasan di sekitarnya misalnya berjalan, jogging, bermain lompat tali, bersepeda dan berenang,
"Olahraga yang meningkatkan otot-otot napas, otot dada dan biasanya berenang yang paling bagus. Kalau tidak, bisa melakukan olahraga yang sifatnya menggerakkan otot dada seperti menarik napas panjang lalu mengeluarkannya. Ada senam asma yang fokusnya otot-otot pernapasannya," tutur Budhi.
Ingatlah, selalu lakukan pemanasan dan peregangan sebelum berolahraga dan lakukan pendinginan setelahnya untuk mengurangi stres pada jantung, otot dan persendian serta menghindari cedera.
Baca juga: Mengulas tentang penyakit pneumia atau infeksi paru-paru
Mulailah perlahan dan secara bertahap meningkatkan intensitas dan durasi latihan hingga 30 menit dan dilakukan empat kali seminggu.
PPOK merupakan penyakit yang ditandai gejala sesak napas persisten, keterbatasan aliran udara dan batuk berdahak. Pada beberapa kasus, pasien juga mengalami penurunan berat badan, kelelahan, nyeri dada, batuk berdarah yang merupakan tanda kondisi lain seperti infeksi atau kanker paru.
Seperti dikutip dari NHS, PPOK terjadi ketika paru-paru dan saluran udara menjadi rusak dan meradang. Kondisi ini biasanya berhubungan dengan paparan jangka panjang terhadap zat berbahaya seperti asap rokok (90 persen), paparan jenis debu dan bahan kimia tertentu di tempat kerja dapat merusak paru-paru, polusi udara hingga genetika.
Baca juga: Perokok pasif 25 persen lebih berisiko kena kanker paru
Baca juga: Sering gunakan vape, paru-paru seorang remaja dipenuhi minyak beku
Baca juga: Mandi malam sebabkan paru-paru basah?