Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan tindakan korupsi merupakan ancaman dan tantangan paling besar ketika pemerintah berupaya menangani serta mengatasi dampak pandemi COVID-19 melalui uang negara.
“Pada saat harus bekerja tergesa-gesa cepat dalam suasana emergency , ancamannya korupsi,” katanya dalam acara daring Hari Anti Korupsi Sedunia 2020 di Jakarta, Kamis.
Sri Mulyani menuturkan potensi terjadi korupsi saat pandemi sangat besar karena pemerintah harus bergerak cepat, fleksibel dan tangkas dalam menangani dampaknya yang meluas secara tiba-tiba kepada masyarakat dan ekonomi.
Tak hanya itu, Sri Mulyani mengatakan adanya kelemahan dan ketidaksempurnaan pada ketersediaan data untuk menyalurkan stimulus dan insentif juga menambah potensi korupsi.
“Ancaman orang-orang yang melakukan tindakan korupsi atau bahkan menggunakan kelemahan atau ketidaksempurnaan sistem untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Terlebih lagi, anggaran yang digunakan untuk memberikan stimulus dan insentif kepada masyarakat mencapai Rp695,2 triliun atau 4,2 persen dari PDB hingga menyebabkan belanja negara membengkak Rp2.739 triliun dengan defisit sebesar 6,34 persen.
Anggaran yang masuk dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) itu meliputi dukungan di bidang kesehatan Rp97,26 triliun, perlindungan sosial Rp234,33 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp65,97 triliun, UMKM Rp114,81 triliun, korporasi Rp62,22 triliun, dan dunia usaha Rp120,6 triliun.
“Begitu besar angka Rp695,2 triliun ini jadi kita harapkan bisa membuat Indonesia mampu menangani COVID-19, melindungi masyarakat dan dunia usaha agar mereka pulih secara kuat, cepat dan sehat,” katanya.
Oleh sebab itu, ia menegaskan moral hazard terutama menjaga integritas saat menerapkan kebijakan dan menggunakan anggaran untuk menangani dampak pandemi merupakan tantangan yang luar bisa dan harus mampu dijaga.
“Di sinilah ujian integritas jadi sangat penting. Ujian terhadap ikhtiar kita untuk membangun pengendalian internal agar lebih robust menjadi lebih penting,” tegasnya.
Dengan demikian, Sri Mulyani mengatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, maupun BPKP untuk mencegah potensi terjadinya korupsi.
“Ini bukan hanya tanggung jawab pimpinan tapi kita semua karena satu virus korupsi maka satu virus yang mengkompromikan integritas. Sama seperti pandemi dia bisa menular dan bisa membahayakan institusi,” jelasnya.
“Pada saat harus bekerja tergesa-gesa cepat dalam suasana emergency , ancamannya korupsi,” katanya dalam acara daring Hari Anti Korupsi Sedunia 2020 di Jakarta, Kamis.
Sri Mulyani menuturkan potensi terjadi korupsi saat pandemi sangat besar karena pemerintah harus bergerak cepat, fleksibel dan tangkas dalam menangani dampaknya yang meluas secara tiba-tiba kepada masyarakat dan ekonomi.
Tak hanya itu, Sri Mulyani mengatakan adanya kelemahan dan ketidaksempurnaan pada ketersediaan data untuk menyalurkan stimulus dan insentif juga menambah potensi korupsi.
“Ancaman orang-orang yang melakukan tindakan korupsi atau bahkan menggunakan kelemahan atau ketidaksempurnaan sistem untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Terlebih lagi, anggaran yang digunakan untuk memberikan stimulus dan insentif kepada masyarakat mencapai Rp695,2 triliun atau 4,2 persen dari PDB hingga menyebabkan belanja negara membengkak Rp2.739 triliun dengan defisit sebesar 6,34 persen.
Anggaran yang masuk dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) itu meliputi dukungan di bidang kesehatan Rp97,26 triliun, perlindungan sosial Rp234,33 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp65,97 triliun, UMKM Rp114,81 triliun, korporasi Rp62,22 triliun, dan dunia usaha Rp120,6 triliun.
“Begitu besar angka Rp695,2 triliun ini jadi kita harapkan bisa membuat Indonesia mampu menangani COVID-19, melindungi masyarakat dan dunia usaha agar mereka pulih secara kuat, cepat dan sehat,” katanya.
Oleh sebab itu, ia menegaskan moral hazard terutama menjaga integritas saat menerapkan kebijakan dan menggunakan anggaran untuk menangani dampak pandemi merupakan tantangan yang luar bisa dan harus mampu dijaga.
“Di sinilah ujian integritas jadi sangat penting. Ujian terhadap ikhtiar kita untuk membangun pengendalian internal agar lebih robust menjadi lebih penting,” tegasnya.
Dengan demikian, Sri Mulyani mengatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, maupun BPKP untuk mencegah potensi terjadinya korupsi.
“Ini bukan hanya tanggung jawab pimpinan tapi kita semua karena satu virus korupsi maka satu virus yang mengkompromikan integritas. Sama seperti pandemi dia bisa menular dan bisa membahayakan institusi,” jelasnya.