Jakarta (ANTARA) - Sampah yang terkumpul di Gunung Everest akan dijadikan karya seni dan dipamerkan di galeri terdekat, sebuah upaya menyoroti perlunya menyelamatkan gunung tertinggi di dunia agar tidak berubah menjadi tempat pembuangan sampah.
Botol oksigen bekas, tenda robek, tali, tangga rusak, kaleng dan pembungkus plastik yang dibuang oleh pendaki dan trekker mengotori puncak setinggi 8.848,86 meter dan sekitarnya.
Tommy Gustafsson, direktur proyek dan salah satu pendiri Sagarmatha Next Center - pusat informasi pengunjung dan fasilitas pemanfaatan sampah- mengatakan seniman asing dan lokal akan terlibat dalam menciptakan karya seni dari sampah serta melatih penduduk setempat untuk mengubah sampah menjadi barang berharga.
"Kami ingin menunjukkan bagaimana Anda dapat mengubah limbah padat menjadi karya seni yang berharga ... dan menghasilkan lapangan kerja dan pemasukan," kata Gustafsson kepada Reuters.
“Kami berharap bisa mengubah persepsi masyarakat tentang sampah dan pengelolaannya,” ujarnya.
Pusat ini terletak di ketinggian 3.780 meter di Syangboche di jalur utama menuju base camp Everest, dua hari berjalan kaki dari Lukla, pintu gerbang ke gunung.
"Soft opening" akan berlangsung pada musim semi untuk penduduk setempat karena jumlah pengunjung tahun ini dibatasi akibat pembatasan pandemi virus corona, kata dia.
Produk dan karya seni yang dipamerkan diharap bisa meningkatkan kesadaran lingkungan, atau dijual sebagai suvenir yang hasilnya dimanfaatkan untuk pelestarian kawasan.
Sampah-sampah dibawa turun dari gunung, atau dikumpulkan dari rumah tangga di sepanjang jalan setapak dikumpulkan dan dipisahkan oleh kelompok lingkungan setempat, Komite Pengendalian Pencemaran Sagarmatha, tetapi mengerjakan tugas itu di daerah terpencil yang tidak memiliki jalan merupakan tantangan besar.
Sampah dibuang atau dibakar di lubang terbuka, menimbulkan pencemaran udara, air dan tanah.
Phinjo Sherpa dari kelompok Eco Himal yang terlibat dalam proyek tersebut mengatakan, lewat inisiatif "bawa saya kembali" setiap turis dan pemandu yang kembali akan diminta untuk membawa tas berisi satu kilogram sampah kembali ke bandara Lukla, di mana sampah akan diangkut ke Kathmandu.
Pada 2019, lebih dari 60.000 pendaki dan pemandu mengunjungi daerah tersebut.
“Kami bisa mengelola sampah dalam jumlah besar jika melibatkan pengunjung,” kata Sherpa.
Botol oksigen bekas, tenda robek, tali, tangga rusak, kaleng dan pembungkus plastik yang dibuang oleh pendaki dan trekker mengotori puncak setinggi 8.848,86 meter dan sekitarnya.
Tommy Gustafsson, direktur proyek dan salah satu pendiri Sagarmatha Next Center - pusat informasi pengunjung dan fasilitas pemanfaatan sampah- mengatakan seniman asing dan lokal akan terlibat dalam menciptakan karya seni dari sampah serta melatih penduduk setempat untuk mengubah sampah menjadi barang berharga.
"Kami ingin menunjukkan bagaimana Anda dapat mengubah limbah padat menjadi karya seni yang berharga ... dan menghasilkan lapangan kerja dan pemasukan," kata Gustafsson kepada Reuters.
“Kami berharap bisa mengubah persepsi masyarakat tentang sampah dan pengelolaannya,” ujarnya.
Pusat ini terletak di ketinggian 3.780 meter di Syangboche di jalur utama menuju base camp Everest, dua hari berjalan kaki dari Lukla, pintu gerbang ke gunung.
"Soft opening" akan berlangsung pada musim semi untuk penduduk setempat karena jumlah pengunjung tahun ini dibatasi akibat pembatasan pandemi virus corona, kata dia.
Produk dan karya seni yang dipamerkan diharap bisa meningkatkan kesadaran lingkungan, atau dijual sebagai suvenir yang hasilnya dimanfaatkan untuk pelestarian kawasan.
Sampah-sampah dibawa turun dari gunung, atau dikumpulkan dari rumah tangga di sepanjang jalan setapak dikumpulkan dan dipisahkan oleh kelompok lingkungan setempat, Komite Pengendalian Pencemaran Sagarmatha, tetapi mengerjakan tugas itu di daerah terpencil yang tidak memiliki jalan merupakan tantangan besar.
Sampah dibuang atau dibakar di lubang terbuka, menimbulkan pencemaran udara, air dan tanah.
Phinjo Sherpa dari kelompok Eco Himal yang terlibat dalam proyek tersebut mengatakan, lewat inisiatif "bawa saya kembali" setiap turis dan pemandu yang kembali akan diminta untuk membawa tas berisi satu kilogram sampah kembali ke bandara Lukla, di mana sampah akan diangkut ke Kathmandu.
Pada 2019, lebih dari 60.000 pendaki dan pemandu mengunjungi daerah tersebut.
“Kami bisa mengelola sampah dalam jumlah besar jika melibatkan pengunjung,” kata Sherpa.