Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis paru, Sylvia Sagita Siahaan mengatakan, kandidat penerima vaksin harus memenuhi sejumlah kriteria yang mencakup usia 18-59 tahun dan berada dalam kondisi fit.
"Kita harus tahu dulu apakah kandidat prioritas vaksin atau bukan, punya penyakit penyerta atau tidak, usia 18-59 tahun. Tips khususnya memenuhi kriteria dulu dan saat divaksin kandidat dalam kondisi fit," ujar dia dalam diskusi via daring beberapa waktu lalu.
Menurut Sylvia, orang dengan kondisi khusus seperti asma dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronis atau peradangan pada paru-paru yang berkembang dalam jangka panjang) harus dipastikan tidak dalam kondisi eksaserbasi (kumat atau memburuk), begitu juga dengan mereka yang memiliki TBC aktif atau belum diobati.
Orang dengan demam di atas 37,5 derajat Celcius juga sebaiknya menunda vaksinasi. Penundaan vaksin dilakukan untuk memberikan kesempatan daya tahan tubuh melawan infeksi (demam penanda tubuh mengalami infeksi dan berusaha melawan infeksi itu).
Dokter biasanya akan menunda memberikan vaksin pada mereka dengan kondisi asma dan PPOK yang kumat, demam tinggi dan TBC belum diobati.
"Apakah sedang alami kondisi salah satunya TBC yang aktif belum diobati. Asma, PPOK boleh divaksin asal dalam kondisinya tidak kumat, terkontrol dengan obat-obatannya," tutur Sylvia.
Baca juga: Penerima vaksin Pfizer alami lumpuh wajah, benarkah karena vaksin?
Baca juga: Pasien COVID-19 bergejala ringan butuh vitamin sampai antivirus?
Pakar kesehatan spesialis jantung dan pembuluh darah yang banyak berbicara mengenai COVID-19, Vito A. Damay mengatakan, orang dengan masalah jantung seperti gagal jantung dan lemah jantung juga sebaiknya tidak dulu diberikan vaksin.
"Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) sudah mengeluarkan pernyataan kalau ada gagal jantung, lemah jantung kalau stabil 2-3 bulan terakhir sebenarnya layak divaksin. Tetapi sekarang ini ada pengaturan pemberian vaksin. Sejauh ini untuk mereka dengan kelainan khusus sebaiknya jangan dulu (divaksin)," kata dia.
Dia meminta orang dengan kondisi khusus ini jujur pada dokter mereka demi keamanan. Walau secara teori sebenarnya vaksin COVID-19 tidak menyebabkan gangguan pada sistem tubuh, namun sejauh ini belum ada petunjuk teknis pemberian vaksin pada mereka yang memiliki kondisi khusus.
"Untuk penyakit jantung bawaan petunjuk teknis belum diberikan. Jadi orang dengan diabetes, perlu penilaian. Secara teori vaksin tidak menyebabkan gangguan sistem tubuh kita, tidak bikin sakit COVID-19, harusnya aman. Tentu semua ingin seaman mungkin. Jadi kalau ada kelainan khusus diabetes, hipertensi, gagal jantung biarkan evaluasi individu, orang per orang," tutur dia.
Khusus untuk ibu hamil dan menyusui, dalam kesempatan terpisah, dokter yang juga Ketua Tim Peneliti dari Health Collaborative Center (HCC), Ray W. Basrowi menyarankan, sementara ini mereka tidak diikutsertakan dalam daftar penerima vaksin seperti anjuran dari satgas COVID-19.
"Penelitian klinis di Indonesia dan luar negeri belum ada. Jadi belum tahu aman atau tidak. Saat ini kita ikuti saran pemerintah (tidak menyertakan ibu hamil sebagai calon penerima vaksin)," kata dia dalam sebuah diskusi bersama media secara daring belum lama ini.
Ray mengatakan, ibu hamil memiliki sistem daya tahan tubuh yang sangat reaktif dan responsif sehingga dikhawatirkan ada mekansisme umpan balik yang tidak menguntungkan dan berisiko pada ibu hamil dan janinnya usai diberi vaksin.
Terkait efek samping vaksin, khususnya Sinovac sementara ini baru dilaporkan sebatas nyeri atau kemerahan di kulit. Vaksin ini merangsang respon di tubuh sehingga terbentuk antibodi tanpa membuat orang menjadi sakit COVID-19.
#satgascovid19
#vaksincovid19
"Kita harus tahu dulu apakah kandidat prioritas vaksin atau bukan, punya penyakit penyerta atau tidak, usia 18-59 tahun. Tips khususnya memenuhi kriteria dulu dan saat divaksin kandidat dalam kondisi fit," ujar dia dalam diskusi via daring beberapa waktu lalu.
Menurut Sylvia, orang dengan kondisi khusus seperti asma dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronis atau peradangan pada paru-paru yang berkembang dalam jangka panjang) harus dipastikan tidak dalam kondisi eksaserbasi (kumat atau memburuk), begitu juga dengan mereka yang memiliki TBC aktif atau belum diobati.
Orang dengan demam di atas 37,5 derajat Celcius juga sebaiknya menunda vaksinasi. Penundaan vaksin dilakukan untuk memberikan kesempatan daya tahan tubuh melawan infeksi (demam penanda tubuh mengalami infeksi dan berusaha melawan infeksi itu).
Dokter biasanya akan menunda memberikan vaksin pada mereka dengan kondisi asma dan PPOK yang kumat, demam tinggi dan TBC belum diobati.
"Apakah sedang alami kondisi salah satunya TBC yang aktif belum diobati. Asma, PPOK boleh divaksin asal dalam kondisinya tidak kumat, terkontrol dengan obat-obatannya," tutur Sylvia.
Baca juga: Penerima vaksin Pfizer alami lumpuh wajah, benarkah karena vaksin?
Baca juga: Pasien COVID-19 bergejala ringan butuh vitamin sampai antivirus?
Pakar kesehatan spesialis jantung dan pembuluh darah yang banyak berbicara mengenai COVID-19, Vito A. Damay mengatakan, orang dengan masalah jantung seperti gagal jantung dan lemah jantung juga sebaiknya tidak dulu diberikan vaksin.
"Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) sudah mengeluarkan pernyataan kalau ada gagal jantung, lemah jantung kalau stabil 2-3 bulan terakhir sebenarnya layak divaksin. Tetapi sekarang ini ada pengaturan pemberian vaksin. Sejauh ini untuk mereka dengan kelainan khusus sebaiknya jangan dulu (divaksin)," kata dia.
Dia meminta orang dengan kondisi khusus ini jujur pada dokter mereka demi keamanan. Walau secara teori sebenarnya vaksin COVID-19 tidak menyebabkan gangguan pada sistem tubuh, namun sejauh ini belum ada petunjuk teknis pemberian vaksin pada mereka yang memiliki kondisi khusus.
"Untuk penyakit jantung bawaan petunjuk teknis belum diberikan. Jadi orang dengan diabetes, perlu penilaian. Secara teori vaksin tidak menyebabkan gangguan sistem tubuh kita, tidak bikin sakit COVID-19, harusnya aman. Tentu semua ingin seaman mungkin. Jadi kalau ada kelainan khusus diabetes, hipertensi, gagal jantung biarkan evaluasi individu, orang per orang," tutur dia.
Khusus untuk ibu hamil dan menyusui, dalam kesempatan terpisah, dokter yang juga Ketua Tim Peneliti dari Health Collaborative Center (HCC), Ray W. Basrowi menyarankan, sementara ini mereka tidak diikutsertakan dalam daftar penerima vaksin seperti anjuran dari satgas COVID-19.
"Penelitian klinis di Indonesia dan luar negeri belum ada. Jadi belum tahu aman atau tidak. Saat ini kita ikuti saran pemerintah (tidak menyertakan ibu hamil sebagai calon penerima vaksin)," kata dia dalam sebuah diskusi bersama media secara daring belum lama ini.
Ray mengatakan, ibu hamil memiliki sistem daya tahan tubuh yang sangat reaktif dan responsif sehingga dikhawatirkan ada mekansisme umpan balik yang tidak menguntungkan dan berisiko pada ibu hamil dan janinnya usai diberi vaksin.
Terkait efek samping vaksin, khususnya Sinovac sementara ini baru dilaporkan sebatas nyeri atau kemerahan di kulit. Vaksin ini merangsang respon di tubuh sehingga terbentuk antibodi tanpa membuat orang menjadi sakit COVID-19.
#satgascovid19
#vaksincovid19