Sampit (ANTARA) - Pelaku usaha rotan di Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah berharap ada kebijaksanaan pemerintah dalam penerapan aturan, terlebih di tengah situasi sulit akibat pandemi COVID-19 saat ini.
"Berikan ruang toleransi bagi pelaku usaha rotan karena perlu waktu untuk penyesuaian. Apalagi situasi saat ini seharusnya yang kita utamakan adalah bagaimana agar masyarakat bisa mendapatkan penghasilan," kata Legislator Kotawaringin Timur, Dadang H Syamsu di Sampit, Senin.
Politisi yang menjabat Ketua Komisi IV DPRD Kotawaringin Timur serta menjabat Ketua Asosiasi Petani dan Pengumpul Rotan Kotawaringin Timur ini yakin pengusaha di daerah ini tidak ada yang berniat untuk melanggar aturan. Namun, memerlukan waktu bagi pelaku usaha rotan dalam memenuhi aturan terkait tata usaha rotan.
Bagi masyarakat awam yang selama ini menggeluti sektor rotan secara turun-temurun, memerlukan waktu untuk bisa memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam aturan.
Sektor rotan terpuruk setelah pemerintah melarang ekspor rotan mentah pada akhir 2011 lalu. Kini pemerintah kembali mengeluarkan aturan yang di dalamnya juga mengatur masalah rotan, yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.78/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu yang Berasal dari Hutan Negara.
Baca juga: DPRD Kotim ingatkan musrenbang jangan sekadar seremonial
Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi, khususnya berkaitan dengan perizinan. Perlu waktu bagi pelaku usaha rotan untuk bisa menyesuaikan diri dengan peraturan itu, padahal sektor ini harus tetap berjalan karena menjadi tumpuan hidup dan nasib banyak masyarakat di daerah ini.
Sektor rotan menyangkut banyak warga yang masih mengandalkan penghasilan dari hasil budidaya tanaman bukan kayu ini. Kemaslahatan masyarakat harus menjadi tujuan dalam kebijakan yang dibuat dan dijalankan pemerintah.
Jangan sampai pemberlakuan aturan tidak memperhatikan kondisi masyarakat. Selama ini petani dan pelaku usaha rotan sudah cukup terdampak akibat kebijakan larangan ekspor rotan mentah yang dinilai masyarakat sebagai kebijakan tanpa disertai solusi nyata.
"Harus dipertemukan agar bagaimana supaya aturan tidak dilanggar dan masyarakat atau petani bisa berusaha. Saya yakin pengusaha juga tidak ada yang mau melanggar aturan. Kalau aturan diberlakukan serta-merta secara ketat dan pengusaha harus tiarap, lalu siapa yang membeli rotan petani. Nasib petani rotan harus kita pikirkan karena hidup mereka hanya bertumpu pada penghasilan dari menjual rotan," ujar Dadang.
Saat ini harga rotan mulai membaik yakni sekitar Rp400.000 per kwintal. Pemerintah juga harus mempertimbangkan situasi bahwa masyarakat sangat berharap sektor ini membaik, terlebih di tengah sulitnya ekonomi dampak pandemi COVID-19 yang masih terjadi.
Baca juga: PBB-P2 berpotensi mendongkrak PAD Kotim
Baca juga: Ini alasan MTQ Kotim digelar di pelosok
"Berikan ruang toleransi bagi pelaku usaha rotan karena perlu waktu untuk penyesuaian. Apalagi situasi saat ini seharusnya yang kita utamakan adalah bagaimana agar masyarakat bisa mendapatkan penghasilan," kata Legislator Kotawaringin Timur, Dadang H Syamsu di Sampit, Senin.
Politisi yang menjabat Ketua Komisi IV DPRD Kotawaringin Timur serta menjabat Ketua Asosiasi Petani dan Pengumpul Rotan Kotawaringin Timur ini yakin pengusaha di daerah ini tidak ada yang berniat untuk melanggar aturan. Namun, memerlukan waktu bagi pelaku usaha rotan dalam memenuhi aturan terkait tata usaha rotan.
Bagi masyarakat awam yang selama ini menggeluti sektor rotan secara turun-temurun, memerlukan waktu untuk bisa memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam aturan.
Sektor rotan terpuruk setelah pemerintah melarang ekspor rotan mentah pada akhir 2011 lalu. Kini pemerintah kembali mengeluarkan aturan yang di dalamnya juga mengatur masalah rotan, yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.78/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu yang Berasal dari Hutan Negara.
Baca juga: DPRD Kotim ingatkan musrenbang jangan sekadar seremonial
Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi, khususnya berkaitan dengan perizinan. Perlu waktu bagi pelaku usaha rotan untuk bisa menyesuaikan diri dengan peraturan itu, padahal sektor ini harus tetap berjalan karena menjadi tumpuan hidup dan nasib banyak masyarakat di daerah ini.
Sektor rotan menyangkut banyak warga yang masih mengandalkan penghasilan dari hasil budidaya tanaman bukan kayu ini. Kemaslahatan masyarakat harus menjadi tujuan dalam kebijakan yang dibuat dan dijalankan pemerintah.
Jangan sampai pemberlakuan aturan tidak memperhatikan kondisi masyarakat. Selama ini petani dan pelaku usaha rotan sudah cukup terdampak akibat kebijakan larangan ekspor rotan mentah yang dinilai masyarakat sebagai kebijakan tanpa disertai solusi nyata.
"Harus dipertemukan agar bagaimana supaya aturan tidak dilanggar dan masyarakat atau petani bisa berusaha. Saya yakin pengusaha juga tidak ada yang mau melanggar aturan. Kalau aturan diberlakukan serta-merta secara ketat dan pengusaha harus tiarap, lalu siapa yang membeli rotan petani. Nasib petani rotan harus kita pikirkan karena hidup mereka hanya bertumpu pada penghasilan dari menjual rotan," ujar Dadang.
Saat ini harga rotan mulai membaik yakni sekitar Rp400.000 per kwintal. Pemerintah juga harus mempertimbangkan situasi bahwa masyarakat sangat berharap sektor ini membaik, terlebih di tengah sulitnya ekonomi dampak pandemi COVID-19 yang masih terjadi.
Baca juga: PBB-P2 berpotensi mendongkrak PAD Kotim
Baca juga: Ini alasan MTQ Kotim digelar di pelosok