Jakarta (ANTARA) - Dalam bukunya berjudul Korupsi Politik Di Negara Modern (2008), mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar mengatakan Indonesia merosot kredibilitasnya di mata internasional karena korupsi.
Bangsa Indonesia menjadi bangkrut secara moral karena korupsi menyerang segenap lapisan sosial politik.
Korupsi politik menurut Artidjo berbanding lurus dengan lemahnya atau tidak adanya kontrol terhadap praktik penyelenggaraan kekuasaan negara. Lemahnya kontrol ini dapat ditimbulkan karena kondisi sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat yang tidak memadai.
Artinya, pendidikan menjadi salah satu kunci agar korupsi tidak lagi membangkrutkan negara. Pendidikan tersebut pun termasuk pendidikan untuk memperkenalkan metode pemberantasan korupsi maupun nilai-nilai antikorupsi kepada masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 26 November 2018 meluncurkan Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anti-Corruption Learning (ACLC).
Secara bertahap sejak 2015 Pusat Edukasi Antikorupsi mulai beroperasi dengan menyusun materi-materi antikorupsi dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran, termasuk dengan metode pembelajaran jarak jauh (e-learning).
Metode "e-learning" yang dibangun tersebut pun akhirnya banyak digunakan saat masa pandemi.
Menurut Plt Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Eksternal Direktorat Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi KPK Swasti Putri Mahatmi yang akrab dipanggil Uti, pendidikan dan latihan (diklat) antikorupsi di ACLC juga memberikan pelatihan bagi APIP, aparat penegak hukum (APH), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Satuan Pengawas Internal (SPI) BUMN. Sejak pandemi terjadi, pelatihan diselenggarakan secara daring.
Tercatat pada 2020 total ada 16.812 orang yang terdiri dari 7.994 orang APH dan PPNS, 4.323 orang APIP, 357 SPI dari berbagai BUMN, 3.859 orang masyarakat umum, 249 orang ASN dan 30 orang peserta dari luar negeri mengikuti pelatihan di ACLC baik berbentuk diklat yang pelaksanaannya lebih dari 8 jam maupun webinar dan diskusi dengan materi selama 3 jam.
Pelatihan-pelatihan yang dilakukan antara lain pelatihan audit investigasi APIP, penguatan APH, persiapan sertifikasi, diskusi publik sumber daya alam dan kelas lainnya.
Swasti mengaku memang ada sejumlah beberapa kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan pelatihan secara daring.
Salah satu kelebihan pelatihan daring adalah dapat menjangkau lebih banyak peserta.
Menurut dia, dengan sistem 'online' ini bisa menggabungkan beberapa provinsi, jadi ketika diskusi contoh kasusnya bisa lebih luas lagi karena ada warna masing-masing provinsi khususnya untuk pelatihan APIPi.
Kelebihan lainnya adalah menghemat biaya perjalanan dinas baik untuk pelatih dari KPK yang tidak perlu datang ke ibuk ota provinsi maupun APIP yang berada di kabupaten/kota termasuk yang ada di pulau-pulau terluar juga tidak harus datang ke ibukota provinsi yang biasa menjadi tuan rumah pelatihan.
Namun kendala pelatihan daring kembali lagi soal sinyal yang masih "putus-nyambung", namun hal ini dapat disiasati dengan mengirimkan rekaman 'zoom' sehingga mereka yang tiba-tiba koneksinya terputus atau lupa mencatat bisa menonton ulang.
Baca juga: Firli: Medsos untuk edukasi masyarakat turut andil berantas korupsi
Swasti mengakui salah satu kelemahan pelatihan daring adalah berkurangnya interaksi antarpeserta sehingga contoh kasus tidak dapat didiskusikan secara mendalam.
"Apalagi saat masa-masa awal pandemi, teman-teman di daerah masih belum terbiasa sehingga waktu cukup tersita untuk mengoperasikan 'zoom', masih bingung apa yang harus 'di-click', di mana 'link-nya' dan lain-lain karena kami melatih di seluruh Indonesia, tapi seiring berjalannya waktu sekarang sudah mulai terbiasa," tambah Swasti.
Terdapat juga penyesuaian materi yang karena keterbatasan waktu akhirnya tidak bisa dilakukan oleh seluruh peserta.
"Misalnya wawancara investigatif yang paling ideal adalah secara tatap muka karena bertemu langsung dan memperhatikan 'body language', intonasi dan lainnya sedangkan saat pelatihan secara 'online' kurang dapat praktiknya karena hanya dilakukan perwakilan peserta saja," ungkap Swasti.
Sedangkan untuk diklat persiapan sertifikasi penyuluh antikorupsi juga mengalami penyesuaian ketika dilaksanakan secara daring. Bila pelatihan secara tatap muka dilaksanakan selama 5 hari maka ketika pandemi pelatikhan dipangkas menjadi 3 hari menggunakan "platform" zoom dan 2 hari adalah dengan program "e-learning".
Penyesuaian itu dilakukan karena bila tetap memaksakan pelatihan daring selama 5 hari maka peserta akan merasa sangat lama dan antusiasmi pun menurun, padahal menurut Swasti materi-materi pelatihan sangat terkait untuk bagaimana melakukan presentasi, menyuluh maupun membuat program antikorupsi yang akan diujikan saat peserta mengambil ujian sertifikasi penyuluh antikorupsi.
"Sesungguhnya pelatihan untuk calon penyuluh itu melelahkan dan padat karena dari pagi sampai malam, bahkan masih ditambah ada pendampingan dari mentor karena setelah pelatihan dilanjutkan dengan mentor bagaimana membuat presentasi, kerangka acuan kerja dan persiapan teknis lainnya jadi kami akali dengan narasumber-narasumber memberikan materi dalam video sehingga mereka menonton video itu sendiri," jelas Swasti.
Sedangkan pelatihan untuk Satuan Pengawas Internal (SPI) yang menurut Swasti paling terbiasa dengan teknologi informasi, KPK mendapat banyak masukan untuk lebih memodifikasi sistem pembelajaran.
"Orang-orang BUMN memang peserta yang paling melek teknologi, jadi mereka menilai kami masih masih memindahkan kegiatan 'offline' ke 'online' sedangkan mereka berharap tidak hanya memindahkan kegiatan 'offline' ke 'online' tapi ada penyesuaian materi sedangkan kami masih membangun sistemnya," ungkap Swasti.
Meski dilakukan secara daring, Swasti mengungkapkan antusiasme pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga dan BUMN untuk mengirimkan pegawainya mengikuti pelatihan antikorupsi di KPK tidak surut bahkan bertambah.
Sejumlah BUMN juga mengirim pegawai melebihi kuota yang diberikan sehingga ACLC KPK harus membuat kelas tambahan, begitu juga pemda.
Sedangkan bila dihitung dengan mekanisme peningkatan pengetahuan melalui tes sebelum dan setelah pelatihan, Swasti mengatakan terjadi penambahan pemahaman materi antikorupsi. Evaluasi menyeluruh masih menunggu hasil evaluasi dari konsultan pihak ketiga.
Meski kelas daring memiliki sejumlah keunggulan, Swasti mengatakan ke depannya ACLC KPK akan menyusun materi yang mencampur antara materi daring dan tatap muka karena ada beberapa hal yang tetap tidak tergantikan dari kelas tatap muka.
"Misalnya pelatihan untuk level pengetahuan masih dapat dilakukan secara ceramah 'online' tapi level pelatihan untuk meningkatkan keterampilan lebih cocok dengan cara 'offline' jadi tergantung tujuan yang diharapkan dimiliki peserta karena internalisasi nilai tidak bisa hanya dengan ceramah tapi lebih dengan 'role play' atau diskusi tentu dengan protokol kesehatan ketat," ungkap Swasti.
Kelas antikorupsi secara daring juga dikerjakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yaitu melalui Sekolah Antikorupsi (SAKTI).
SAKTI pertama kali digagas pada 2013 lalu dilanjutkan pada 2014, 2017, 2018 dan 2019 yang seluruhnya dilakukan secara tatap muka.
Konsep SAKTI saat itu adalan menjaring 25 orang pemuda-pemudi dari seluruh wilayah Indonesia untuk dikarantina selama 7-10 hari dan diberikan materi maupun keterampilan advokasi terkait persoalan korupsi.
Pada 2019 bahkan SAKTI dibuat dalam dua kelas yaitu pertama SAKTI untuk melatih guru-guru dari berbagai jenjang pendidikan dari seluruh Indonesia dan SAKTI pemuda yaitu bagaimana memberdayakan anak muda dalam gerakan antikorupsi.
SAKTI Pemuda itu dilakukan di Bali yang bekerja sama dengan Balebengong, organisasi masyarakat yang mengembangkan jurnalisme warga yang dapat menjadi "induk semang" bagi para alumni SAKTI. Peserta SAKTI Bali pun membuat rencana tindak lanjut yang dilakukan adalah memantau anggaran desa dan kegiatan lain mulai dari pameran foto dan diskusi publik dengan mengangkat tema-tema antikorupsi, melakukan aksi, dan membuat jejaring bersama.
Ketika pandemi melanda, ICW pun mengubah strategi SAKIT dari yang tadinya ingin terjun langsung ke daerah menjadi kelas daring namun dengan tetap fokus ke gerakan antikorupsi di daerah.
Maka kelas SAKTI pada 2020 dilakukan dua kali yaitu SAKTI Papua pada 6-11 September 2020 dan SAKTI Papua Barat pada 13-18 September 2020. Terdapat 17 orang peserta di masing-masing kelas SAKTI sehingga total pesertanya ada 34 orang.
"Materi di kelas jelas dikurangi, tidak mungkin materinya sebanyak materi tatap muka karena kelas 'online' membuat orang-orang mudah kelelahan dan kami juga berusaha membuat metode agar belajarnya tidak 'boring' sekaligus membangun 'bonding' antarpeserta," Program Officer SAKTI/Kepala Sekolah SAKTI ICW Nisa Zonzoa.
Keterikatan peserta tersebut harus dibangung karena menurut Nisa kekuatan masyarakat sipil adalah pada jejaring yang dekat satu sama lain.
Cara untuk membangun keterikatan tersebut adalah setiap hari sebelum memulai pelatihan, peserta dibagi secara berpasangan dalam "break out room" di "platform" Zoom. Ketika mereka berpasangan, maka mereka harus menceritakan mengenai kesibukan keseharian mereka, alasan ikut SAKTI atau hal lain tentang diri mereka selama 5-10 menit.
"Ini namanya membangun 'relational meeting' dan setiap harinya pasangannya berganti sehingga paling tidak selama 5 hari pelatihan mereka kenal lebih dekat dengan 5 orang lain. Dari evaluasi kami, peserta suka dengan sesi ini dan bahkan minta supaya ditambah waktunya," ungkap Nisa.
Nisa juga meminta agar narasumber yang mengisi kelas SAKTI tidak hanya ceramah dan lebih menggunakan media interaktif.
"Saya sebagai kepala sekolah setiap hari mengamati proses di kelas, jadi hapal siapa yang aktif, siapa yang suka menyimak dan bahkan sengaja membisikkan ke teman-teman narasumber untuk bertanya ke peserta tertentu karena kadang peserta malu untuk berbicara walau sebenarnya mereka bisa jadi harus dicolek lebih dulu," tambah Nisa.
Ia mengakui melakukan metode tersebut lebih melelahkan untuk dirinya karena membutuhkan usaha lebih besar dibandingkan pelatihan biasa tapi dengan pendekatan personal tersebut Nisa menilai keterkaitan para peserta dengan isu antikorupsi dapat lebih erat.
Sedangkan untuk materi pelatihan, selain mengajarkan soal teori hukum maupun apa itu korupsi, ICW juga menyampaikan soal keterbukaan informasi publik dan korupsi sumber daya alam yang menyesuaikan dengan kondisi Papua dan Papua Barat.
"Karena rencana tindak lanjut teman-teman peserta termasuk melakukan permintaan informasi ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Papua. Selain itu masih ada juga materi soal simulasi sidang, analisis studi kasus dan lainnya karena beberapa peserta juga ada yang awam soal sumber daya alam ini," tambah Nisa.
Setelah mengikuti pelatihan di SAKTI, ICW juga mengajak para peserta untuk membuat program hari Antikorupsi Sedunia di Papua pada Desember 2020.
Saat itu para peserta membuat proyek mini seperti membuat webinar, program memantau pilkada, lomba lukis, membuat video penyelamatan hutan bahkan pada hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2020, para peserta membuat rilis tentang penyelamatan hutan Papua dari korupsi yang disebarkan ke media massa.
"Kami tidak bisa mengatakan SAKTI secara daring ini sukses karena sampai saat ini juga kami masih berbenah dari berbagai sisi bahkan sedang menyusun 'tools' tambahan untuk SAKTI 2021 maupun modulnya tapi dari hasil evaluasi SAKTI 2020 sudah berjalan cukup baik karena teman-teman mau terlibat dalam kegiatan meski tidak pernah bertemu," tambah Nisa.
Kesulitan kelas daring yang dialami pun menurut Nisa masih terkait dengan kebutuhan sinyal dan paket data.
Nisa mengakui ICW juga membutuhkan kaderisasi gerakan antikorupsi di daerah sehingga SAKTI dinilai menjadi cara yang tepat untuk menjangkau para pemuda dan pemudi di daerah untuk menghasilkan kader-kader antikorupsi yang lebih berdaya.
Pendidikan antikorupsi pun dimulai dari langkah kecil dan sederhana, asalkan dilakukan secara konsistem maka gerakan itu pun dapat membesar dan berdampak termasuk berdampak untuk mengalahkan korupsi politik yang lebih dulu besar di negara ini.
Bangsa Indonesia menjadi bangkrut secara moral karena korupsi menyerang segenap lapisan sosial politik.
Korupsi politik menurut Artidjo berbanding lurus dengan lemahnya atau tidak adanya kontrol terhadap praktik penyelenggaraan kekuasaan negara. Lemahnya kontrol ini dapat ditimbulkan karena kondisi sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat yang tidak memadai.
Artinya, pendidikan menjadi salah satu kunci agar korupsi tidak lagi membangkrutkan negara. Pendidikan tersebut pun termasuk pendidikan untuk memperkenalkan metode pemberantasan korupsi maupun nilai-nilai antikorupsi kepada masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 26 November 2018 meluncurkan Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anti-Corruption Learning (ACLC).
Secara bertahap sejak 2015 Pusat Edukasi Antikorupsi mulai beroperasi dengan menyusun materi-materi antikorupsi dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran, termasuk dengan metode pembelajaran jarak jauh (e-learning).
Metode "e-learning" yang dibangun tersebut pun akhirnya banyak digunakan saat masa pandemi.
Menurut Plt Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Eksternal Direktorat Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi KPK Swasti Putri Mahatmi yang akrab dipanggil Uti, pendidikan dan latihan (diklat) antikorupsi di ACLC juga memberikan pelatihan bagi APIP, aparat penegak hukum (APH), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Satuan Pengawas Internal (SPI) BUMN. Sejak pandemi terjadi, pelatihan diselenggarakan secara daring.
Tercatat pada 2020 total ada 16.812 orang yang terdiri dari 7.994 orang APH dan PPNS, 4.323 orang APIP, 357 SPI dari berbagai BUMN, 3.859 orang masyarakat umum, 249 orang ASN dan 30 orang peserta dari luar negeri mengikuti pelatihan di ACLC baik berbentuk diklat yang pelaksanaannya lebih dari 8 jam maupun webinar dan diskusi dengan materi selama 3 jam.
Pelatihan-pelatihan yang dilakukan antara lain pelatihan audit investigasi APIP, penguatan APH, persiapan sertifikasi, diskusi publik sumber daya alam dan kelas lainnya.
Swasti mengaku memang ada sejumlah beberapa kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan pelatihan secara daring.
Salah satu kelebihan pelatihan daring adalah dapat menjangkau lebih banyak peserta.
Menurut dia, dengan sistem 'online' ini bisa menggabungkan beberapa provinsi, jadi ketika diskusi contoh kasusnya bisa lebih luas lagi karena ada warna masing-masing provinsi khususnya untuk pelatihan APIPi.
Kelebihan lainnya adalah menghemat biaya perjalanan dinas baik untuk pelatih dari KPK yang tidak perlu datang ke ibuk ota provinsi maupun APIP yang berada di kabupaten/kota termasuk yang ada di pulau-pulau terluar juga tidak harus datang ke ibukota provinsi yang biasa menjadi tuan rumah pelatihan.
Namun kendala pelatihan daring kembali lagi soal sinyal yang masih "putus-nyambung", namun hal ini dapat disiasati dengan mengirimkan rekaman 'zoom' sehingga mereka yang tiba-tiba koneksinya terputus atau lupa mencatat bisa menonton ulang.
Baca juga: Firli: Medsos untuk edukasi masyarakat turut andil berantas korupsi
Swasti mengakui salah satu kelemahan pelatihan daring adalah berkurangnya interaksi antarpeserta sehingga contoh kasus tidak dapat didiskusikan secara mendalam.
"Apalagi saat masa-masa awal pandemi, teman-teman di daerah masih belum terbiasa sehingga waktu cukup tersita untuk mengoperasikan 'zoom', masih bingung apa yang harus 'di-click', di mana 'link-nya' dan lain-lain karena kami melatih di seluruh Indonesia, tapi seiring berjalannya waktu sekarang sudah mulai terbiasa," tambah Swasti.
Terdapat juga penyesuaian materi yang karena keterbatasan waktu akhirnya tidak bisa dilakukan oleh seluruh peserta.
"Misalnya wawancara investigatif yang paling ideal adalah secara tatap muka karena bertemu langsung dan memperhatikan 'body language', intonasi dan lainnya sedangkan saat pelatihan secara 'online' kurang dapat praktiknya karena hanya dilakukan perwakilan peserta saja," ungkap Swasti.
Sedangkan untuk diklat persiapan sertifikasi penyuluh antikorupsi juga mengalami penyesuaian ketika dilaksanakan secara daring. Bila pelatihan secara tatap muka dilaksanakan selama 5 hari maka ketika pandemi pelatikhan dipangkas menjadi 3 hari menggunakan "platform" zoom dan 2 hari adalah dengan program "e-learning".
Penyesuaian itu dilakukan karena bila tetap memaksakan pelatihan daring selama 5 hari maka peserta akan merasa sangat lama dan antusiasmi pun menurun, padahal menurut Swasti materi-materi pelatihan sangat terkait untuk bagaimana melakukan presentasi, menyuluh maupun membuat program antikorupsi yang akan diujikan saat peserta mengambil ujian sertifikasi penyuluh antikorupsi.
"Sesungguhnya pelatihan untuk calon penyuluh itu melelahkan dan padat karena dari pagi sampai malam, bahkan masih ditambah ada pendampingan dari mentor karena setelah pelatihan dilanjutkan dengan mentor bagaimana membuat presentasi, kerangka acuan kerja dan persiapan teknis lainnya jadi kami akali dengan narasumber-narasumber memberikan materi dalam video sehingga mereka menonton video itu sendiri," jelas Swasti.
Sedangkan pelatihan untuk Satuan Pengawas Internal (SPI) yang menurut Swasti paling terbiasa dengan teknologi informasi, KPK mendapat banyak masukan untuk lebih memodifikasi sistem pembelajaran.
"Orang-orang BUMN memang peserta yang paling melek teknologi, jadi mereka menilai kami masih masih memindahkan kegiatan 'offline' ke 'online' sedangkan mereka berharap tidak hanya memindahkan kegiatan 'offline' ke 'online' tapi ada penyesuaian materi sedangkan kami masih membangun sistemnya," ungkap Swasti.
Meski dilakukan secara daring, Swasti mengungkapkan antusiasme pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga dan BUMN untuk mengirimkan pegawainya mengikuti pelatihan antikorupsi di KPK tidak surut bahkan bertambah.
Sejumlah BUMN juga mengirim pegawai melebihi kuota yang diberikan sehingga ACLC KPK harus membuat kelas tambahan, begitu juga pemda.
Sedangkan bila dihitung dengan mekanisme peningkatan pengetahuan melalui tes sebelum dan setelah pelatihan, Swasti mengatakan terjadi penambahan pemahaman materi antikorupsi. Evaluasi menyeluruh masih menunggu hasil evaluasi dari konsultan pihak ketiga.
Meski kelas daring memiliki sejumlah keunggulan, Swasti mengatakan ke depannya ACLC KPK akan menyusun materi yang mencampur antara materi daring dan tatap muka karena ada beberapa hal yang tetap tidak tergantikan dari kelas tatap muka.
"Misalnya pelatihan untuk level pengetahuan masih dapat dilakukan secara ceramah 'online' tapi level pelatihan untuk meningkatkan keterampilan lebih cocok dengan cara 'offline' jadi tergantung tujuan yang diharapkan dimiliki peserta karena internalisasi nilai tidak bisa hanya dengan ceramah tapi lebih dengan 'role play' atau diskusi tentu dengan protokol kesehatan ketat," ungkap Swasti.
Kelas antikorupsi secara daring juga dikerjakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yaitu melalui Sekolah Antikorupsi (SAKTI).
SAKTI pertama kali digagas pada 2013 lalu dilanjutkan pada 2014, 2017, 2018 dan 2019 yang seluruhnya dilakukan secara tatap muka.
Konsep SAKTI saat itu adalan menjaring 25 orang pemuda-pemudi dari seluruh wilayah Indonesia untuk dikarantina selama 7-10 hari dan diberikan materi maupun keterampilan advokasi terkait persoalan korupsi.
Pada 2019 bahkan SAKTI dibuat dalam dua kelas yaitu pertama SAKTI untuk melatih guru-guru dari berbagai jenjang pendidikan dari seluruh Indonesia dan SAKTI pemuda yaitu bagaimana memberdayakan anak muda dalam gerakan antikorupsi.
SAKTI Pemuda itu dilakukan di Bali yang bekerja sama dengan Balebengong, organisasi masyarakat yang mengembangkan jurnalisme warga yang dapat menjadi "induk semang" bagi para alumni SAKTI. Peserta SAKTI Bali pun membuat rencana tindak lanjut yang dilakukan adalah memantau anggaran desa dan kegiatan lain mulai dari pameran foto dan diskusi publik dengan mengangkat tema-tema antikorupsi, melakukan aksi, dan membuat jejaring bersama.
Ketika pandemi melanda, ICW pun mengubah strategi SAKIT dari yang tadinya ingin terjun langsung ke daerah menjadi kelas daring namun dengan tetap fokus ke gerakan antikorupsi di daerah.
Maka kelas SAKTI pada 2020 dilakukan dua kali yaitu SAKTI Papua pada 6-11 September 2020 dan SAKTI Papua Barat pada 13-18 September 2020. Terdapat 17 orang peserta di masing-masing kelas SAKTI sehingga total pesertanya ada 34 orang.
"Materi di kelas jelas dikurangi, tidak mungkin materinya sebanyak materi tatap muka karena kelas 'online' membuat orang-orang mudah kelelahan dan kami juga berusaha membuat metode agar belajarnya tidak 'boring' sekaligus membangun 'bonding' antarpeserta," Program Officer SAKTI/Kepala Sekolah SAKTI ICW Nisa Zonzoa.
Keterikatan peserta tersebut harus dibangung karena menurut Nisa kekuatan masyarakat sipil adalah pada jejaring yang dekat satu sama lain.
Cara untuk membangun keterikatan tersebut adalah setiap hari sebelum memulai pelatihan, peserta dibagi secara berpasangan dalam "break out room" di "platform" Zoom. Ketika mereka berpasangan, maka mereka harus menceritakan mengenai kesibukan keseharian mereka, alasan ikut SAKTI atau hal lain tentang diri mereka selama 5-10 menit.
"Ini namanya membangun 'relational meeting' dan setiap harinya pasangannya berganti sehingga paling tidak selama 5 hari pelatihan mereka kenal lebih dekat dengan 5 orang lain. Dari evaluasi kami, peserta suka dengan sesi ini dan bahkan minta supaya ditambah waktunya," ungkap Nisa.
Nisa juga meminta agar narasumber yang mengisi kelas SAKTI tidak hanya ceramah dan lebih menggunakan media interaktif.
"Saya sebagai kepala sekolah setiap hari mengamati proses di kelas, jadi hapal siapa yang aktif, siapa yang suka menyimak dan bahkan sengaja membisikkan ke teman-teman narasumber untuk bertanya ke peserta tertentu karena kadang peserta malu untuk berbicara walau sebenarnya mereka bisa jadi harus dicolek lebih dulu," tambah Nisa.
Ia mengakui melakukan metode tersebut lebih melelahkan untuk dirinya karena membutuhkan usaha lebih besar dibandingkan pelatihan biasa tapi dengan pendekatan personal tersebut Nisa menilai keterkaitan para peserta dengan isu antikorupsi dapat lebih erat.
Sedangkan untuk materi pelatihan, selain mengajarkan soal teori hukum maupun apa itu korupsi, ICW juga menyampaikan soal keterbukaan informasi publik dan korupsi sumber daya alam yang menyesuaikan dengan kondisi Papua dan Papua Barat.
"Karena rencana tindak lanjut teman-teman peserta termasuk melakukan permintaan informasi ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Papua. Selain itu masih ada juga materi soal simulasi sidang, analisis studi kasus dan lainnya karena beberapa peserta juga ada yang awam soal sumber daya alam ini," tambah Nisa.
Setelah mengikuti pelatihan di SAKTI, ICW juga mengajak para peserta untuk membuat program hari Antikorupsi Sedunia di Papua pada Desember 2020.
Saat itu para peserta membuat proyek mini seperti membuat webinar, program memantau pilkada, lomba lukis, membuat video penyelamatan hutan bahkan pada hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2020, para peserta membuat rilis tentang penyelamatan hutan Papua dari korupsi yang disebarkan ke media massa.
"Kami tidak bisa mengatakan SAKTI secara daring ini sukses karena sampai saat ini juga kami masih berbenah dari berbagai sisi bahkan sedang menyusun 'tools' tambahan untuk SAKTI 2021 maupun modulnya tapi dari hasil evaluasi SAKTI 2020 sudah berjalan cukup baik karena teman-teman mau terlibat dalam kegiatan meski tidak pernah bertemu," tambah Nisa.
Kesulitan kelas daring yang dialami pun menurut Nisa masih terkait dengan kebutuhan sinyal dan paket data.
Nisa mengakui ICW juga membutuhkan kaderisasi gerakan antikorupsi di daerah sehingga SAKTI dinilai menjadi cara yang tepat untuk menjangkau para pemuda dan pemudi di daerah untuk menghasilkan kader-kader antikorupsi yang lebih berdaya.
Pendidikan antikorupsi pun dimulai dari langkah kecil dan sederhana, asalkan dilakukan secara konsistem maka gerakan itu pun dapat membesar dan berdampak termasuk berdampak untuk mengalahkan korupsi politik yang lebih dulu besar di negara ini.