Jakarta (ANTARA) - Kantor Staf Presiden menyebut pernyataan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan soal korupsi bantuan sosial atau bansos senilai Rp100 triliun cenderung spekulatif dan mengundang kontroversi.
"Kalau memang ada dugaan korupsi, silakan diusut sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Dalam upaya penegakan hukum, pernyataan seperti itu sama sekali tidak produktif," ujar Ketua Tim Monitoring dan Evaluasi Pemulihan Ekonomi Nasional (Monev PEN) Kantor Staf Presiden Edy Priyono dalam siaran pers, di Jakarta, Jumat.
Edy menjelaskan, sampai saat ini tidak jelas, asal angka Rp100 triliun yang dimaksud Novel itu, apakah merupakan dugaan korupsi atau nilai proyek bansos-nya. Menurut Edy, kalau yang dimaksud adalah nilai dugaan korupsi, maka sulit diterima akal sehat, begitu pun jika yang dimaksud adalah nilai proyek atau program bansos.
Dia mengatakan dari total anggaran PEN 2020 yang besarnya Rp695,2 triliun, alokasi untuk klaster Perlindungan Sosial adalah Rp234,3 triliun. Adapun bansos yang merupakan bagian dari klaster Perlindungan Sosial tidak bernilai Rp100 triliun. “Jadi proyek apa yang dimaksud?” tanya Edy.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian III KSP itu pun menilai Novel sebagai bagian dari institusi pemberantasan korupsi sebaiknya menghindari pernyataan-pernyataan yang cenderung spekulatif dan mengundang kontroversi seperti itu.
Terlebih, menurutnya, masih ada dugaan korupsi yang saat ini sedang ditangani penegak hukum, termasuk pungutan liar (pungli) bansos.
“Itu yang kami sangat sayangkan. Padahal Presiden sudah berkali-kali memberi peringatan agar tidak korupsi. Kita serahkan sepenuhnya kasus tersebut pada penegak hukum," tutur Edy.
Edy memastikan, Pemerintah berkomitmen untuk menutup berbagai celah yang mungkin bisa digunakan untuk korupsi. Salah satu wujud paling nyata adalah arahan Presiden agar pada tahun 2021 pemberian bansos dalam bentuk barang diminimalkan.
Saat ini pemerintah mendorong semakin banyak pemberian bantuan secara non-tunai, transfer via rekening, atau langsung kepada penerima melalui kantor pos.
Hal itu menurutnya, bisa dilihat dalam skema PEN 2021. Dari total anggaran klaster Perlindungan Sosial sebesar Rp150,28 triliun, kata dia, hanya Rp2,45 triliun yang dialokasikan dalam bentuk barang, yaitu bantuan beras.
"Lainnya disalurkan melalui non-tunai, transfer atau melalui kantor pos langsung kepada penerima manfaat," ucapEdy.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga melakukan monitoring yang ketat untuk meminimalkan potensi korupsi.
Kantor Staf Presiden sendiri telah membentuk Tim Monev PEN yang bekerja sejak 2020. Berdasarkan hasil monitoring, program penyaluran bansos telah berjalan lancar, namun masih membutuhkan sejumlah perbaikan.
"Kalau memang ada dugaan korupsi, silakan diusut sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Dalam upaya penegakan hukum, pernyataan seperti itu sama sekali tidak produktif," ujar Ketua Tim Monitoring dan Evaluasi Pemulihan Ekonomi Nasional (Monev PEN) Kantor Staf Presiden Edy Priyono dalam siaran pers, di Jakarta, Jumat.
Edy menjelaskan, sampai saat ini tidak jelas, asal angka Rp100 triliun yang dimaksud Novel itu, apakah merupakan dugaan korupsi atau nilai proyek bansos-nya. Menurut Edy, kalau yang dimaksud adalah nilai dugaan korupsi, maka sulit diterima akal sehat, begitu pun jika yang dimaksud adalah nilai proyek atau program bansos.
Dia mengatakan dari total anggaran PEN 2020 yang besarnya Rp695,2 triliun, alokasi untuk klaster Perlindungan Sosial adalah Rp234,3 triliun. Adapun bansos yang merupakan bagian dari klaster Perlindungan Sosial tidak bernilai Rp100 triliun. “Jadi proyek apa yang dimaksud?” tanya Edy.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian III KSP itu pun menilai Novel sebagai bagian dari institusi pemberantasan korupsi sebaiknya menghindari pernyataan-pernyataan yang cenderung spekulatif dan mengundang kontroversi seperti itu.
Terlebih, menurutnya, masih ada dugaan korupsi yang saat ini sedang ditangani penegak hukum, termasuk pungutan liar (pungli) bansos.
“Itu yang kami sangat sayangkan. Padahal Presiden sudah berkali-kali memberi peringatan agar tidak korupsi. Kita serahkan sepenuhnya kasus tersebut pada penegak hukum," tutur Edy.
Edy memastikan, Pemerintah berkomitmen untuk menutup berbagai celah yang mungkin bisa digunakan untuk korupsi. Salah satu wujud paling nyata adalah arahan Presiden agar pada tahun 2021 pemberian bansos dalam bentuk barang diminimalkan.
Saat ini pemerintah mendorong semakin banyak pemberian bantuan secara non-tunai, transfer via rekening, atau langsung kepada penerima melalui kantor pos.
Hal itu menurutnya, bisa dilihat dalam skema PEN 2021. Dari total anggaran klaster Perlindungan Sosial sebesar Rp150,28 triliun, kata dia, hanya Rp2,45 triliun yang dialokasikan dalam bentuk barang, yaitu bantuan beras.
"Lainnya disalurkan melalui non-tunai, transfer atau melalui kantor pos langsung kepada penerima manfaat," ucapEdy.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga melakukan monitoring yang ketat untuk meminimalkan potensi korupsi.
Kantor Staf Presiden sendiri telah membentuk Tim Monev PEN yang bekerja sejak 2020. Berdasarkan hasil monitoring, program penyaluran bansos telah berjalan lancar, namun masih membutuhkan sejumlah perbaikan.