Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengingatkan agar jangan sampai melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penanganan kasus Jiwasraya dan Asabri.
"Jangan sampai para penegak hukum yang melakukan abuse of power dalam kasus Jiwasraya dan Asabri ini," kata Margarito dalam keterangan pers diterima di Jakarta, Selasa.
Dia menilai jaksa perlu untuk taat pada undang-undang dalam melakukan penyitaan dan mengembalikan seluruh aset terdakwa yang tidak berkaitan dengan pidana kasus tersebut, yakni aset yang bukan dikenakan penyitaan seperti diatur di pasal 39 KUHAP.
"Jaksa tidak punya pilihan lain selain tunduk sepenuhnya pada UU tersebut," ucap dia.
Ia mengatakan jika penegakan hukum yang dilakukan sembarangan, maka bisa saja menimbulkan maljustice pada para terpidana.
Peneliti dari Lokataru Foundation, Nurkholis Hidayat, mengatakan banyak keberatan yang diajukan ke Pengadilan Tipikor atas penyitaan aset kasus Jiwasraya dan Asabri yang umumnya didasarkan pada ketidakhati-hatian penyidik dalam memisahkan aset mana saja yang terkait atau tidak terkait kasus yang disidik.
"Keberatan tersebut tidak saja berasal dari para tersangka, tetapi juga pihak ketiga lain (yang beritikad baik) yang terkena dampak penyitaan, seperti yang dialami pemilik rekening efek dan ribuan nasabah dan pemegang polis asuransi PT Asuransi Jiwa Wanaartha," tutur Nurkholis.
Menurut dia kegagalan dalam melakukan verifikasi atas aset yang disita atau dirampas juga akan memberikan dampak pada investor pasar modal dan konsumen bisnis asuransi.
"Di sisi lain, praktik penyitaan yang dipenuhi gugatan dari pihak ketiga juga telah membuka fakta adanya celah hukum berkaitan dengan dampak dan konsistensi putusan, serta hukum acara, yang keseluruhannya memberi jalan pada semakin pentingnya penyelesaian RUU Perampasan Aset," ucap-nya.
Nurkholis pun memberikan yurisprudensi kasus pasar modal serupa, yakni pada putusan kasasi Karen Agustiawan. Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa kerugian karena penurunan nilai saham (impairment) bukanlah kerugian nyata.
MA kata dia memandang sifat dari kerugian itu bersifat temporer, yang dipengaruhi oleh fluktuatif-nya nilai saham. Karena itu, kerugian dianggap sebagai kerugian yang tidak riil.
"Jika setiap penurunan saham-saham perusahaan yang dibeli oleh perusahaan BUMN berkonsekuensi pada lahirnya perbuatan pidana, tentu para manager investasi akan berpikir seribu kali untuk bersedia mengelola investasi perusahaan BUMN di pasar modal Indonesia," ujarnya.
"Jangan sampai para penegak hukum yang melakukan abuse of power dalam kasus Jiwasraya dan Asabri ini," kata Margarito dalam keterangan pers diterima di Jakarta, Selasa.
Dia menilai jaksa perlu untuk taat pada undang-undang dalam melakukan penyitaan dan mengembalikan seluruh aset terdakwa yang tidak berkaitan dengan pidana kasus tersebut, yakni aset yang bukan dikenakan penyitaan seperti diatur di pasal 39 KUHAP.
"Jaksa tidak punya pilihan lain selain tunduk sepenuhnya pada UU tersebut," ucap dia.
Ia mengatakan jika penegakan hukum yang dilakukan sembarangan, maka bisa saja menimbulkan maljustice pada para terpidana.
Peneliti dari Lokataru Foundation, Nurkholis Hidayat, mengatakan banyak keberatan yang diajukan ke Pengadilan Tipikor atas penyitaan aset kasus Jiwasraya dan Asabri yang umumnya didasarkan pada ketidakhati-hatian penyidik dalam memisahkan aset mana saja yang terkait atau tidak terkait kasus yang disidik.
"Keberatan tersebut tidak saja berasal dari para tersangka, tetapi juga pihak ketiga lain (yang beritikad baik) yang terkena dampak penyitaan, seperti yang dialami pemilik rekening efek dan ribuan nasabah dan pemegang polis asuransi PT Asuransi Jiwa Wanaartha," tutur Nurkholis.
Menurut dia kegagalan dalam melakukan verifikasi atas aset yang disita atau dirampas juga akan memberikan dampak pada investor pasar modal dan konsumen bisnis asuransi.
"Di sisi lain, praktik penyitaan yang dipenuhi gugatan dari pihak ketiga juga telah membuka fakta adanya celah hukum berkaitan dengan dampak dan konsistensi putusan, serta hukum acara, yang keseluruhannya memberi jalan pada semakin pentingnya penyelesaian RUU Perampasan Aset," ucap-nya.
Nurkholis pun memberikan yurisprudensi kasus pasar modal serupa, yakni pada putusan kasasi Karen Agustiawan. Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa kerugian karena penurunan nilai saham (impairment) bukanlah kerugian nyata.
MA kata dia memandang sifat dari kerugian itu bersifat temporer, yang dipengaruhi oleh fluktuatif-nya nilai saham. Karena itu, kerugian dianggap sebagai kerugian yang tidak riil.
"Jika setiap penurunan saham-saham perusahaan yang dibeli oleh perusahaan BUMN berkonsekuensi pada lahirnya perbuatan pidana, tentu para manager investasi akan berpikir seribu kali untuk bersedia mengelola investasi perusahaan BUMN di pasar modal Indonesia," ujarnya.