Jakarta (ANTARA) - Ketua Persatuan Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia dokter Daeng M. Faqih menyarankan waktu ideal bagi pasien isolasi mandiri COVID-19 berkonsultasi dengan dokter adalah setiap hari saat menjalankan masa perawatan.
Pengawasan dari tenaga medis dan dokter memang dibutuhkan agar angka kesembuhan COVID-19 pada pasien bisa semakin tinggi dan peluangnya semakin besar.
“Hal yang utama dalam konsultasi saat isolasi mandiri itu jangan lupa sampaikan perkembangan gejala, serta hasil observasi mandiri ya mulai dari respiratory rate, suhu, dan kadar saturasi oksigen,” kata dokter Daeng dalam keterangannya ditulis, Minggu.
Baca juga: Good Doctor catat layanan meningkat enam kali lipat terkait COVID-19
Ia menyebutkan hingga saat ini kesalahan terbesar dari para pasien isolasi mandiri yang telat mendapatkan pertolongan karena tidak adanya pemantauan dan pengawasan dari tenaga medis.
Seringnya pasien isolasi mandiri baru mencari pertolongan dokter atau tenaga medis ketika kondisi benar- benar sudah memburuk dan terlambat untuk ditangani.
“Maka dari itu penting untuk konsultasi rutin hingga sembuh, karena kalau terhubung dengan dokter misalnya lewat layanan telemedisin tentu akan lebih baik penanganannya karena ada pendampingan ahli dan ada juga pemberian terapi obat yang lebih terarah,” katanya.
Dokter Daeng juga menyebutkan selama isolasi mandiri pasien COVID-19 tidak boleh melakukan kegiatan yang menyebabkan kelelahan pada fisik dan mental.
Pasien boleh berolahraga namun dalam jumlah yang normal dan tidak mengganggu kadar oksigen di dalam tubuh.
Baca juga: IDI harap telemedisin bisa untuk daftar vaksin di semua faskes
Selama isolasi mandiri, pasien COVID-19 pun tidak perlu merasa panik dan sebisa mungkin selalu berpikiran positif dengan berbagai cara misalnya dengan menghubungi kerabat secara virtual atau bisa juga sambil membaca buku.
Pada saat isolasi mandiri, pasien juga harus mampu mengenali ciri- ciri perburukan gejala.
Selain memantau kadar oksigen dan suhu tubuh pasien bisa mengenali gejala perburukan dengan mengecek jumlah hembusan nafas. Jika respitatory rate sudah melebihi 24 kali dalam waktu satu menit artinya pasien sudah mengalami durasi nafas yang lebih pendek, itu merupakan gejala gangguan nafas yang seharusnya langsung dikonsultasikan kepada dokter.
Gejala perburukan juga bisa dilihat dari perasaan sesak nafas atau tertekan yang dialami pasien, meski pasien mendapatkan hasil saturasi di atas 95 persen namun jika pasien mengalami sesak ada baiknya segera menghubungi dokter untuk kemudian dirujuk ke rumah sakit.
Tidak hanya itu, perburukan gejala juga bisa dilihat dari ujung tangan, kaki, dan bibir yang membiru atau dalam istilah medisnya dikenal sebagai cyanosis.
Meski pasien tidak merasa sesak atau tidak merasa dadanya tertekan pasien dengan cyanosis harus segera mendapatkan rujukan ke rumah sakit karena menunjukkan bahwa tubuhnya kekurangan oksigen.
“Hal- hal seperti itu kebanyakan luput, masyarakat banyak yang belum mengetahui gejala perburukan. Maka penting terhubung dan berkonsultasi ke dokter setidaknya lewat telemedisin agar angka kesembuhan bisa meningkat,” ujar Daeng.
Sebelumnya, IDI menilai layanan telemedisin merupakan solusi yang strategis di masa penanganan pandemi COVID-19.
Hal itu dikarenakan, tenaga medis dapat lebih optimal memantau keadaan banyak pasien dan membantu meringankan beban rumah sakit yang masih cukup banyak merawat pasien- pasien bergejala sedang hingga kritis.
Tidak berhenti di situ, telemedisin juga membantu penanganan di hulu dengan cara mempersiapkan sistem untuk sentra- sentra vaksinasi COVID-19 agar sesuai dengan protokol kesehatan dan membantu percepatan distribusi vaksin COVID-19 kepada masyarakat di Indonesia agar kekebalan komunitas lebih cepat tercipta.
Pengawasan dari tenaga medis dan dokter memang dibutuhkan agar angka kesembuhan COVID-19 pada pasien bisa semakin tinggi dan peluangnya semakin besar.
“Hal yang utama dalam konsultasi saat isolasi mandiri itu jangan lupa sampaikan perkembangan gejala, serta hasil observasi mandiri ya mulai dari respiratory rate, suhu, dan kadar saturasi oksigen,” kata dokter Daeng dalam keterangannya ditulis, Minggu.
Baca juga: Good Doctor catat layanan meningkat enam kali lipat terkait COVID-19
Ia menyebutkan hingga saat ini kesalahan terbesar dari para pasien isolasi mandiri yang telat mendapatkan pertolongan karena tidak adanya pemantauan dan pengawasan dari tenaga medis.
Seringnya pasien isolasi mandiri baru mencari pertolongan dokter atau tenaga medis ketika kondisi benar- benar sudah memburuk dan terlambat untuk ditangani.
“Maka dari itu penting untuk konsultasi rutin hingga sembuh, karena kalau terhubung dengan dokter misalnya lewat layanan telemedisin tentu akan lebih baik penanganannya karena ada pendampingan ahli dan ada juga pemberian terapi obat yang lebih terarah,” katanya.
Dokter Daeng juga menyebutkan selama isolasi mandiri pasien COVID-19 tidak boleh melakukan kegiatan yang menyebabkan kelelahan pada fisik dan mental.
Pasien boleh berolahraga namun dalam jumlah yang normal dan tidak mengganggu kadar oksigen di dalam tubuh.
Baca juga: IDI harap telemedisin bisa untuk daftar vaksin di semua faskes
Selama isolasi mandiri, pasien COVID-19 pun tidak perlu merasa panik dan sebisa mungkin selalu berpikiran positif dengan berbagai cara misalnya dengan menghubungi kerabat secara virtual atau bisa juga sambil membaca buku.
Pada saat isolasi mandiri, pasien juga harus mampu mengenali ciri- ciri perburukan gejala.
Selain memantau kadar oksigen dan suhu tubuh pasien bisa mengenali gejala perburukan dengan mengecek jumlah hembusan nafas. Jika respitatory rate sudah melebihi 24 kali dalam waktu satu menit artinya pasien sudah mengalami durasi nafas yang lebih pendek, itu merupakan gejala gangguan nafas yang seharusnya langsung dikonsultasikan kepada dokter.
Gejala perburukan juga bisa dilihat dari perasaan sesak nafas atau tertekan yang dialami pasien, meski pasien mendapatkan hasil saturasi di atas 95 persen namun jika pasien mengalami sesak ada baiknya segera menghubungi dokter untuk kemudian dirujuk ke rumah sakit.
Tidak hanya itu, perburukan gejala juga bisa dilihat dari ujung tangan, kaki, dan bibir yang membiru atau dalam istilah medisnya dikenal sebagai cyanosis.
Meski pasien tidak merasa sesak atau tidak merasa dadanya tertekan pasien dengan cyanosis harus segera mendapatkan rujukan ke rumah sakit karena menunjukkan bahwa tubuhnya kekurangan oksigen.
“Hal- hal seperti itu kebanyakan luput, masyarakat banyak yang belum mengetahui gejala perburukan. Maka penting terhubung dan berkonsultasi ke dokter setidaknya lewat telemedisin agar angka kesembuhan bisa meningkat,” ujar Daeng.
Sebelumnya, IDI menilai layanan telemedisin merupakan solusi yang strategis di masa penanganan pandemi COVID-19.
Hal itu dikarenakan, tenaga medis dapat lebih optimal memantau keadaan banyak pasien dan membantu meringankan beban rumah sakit yang masih cukup banyak merawat pasien- pasien bergejala sedang hingga kritis.
Tidak berhenti di situ, telemedisin juga membantu penanganan di hulu dengan cara mempersiapkan sistem untuk sentra- sentra vaksinasi COVID-19 agar sesuai dengan protokol kesehatan dan membantu percepatan distribusi vaksin COVID-19 kepada masyarakat di Indonesia agar kekebalan komunitas lebih cepat tercipta.