Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi mengatakan pemerintah secara berkala melakukan evaluasi tarif tes usap berbasis real time polymerase chain reaction (RT-PCR).
“Kami secara berkala bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan evaluasi terhadap tarif pemeriksaan, menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Proses evaluasi merupakan standar yang kami lakukan dalam penentuan harga suatu produk maupun layanan," katanya melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Menurut Nadia kebijakan itu dilakukan untuk memastikan masyarakat mendapatkan pemeriksaan sesuai dengan harga yang seharusnya dibayarkan.
Evaluasi terhadap tarif pemeriksaan RT-PCR oleh Kementerian Kesehatan bersama BPKP sudah dilakukan sebanyak tiga kali, kata Nadia.
Pertama pada tanggal 5 Oktober 2020 ditetapkan pemeriksaan RT PCR Rp900 ribu. Kedua, pada tanggal 16 Agustus 2021 ditetapkan pemeriksaan RT PCR RP495 ribu untuk Pulau Jawa dan Bali serta Rp525 ribu untuk di luar pulau Jawa dan Bali.
Terakhir pada tanggal 27 Oktober 2021, pemerintah kembali menetapkan tarif PCR Rp275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali dan Rp300 ribu untuk di luar pulau Jawa dan Bali.
“Saya tegaskan sekali lagi, dalam menentukan harga RT- PCR, Kementerian Kesehatan (Dirjen Yankes) tidak berdiri sendiri, namun dilakukan bersama dengan BPKP. Proses evaluasi harga ini tentunya dilakukan untuk menutup masuknya kepentingan bisnis dan menjamin kepastian harga bagi masyarakat," katanya.
Perhitungan biaya pengambilan dan pemeriksaan RT-PCR, kata Nadia, terdiri atas komponen jasa pelayanan/SDM, komponen reagen dan bahan habis pakai (BHP), komponen biaya administrasi, overhead, dan komponen biaya lainnya yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.
“Reagen merupakan komponen harga paling besar dalam pemeriksaan swab RT-PCR, mencapai 45-55 persen,” katanya.
Nadia menganalogikan tinggi dan langkanya stok masker dan APD di awal pandemi yang juga berpengaruh terhadap harga saat itu. Namun kondisi ini berangsur-angsur membaik dengan semakin bertambahnya produsen masker dan APD seiring berjalannya waktu.
Demikian juga dengan reagen swab RT-PCR, di mana pada saat awal hanya terdapat kurang dari 30 produsen yang ada di Indonesia. Namun saat ini sudah terdapat lebih dari 200 jenis reagen swab RT-PCR yang masuk ke Indonesia dan mendapatkan izin edar dari Kementerian Kesehatan dengan harga yang bervariasi.
"Artinya sudah terjadi persaingan variasi dan harga untuk komponen reagen swab RT-PCR," katanya.
Swab RT-PCR masih menjadi "gold" standar dalam mendiagnosis kasus positif COVID-19, tidak hanya di Indonesia, namun juga pada level global. Kebutuhan akan pemeriksaan RT-PCR didorong oleh peningkatan pemeriksaan spesimen di Indonesia, dimana angka "positivity rate" di Indonesia saat ini sudah di bawah 0,4 persen dari standar yang ditetapkan WHO.
“Semakin cepat kasus positif ditemukan, semakin cepat dapat dipisahkan dari orang yang sehat, tentunya ini dapat mencegah penyebarluasan virus COVID-19 di dalam masyarakat," katanya.
“Kami secara berkala bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan evaluasi terhadap tarif pemeriksaan, menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Proses evaluasi merupakan standar yang kami lakukan dalam penentuan harga suatu produk maupun layanan," katanya melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Menurut Nadia kebijakan itu dilakukan untuk memastikan masyarakat mendapatkan pemeriksaan sesuai dengan harga yang seharusnya dibayarkan.
Evaluasi terhadap tarif pemeriksaan RT-PCR oleh Kementerian Kesehatan bersama BPKP sudah dilakukan sebanyak tiga kali, kata Nadia.
Pertama pada tanggal 5 Oktober 2020 ditetapkan pemeriksaan RT PCR Rp900 ribu. Kedua, pada tanggal 16 Agustus 2021 ditetapkan pemeriksaan RT PCR RP495 ribu untuk Pulau Jawa dan Bali serta Rp525 ribu untuk di luar pulau Jawa dan Bali.
Terakhir pada tanggal 27 Oktober 2021, pemerintah kembali menetapkan tarif PCR Rp275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali dan Rp300 ribu untuk di luar pulau Jawa dan Bali.
“Saya tegaskan sekali lagi, dalam menentukan harga RT- PCR, Kementerian Kesehatan (Dirjen Yankes) tidak berdiri sendiri, namun dilakukan bersama dengan BPKP. Proses evaluasi harga ini tentunya dilakukan untuk menutup masuknya kepentingan bisnis dan menjamin kepastian harga bagi masyarakat," katanya.
Perhitungan biaya pengambilan dan pemeriksaan RT-PCR, kata Nadia, terdiri atas komponen jasa pelayanan/SDM, komponen reagen dan bahan habis pakai (BHP), komponen biaya administrasi, overhead, dan komponen biaya lainnya yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.
“Reagen merupakan komponen harga paling besar dalam pemeriksaan swab RT-PCR, mencapai 45-55 persen,” katanya.
Nadia menganalogikan tinggi dan langkanya stok masker dan APD di awal pandemi yang juga berpengaruh terhadap harga saat itu. Namun kondisi ini berangsur-angsur membaik dengan semakin bertambahnya produsen masker dan APD seiring berjalannya waktu.
Demikian juga dengan reagen swab RT-PCR, di mana pada saat awal hanya terdapat kurang dari 30 produsen yang ada di Indonesia. Namun saat ini sudah terdapat lebih dari 200 jenis reagen swab RT-PCR yang masuk ke Indonesia dan mendapatkan izin edar dari Kementerian Kesehatan dengan harga yang bervariasi.
"Artinya sudah terjadi persaingan variasi dan harga untuk komponen reagen swab RT-PCR," katanya.
Swab RT-PCR masih menjadi "gold" standar dalam mendiagnosis kasus positif COVID-19, tidak hanya di Indonesia, namun juga pada level global. Kebutuhan akan pemeriksaan RT-PCR didorong oleh peningkatan pemeriksaan spesimen di Indonesia, dimana angka "positivity rate" di Indonesia saat ini sudah di bawah 0,4 persen dari standar yang ditetapkan WHO.
“Semakin cepat kasus positif ditemukan, semakin cepat dapat dipisahkan dari orang yang sehat, tentunya ini dapat mencegah penyebarluasan virus COVID-19 di dalam masyarakat," katanya.