Jakarta (ANTARA) - Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap tersangka kasus dugaan penipuan investasi program suntik modal alat kesehatan yang menimbulkan kerugian sekitar Rp503 miliar.
Dalam perkara ini, penyidik telah menetapkan empat orang sebagai tersangka, yakni VAK (21), BS (32), DR (27) dan DA (26). Keempatnya telah dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Bareskrim Polri sejak pertengahan Desember 2021.
“Para tersangka melakukan kegiatannya secara berkelompok dan tentunya kami masih mengembangkan terkait pelaku-pelaku tindak pidana pencucian uangnya," kata Direktur Tipideksus Bareskrim Brigjen Pol Whisnu Hermawan dalam ekspose kasus di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu.
Menurut Whisnu pihaknya menelusuri aset para tersangka, kemana saja uang hasil penipuan investasi tersebut dialihkan. Upaya penelusuran dengan meminta bantuan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Hingga saat ini, penyidik telah menyita sejumlah barang bukti yang digunakan tersangka untuk mengelabui korbannya, seperti uang, ponsel, rumah toko (ruko), alat kesehatan.
“Jadi kami proses lakukan sidik dengan tegas dan tentunya selalu kami terapkan UU TPPU supaya kami mencari asetnya dimana dan hasil aset tersebut akan disampaikan dalam perkara ke kejaksaan untuk nantinya diputus pengadilan dan diserahkan kembali ke masyarakat,” kata Whisnu.
Whisnu juga mengatakan dalam perkara ini pihaknya telah menerima sekitar 263 korban yang melaporkan, dan 20 korban sudah di BAP (berita acara pemeriksaan). Berdasarkan berita acara dari korban, penyidik menghimpun total kerugian yang dialami korban sekitar Rp503 miliar.
Kasus ini berawal dari laporan masyarakat, di mana para korban menanamkan investasi kepada tersangka VAK.
Dalam praktiknya, tersangka VAK mengunggah kegiatan bisnisnya melalui “whatsapp” dan ada beberapa penayangan terkait keuntungan atau suntik modal berupa alat kesehatan.
Tersangka mengajak teman-temannya dan koleganya untuk bergabung dalam rangka memberikan modal dalam kegiatan pengadaan barang di dinas kesehatan, dinas pendidikan.
“Bahkan bersama dengan tersangka, VAK mengatakan ada rencana ataupun mendapat tender dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertahanan dan Pertamina,” kata Whisnu.
Dari laporan tersebut, penyidik melakukan proses penyelidikan, ternyata tender dan surat perjanjian kerja sama (SPK) yang dibuat oleh para tersangka adalah bohong.
Whisnu menjelaskan, dalam kasus ini tersangka menggunakan modus operasi dengan menjanjikan keuntungan yang besar mulai dari 10 persen sampai dengan 30 persen per minggu atau per bulan. Di mana besar keuntungan ditentukan oleh upline.
Untuk meyakinkan korbannya, kata Whisnu, para pelaku menyampaikan bahwa pelaku menang tender dan memiliki SPK dari Kementerian dan Pemerintah. Oleh pelaku, Korban diminta untuk mendapatkan investor lain supaya mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
Sebagai contoh paket alat kesehatan yang dibuat oleh tersangka VAK yaitu paket alkes APD harga Rp2.100.000,-/box, dengan keuntunganRp650.000,-/box untuk pemesanan di bawah 1.000 box, pemesanan di atas 1.000 box mendapatkan keuntungan Rp750.000.
Mereka dijerat dengan Pasal 378 KUHP dan atau Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP dan atau Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan atau Pasal 105 dan atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan atau Pasal 3 dan atau Pasal 4 dan atau Pasal 5 dan atau Pasal 6 Jo Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Whisnu menambahkan, saat ini pihaknya telah menyusun pemberkasan dalam rangka kelengkapan berkas untuk segera dilimpahkan perkaranya ke Kejaksaan Agung.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 378 KUHP dan atau Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP dan atau Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan atau Pasal 105 dan atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan atau Pasal 3 dan atau Pasal 4 dan atau Pasal 5
Dalam perkara ini, penyidik telah menetapkan empat orang sebagai tersangka, yakni VAK (21), BS (32), DR (27) dan DA (26). Keempatnya telah dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Bareskrim Polri sejak pertengahan Desember 2021.
“Para tersangka melakukan kegiatannya secara berkelompok dan tentunya kami masih mengembangkan terkait pelaku-pelaku tindak pidana pencucian uangnya," kata Direktur Tipideksus Bareskrim Brigjen Pol Whisnu Hermawan dalam ekspose kasus di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu.
Menurut Whisnu pihaknya menelusuri aset para tersangka, kemana saja uang hasil penipuan investasi tersebut dialihkan. Upaya penelusuran dengan meminta bantuan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Hingga saat ini, penyidik telah menyita sejumlah barang bukti yang digunakan tersangka untuk mengelabui korbannya, seperti uang, ponsel, rumah toko (ruko), alat kesehatan.
“Jadi kami proses lakukan sidik dengan tegas dan tentunya selalu kami terapkan UU TPPU supaya kami mencari asetnya dimana dan hasil aset tersebut akan disampaikan dalam perkara ke kejaksaan untuk nantinya diputus pengadilan dan diserahkan kembali ke masyarakat,” kata Whisnu.
Whisnu juga mengatakan dalam perkara ini pihaknya telah menerima sekitar 263 korban yang melaporkan, dan 20 korban sudah di BAP (berita acara pemeriksaan). Berdasarkan berita acara dari korban, penyidik menghimpun total kerugian yang dialami korban sekitar Rp503 miliar.
Kasus ini berawal dari laporan masyarakat, di mana para korban menanamkan investasi kepada tersangka VAK.
Dalam praktiknya, tersangka VAK mengunggah kegiatan bisnisnya melalui “whatsapp” dan ada beberapa penayangan terkait keuntungan atau suntik modal berupa alat kesehatan.
Tersangka mengajak teman-temannya dan koleganya untuk bergabung dalam rangka memberikan modal dalam kegiatan pengadaan barang di dinas kesehatan, dinas pendidikan.
“Bahkan bersama dengan tersangka, VAK mengatakan ada rencana ataupun mendapat tender dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertahanan dan Pertamina,” kata Whisnu.
Dari laporan tersebut, penyidik melakukan proses penyelidikan, ternyata tender dan surat perjanjian kerja sama (SPK) yang dibuat oleh para tersangka adalah bohong.
Whisnu menjelaskan, dalam kasus ini tersangka menggunakan modus operasi dengan menjanjikan keuntungan yang besar mulai dari 10 persen sampai dengan 30 persen per minggu atau per bulan. Di mana besar keuntungan ditentukan oleh upline.
Untuk meyakinkan korbannya, kata Whisnu, para pelaku menyampaikan bahwa pelaku menang tender dan memiliki SPK dari Kementerian dan Pemerintah. Oleh pelaku, Korban diminta untuk mendapatkan investor lain supaya mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
Sebagai contoh paket alat kesehatan yang dibuat oleh tersangka VAK yaitu paket alkes APD harga Rp2.100.000,-/box, dengan keuntunganRp650.000,-/box untuk pemesanan di bawah 1.000 box, pemesanan di atas 1.000 box mendapatkan keuntungan Rp750.000.
Mereka dijerat dengan Pasal 378 KUHP dan atau Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP dan atau Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan atau Pasal 105 dan atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan atau Pasal 3 dan atau Pasal 4 dan atau Pasal 5 dan atau Pasal 6 Jo Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Whisnu menambahkan, saat ini pihaknya telah menyusun pemberkasan dalam rangka kelengkapan berkas untuk segera dilimpahkan perkaranya ke Kejaksaan Agung.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 378 KUHP dan atau Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP dan atau Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan atau Pasal 105 dan atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan atau Pasal 3 dan atau Pasal 4 dan atau Pasal 5