Jakarta (ANTARA) - Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri mengungkap kasus kejahatan penipuan investasi dengan modus menjual aplikasi Robot Trading Evotrade secara ilegal.
Dalam perkara tersebut, penyidik menetapkan enam orang tersangka di mana dua tersangka sudah ditahan, dua tersangka dikenakan wajib lapor, dan dua orang tersangka lainnya buron masuk daftar pencarian orang (DPO).
“Perkara ini mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa perusahaan itu menjual aplikasi robot trading tanpa izin,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Brigjen Pol. Whisnu Hermawan dalam ekspose kasus di Mabes Polri, Jakarta.
Whisnu menjelaskan para tersangka menawarkan penjualan Aplikasi Robot Trading Evotrade melalui paket-paket yang ditawarkan dengan menerapkan sistem skema piramida atau ponzi, di mana penawaran dilakukan dengan menjanjikan bonus/keuntungan jika dapat merekrut anggota baru antara 2 persen sampai dengan 10 persen hingga enam ke dalam.
Baca juga: OJK catat Kerugian akibat investasi ilegal 2011-2021 capai Rp117,4 triliun
Skema ponzi merupakan sistem pemberian keuntungan secara berjenjang yang biasa banyak terjadi dalam produk investasi bodong atau palsu. Biasanya investor ditawarkan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan investasi lain dalam jangka pendek dengan tingkat pengembalian yang terlalu tinggi atau luar biasa konsisten.
Pola bisnis tersebut diduga dapat melanggar ketentuan pidana dikarenakan keuntungan atau bonus yang diperoleh bukan dari hasil penjualan barang melainkan keikutsertaan atau partisipasi para peserta.
“Kegiatan usaha perdagangan tidak memiliki perizinan di bidang perdagangan yang diberikan oleh menteri (Kemendag RI, red.),” kata Whisnu.
Menurut Whisnu, kegiatan tersebut masuk kategori risiko tinggi, yaitu kegiatan perdagangan aplikasi robot "trading" melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh penjual langsung yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus.
Baca juga: Investasi bodong rugikan karyawan PT KAI harus diungkap
Dalam perkara ini, penyidik memperkirakan jumlah anggota (member, red.) ada 3.000 yang tersebar di wilayah Jakarta, Bali, Surabaya, Malang, Aceh, dan lain-lain.
Penjualan sistem dalam aplikasi robot "trading" itu menawarkan tiga paket seharga 150 dolar AS, 300 dolar AS, dan 500 dolar AS Para "member" yang akan join diharuskan ikut menggunakan referral link yang telah disediakan.
Dalam kasus robot "trading" ini, para korban dijanjikan keuntungan berjenjang hingga 10 persen dari uang yang disetorkan awal. Bagi "member" yang paling bawah, hanya akan mendapat keuntungan dua persen.
“Kami telah ungkap ada enam tersangka. Dua tersangka kami tahan, dua dilakukan penanganan di luar. Dua tersangka masih dicari, DPO. Mudah-mudahan dalam minggu ini tertangkap,” kata Whisnu.
Baca juga: Sebanyak 137 entitas perdagangan berjangka tak berizin diblokir
Selain itu, operasional dari aplikasi robot "trading" itu tak mengantongi izin dari Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga bisnis menghimpun dana dari masyarakat itu dilakukan secara ilegal.
Dalam kasus ini, para tersangka dipersangkakan Pasal 105 dan atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan atau Pasal 3 dan atau Pasal 4 dan atau Pasal 5 dan atau Pasal 6 Jo Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Adapun inisial para tersangka, yakni AD (35) selaku pelaku utama, pemilik, membiayai pembuatan "website", dan menyiapkan "basecamp" untuk para karyawan, dan AMA (31) berperan sebagai pelaku utama, selaku "owner" bersama-sama dengan AD. Keduanya berstatus DPO atau buron.
Baca juga: Tokocrypto gelar turnamen trading 'Real Steel'
Dua tersangka yang sudah ditahan berinisial DES (27) selaku pemilik rekening penampungan, rekening atas nama DES digunakan untuk menampung setoran dari member Evotrade dan MS (26) berperan sebagai kepala admin dengan tugas merekap deposit para "member" dan menyetujui dana yang di "withdrawel member".
Kemudian dua tersangka yang dilakukan penahanan di luar atau wajib lapor, yakni AK (42) selaku dirut hanya sebagai boneka, digaji 2 X oleh perusahaan melalui D, tapi tidak tahu terkait kegiatan operasional yang sebenamya dan D (42) perannya atas perintah AMA mengurus akta/perizinan perusahaan dan meminta AK untuk menjadi dirut.
Dalam perkara tersebut, penyidik menetapkan enam orang tersangka di mana dua tersangka sudah ditahan, dua tersangka dikenakan wajib lapor, dan dua orang tersangka lainnya buron masuk daftar pencarian orang (DPO).
“Perkara ini mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa perusahaan itu menjual aplikasi robot trading tanpa izin,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Brigjen Pol. Whisnu Hermawan dalam ekspose kasus di Mabes Polri, Jakarta.
Whisnu menjelaskan para tersangka menawarkan penjualan Aplikasi Robot Trading Evotrade melalui paket-paket yang ditawarkan dengan menerapkan sistem skema piramida atau ponzi, di mana penawaran dilakukan dengan menjanjikan bonus/keuntungan jika dapat merekrut anggota baru antara 2 persen sampai dengan 10 persen hingga enam ke dalam.
Baca juga: OJK catat Kerugian akibat investasi ilegal 2011-2021 capai Rp117,4 triliun
Skema ponzi merupakan sistem pemberian keuntungan secara berjenjang yang biasa banyak terjadi dalam produk investasi bodong atau palsu. Biasanya investor ditawarkan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan investasi lain dalam jangka pendek dengan tingkat pengembalian yang terlalu tinggi atau luar biasa konsisten.
Pola bisnis tersebut diduga dapat melanggar ketentuan pidana dikarenakan keuntungan atau bonus yang diperoleh bukan dari hasil penjualan barang melainkan keikutsertaan atau partisipasi para peserta.
“Kegiatan usaha perdagangan tidak memiliki perizinan di bidang perdagangan yang diberikan oleh menteri (Kemendag RI, red.),” kata Whisnu.
Menurut Whisnu, kegiatan tersebut masuk kategori risiko tinggi, yaitu kegiatan perdagangan aplikasi robot "trading" melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh penjual langsung yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus.
Baca juga: Investasi bodong rugikan karyawan PT KAI harus diungkap
Dalam perkara ini, penyidik memperkirakan jumlah anggota (member, red.) ada 3.000 yang tersebar di wilayah Jakarta, Bali, Surabaya, Malang, Aceh, dan lain-lain.
Penjualan sistem dalam aplikasi robot "trading" itu menawarkan tiga paket seharga 150 dolar AS, 300 dolar AS, dan 500 dolar AS Para "member" yang akan join diharuskan ikut menggunakan referral link yang telah disediakan.
Dalam kasus robot "trading" ini, para korban dijanjikan keuntungan berjenjang hingga 10 persen dari uang yang disetorkan awal. Bagi "member" yang paling bawah, hanya akan mendapat keuntungan dua persen.
“Kami telah ungkap ada enam tersangka. Dua tersangka kami tahan, dua dilakukan penanganan di luar. Dua tersangka masih dicari, DPO. Mudah-mudahan dalam minggu ini tertangkap,” kata Whisnu.
Baca juga: Sebanyak 137 entitas perdagangan berjangka tak berizin diblokir
Selain itu, operasional dari aplikasi robot "trading" itu tak mengantongi izin dari Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga bisnis menghimpun dana dari masyarakat itu dilakukan secara ilegal.
Dalam kasus ini, para tersangka dipersangkakan Pasal 105 dan atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan atau Pasal 3 dan atau Pasal 4 dan atau Pasal 5 dan atau Pasal 6 Jo Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Adapun inisial para tersangka, yakni AD (35) selaku pelaku utama, pemilik, membiayai pembuatan "website", dan menyiapkan "basecamp" untuk para karyawan, dan AMA (31) berperan sebagai pelaku utama, selaku "owner" bersama-sama dengan AD. Keduanya berstatus DPO atau buron.
Baca juga: Tokocrypto gelar turnamen trading 'Real Steel'
Dua tersangka yang sudah ditahan berinisial DES (27) selaku pemilik rekening penampungan, rekening atas nama DES digunakan untuk menampung setoran dari member Evotrade dan MS (26) berperan sebagai kepala admin dengan tugas merekap deposit para "member" dan menyetujui dana yang di "withdrawel member".
Kemudian dua tersangka yang dilakukan penahanan di luar atau wajib lapor, yakni AK (42) selaku dirut hanya sebagai boneka, digaji 2 X oleh perusahaan melalui D, tapi tidak tahu terkait kegiatan operasional yang sebenamya dan D (42) perannya atas perintah AMA mengurus akta/perizinan perusahaan dan meminta AK untuk menjadi dirut.