Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menyatakan bahwa hanya negara dengan warga yang sadar akan protokol kesehatan yang berhasil mengendalikan pandemi COVID-19.
“Protokol kesehatan terbukti secara ilmiah dapat menekan laju penularan. Untuk itu mari kita pelajari bersama kebijakan protokol kesehatan, utamanya kebijakan memakai masker dan larangan berkerumun,” kata Wiku dalam Konferensi Pers Perkembangan Penanganan COVID-19 di Indonesia per 17 Februari 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Wiku mencontohkan negara Denmark merupakan salah satu negara yang tergolong mengalami kenaikan kasus terkonfirmasi COVID-19 sangat tinggi dari negara lainnya karena kenaikan mencapai 13 kali lipat.
Kasus kematian di Denmark saat ini menjadi setara dengan masa puncak sebelumnya, sedangkan angka perawatan di rumah sakit telah mencapai dua kali lipat dari puncak kasus yang lalu. Hal itu merupakan dampak nyata dari tidak diberlakukannya kebijakan wajib masker dan larangan berkerumun.
Di Amerika Serikat, meski pemerintah telah mengeluarkan kebijakan wajib masker dan larangan berkumpul lebih dari 10 orang, angka kematian justru mengalami peningkatan hingga 20 persen lebih tinggi dari puncak lalu, termasuk tingkat perawatan di rumah sakit yang mencapai rekor tertinggi dua kali lipat dari puncak kasus COVID-19.
Hal serupa juga terjadi di Prancis, di mana tren perawatan rumah sakit menjadi setara dengan puncak sebelumnya, walaupun pemerintah menerapkan kebijakan serupa bahkan memberikan batasan berkumpul lebih dari 100 orang.
“Kebijakan di dua negara ini tidak dapat terlaksana dengan baik. Terlihat dari banyaknya aksi demonstrasi turun ke jalan dan penolakan penggunaan masker dari masyarakat khususnya terkait asas kebebasan,” kata Wiku.
Dengan melihat kondisi nyata ketiga negara, ia menyimpulkan bila kebijakan yang mengedepankan protokol kesehatan memang menjadi salah satu faktor suatu negara bisa mencegah terjadinya lonjakan kasus baik dari kasus infeksi, angka kematian maupun keterisian di rumah sakit (BOR).
Menurut Wiku, bila sebuah negara tidak menjalankan protokol kesehatan dengan baik dan masyarakat tidak membantu menghadapi pandemi, maka lonjakan kasus kematian dan perawatan sangat mungkin dapat terjadi.
Oleh sebab itu, Wiku meminta setiap pihak dapat memahami bila kebebasan yang melekat pada setiap individu, tidak menjadikan orang tersebut bebas untuk menempatkan orang lain pada situasi yang berisiko hingga mengakibatkan gejala berkepanjangan bahkan menghilangkan nyawa.
“Kebebasan juga tidak berarti kita bebas mengacuhkan keselamatan bersama. Ingat! pembatasan aktivitas yang harus diterapkan, ketika kasus melonjak tidak hanya merugikan kita sebagai individu namun juga menimbulkan penurunan ekonomi negara yang tidak sedikit jumlahnya,” kata Wiku.
“Protokol kesehatan terbukti secara ilmiah dapat menekan laju penularan. Untuk itu mari kita pelajari bersama kebijakan protokol kesehatan, utamanya kebijakan memakai masker dan larangan berkerumun,” kata Wiku dalam Konferensi Pers Perkembangan Penanganan COVID-19 di Indonesia per 17 Februari 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Wiku mencontohkan negara Denmark merupakan salah satu negara yang tergolong mengalami kenaikan kasus terkonfirmasi COVID-19 sangat tinggi dari negara lainnya karena kenaikan mencapai 13 kali lipat.
Kasus kematian di Denmark saat ini menjadi setara dengan masa puncak sebelumnya, sedangkan angka perawatan di rumah sakit telah mencapai dua kali lipat dari puncak kasus yang lalu. Hal itu merupakan dampak nyata dari tidak diberlakukannya kebijakan wajib masker dan larangan berkerumun.
Di Amerika Serikat, meski pemerintah telah mengeluarkan kebijakan wajib masker dan larangan berkumpul lebih dari 10 orang, angka kematian justru mengalami peningkatan hingga 20 persen lebih tinggi dari puncak lalu, termasuk tingkat perawatan di rumah sakit yang mencapai rekor tertinggi dua kali lipat dari puncak kasus COVID-19.
Hal serupa juga terjadi di Prancis, di mana tren perawatan rumah sakit menjadi setara dengan puncak sebelumnya, walaupun pemerintah menerapkan kebijakan serupa bahkan memberikan batasan berkumpul lebih dari 100 orang.
“Kebijakan di dua negara ini tidak dapat terlaksana dengan baik. Terlihat dari banyaknya aksi demonstrasi turun ke jalan dan penolakan penggunaan masker dari masyarakat khususnya terkait asas kebebasan,” kata Wiku.
Dengan melihat kondisi nyata ketiga negara, ia menyimpulkan bila kebijakan yang mengedepankan protokol kesehatan memang menjadi salah satu faktor suatu negara bisa mencegah terjadinya lonjakan kasus baik dari kasus infeksi, angka kematian maupun keterisian di rumah sakit (BOR).
Menurut Wiku, bila sebuah negara tidak menjalankan protokol kesehatan dengan baik dan masyarakat tidak membantu menghadapi pandemi, maka lonjakan kasus kematian dan perawatan sangat mungkin dapat terjadi.
Oleh sebab itu, Wiku meminta setiap pihak dapat memahami bila kebebasan yang melekat pada setiap individu, tidak menjadikan orang tersebut bebas untuk menempatkan orang lain pada situasi yang berisiko hingga mengakibatkan gejala berkepanjangan bahkan menghilangkan nyawa.
“Kebebasan juga tidak berarti kita bebas mengacuhkan keselamatan bersama. Ingat! pembatasan aktivitas yang harus diterapkan, ketika kasus melonjak tidak hanya merugikan kita sebagai individu namun juga menimbulkan penurunan ekonomi negara yang tidak sedikit jumlahnya,” kata Wiku.