Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan bahwa pihaknya memberi perhatian khusus untuk kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang melibatkan anggota TNI, Polri, pejabat publik, dan aparatur sipil negara (ASN).
"Karena bagaimana pun, relasi kuasanya menjadi sangat tebal, bertumpuk dan berlapis. Karena kuasanya itu pula, proses-proses keadilan itu menjadi lebih terhambat," kata Siti dalam acara peluncuran catatan tahunan Komnas Perempuan 2022 yang disiarkan di kanal YouTube Komnas Perempuan, dipantau dari Jakarta, Senin.
Pada 2021, Komnas Perempuan telah memberi penyikapan terhadap 7 kasus kekerasan terhadap istri yang dilakukan oleh anggota TNI, Polri, pejabat publik, dan ASN.
Kekerasan yang terjadi pun memiliki beragam bentuk, yakni penelantaran hak istri dan anak dalam perceraian anggota Polri, kekerasan psikis yang menyebabkan korban mengalami keguguran kandungan, kekerasan fisik yang menyebabkan korban luka, serta perselingkuhan.
Bentuk kekerasan terhadap istri lainnya adalah pemaksaan untuk menandatangani surat perjanjian bercerai, namun korban harus tetap berperan sebagai istri, hingga tidak pernah memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri dan dua anak mereka sampai istri sakit parah dan meninggal dunia.
“ASN, TNI, dan Polri ada aturan khusus terkait izin perkawinan dan perceraian,” ucap dia.
Secara khusus juga terdapat kekerasan terhadap istri yang diketahui merupakan keturunan diduga anggota Partai Komunis Indonesia atau PKI. Anggota TNI yang mengetahui hal tersebut pasca menikah melalukan beragam bentuk kekerasan terhadap korban hingga mengalami keguguran sebanyak dua kali.
"Kekerasan dilakukan dengan alasan dapat menghambat kariernya," tutur Siti.
Lebih lanjut, Siti juga meminta kepada pemerintah daerah untuk memberi perhatian kepada kasus pelecehan seksual yang terjadi ketika terdapat pegawai yang meminta izin cuti kepada atasan.
"Terjadi impunitas dan penyangkalan kekerasan ketika korban memilih penyelesaian melalui sistem peradilan pidana," katanya.
Pada akhirnya, korban akan bungkam dan memilih untuk mutasi ke daerah lain. Hal ini, kata Siti, menunjukkan bahwa di tingkat pemerintah daerah belum terdapat mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
"Menyebabkan ASN yang kita sebut sebagai pemimpin perempuan itu kehilangan kesempatan untuk berkembang dan berkarya karena kekerasan seksual atau lingkungan kerja yang tidak mendukung potensinya," tutur Siti.
"Karena bagaimana pun, relasi kuasanya menjadi sangat tebal, bertumpuk dan berlapis. Karena kuasanya itu pula, proses-proses keadilan itu menjadi lebih terhambat," kata Siti dalam acara peluncuran catatan tahunan Komnas Perempuan 2022 yang disiarkan di kanal YouTube Komnas Perempuan, dipantau dari Jakarta, Senin.
Pada 2021, Komnas Perempuan telah memberi penyikapan terhadap 7 kasus kekerasan terhadap istri yang dilakukan oleh anggota TNI, Polri, pejabat publik, dan ASN.
Kekerasan yang terjadi pun memiliki beragam bentuk, yakni penelantaran hak istri dan anak dalam perceraian anggota Polri, kekerasan psikis yang menyebabkan korban mengalami keguguran kandungan, kekerasan fisik yang menyebabkan korban luka, serta perselingkuhan.
Bentuk kekerasan terhadap istri lainnya adalah pemaksaan untuk menandatangani surat perjanjian bercerai, namun korban harus tetap berperan sebagai istri, hingga tidak pernah memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri dan dua anak mereka sampai istri sakit parah dan meninggal dunia.
“ASN, TNI, dan Polri ada aturan khusus terkait izin perkawinan dan perceraian,” ucap dia.
Secara khusus juga terdapat kekerasan terhadap istri yang diketahui merupakan keturunan diduga anggota Partai Komunis Indonesia atau PKI. Anggota TNI yang mengetahui hal tersebut pasca menikah melalukan beragam bentuk kekerasan terhadap korban hingga mengalami keguguran sebanyak dua kali.
"Kekerasan dilakukan dengan alasan dapat menghambat kariernya," tutur Siti.
Lebih lanjut, Siti juga meminta kepada pemerintah daerah untuk memberi perhatian kepada kasus pelecehan seksual yang terjadi ketika terdapat pegawai yang meminta izin cuti kepada atasan.
"Terjadi impunitas dan penyangkalan kekerasan ketika korban memilih penyelesaian melalui sistem peradilan pidana," katanya.
Pada akhirnya, korban akan bungkam dan memilih untuk mutasi ke daerah lain. Hal ini, kata Siti, menunjukkan bahwa di tingkat pemerintah daerah belum terdapat mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
"Menyebabkan ASN yang kita sebut sebagai pemimpin perempuan itu kehilangan kesempatan untuk berkembang dan berkarya karena kekerasan seksual atau lingkungan kerja yang tidak mendukung potensinya," tutur Siti.