Palangka Raya (ANTARA) - Kepala Bank Indonesia perwakilan Kalimantan Tengah Yura Adalin Djalins mengakui kenaikan harga gas elpiji non subsidi, dapat berpengaruh terhadap indeks harga konsumen di provinsi ini, namun sifatnya terbatas.
"Porsi konsumsi masyarakat terhadap jenis bahan bakar tersebut relatif kecil dibandingkan komoditas lainnya," kata Yura di Palangka Raya, kemarin.
Dikatakan, harga gas non-subsidi telah dua kali dinaikkan Pertamina, yakni pada Desember 2021 dan akhir Februari 2022. Hal ini menjadikan komoditas bahan bakar rumah tangga termasuk 5 (lima) besar komoditas penyumbang inflasi pada bulan Januari dan Februari 2022.
Pria yang akrab disapa Yura itu mengatakan, hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) mingguan BI Kalteng menunjukan rata-rata harga gas LPG ukuran 12 kilogram di Palangka Raya naik menjadi sebesar Rp195 ribu pada Maret I dari Rp175 ribu pada Februari IV.
Sementara itu harga BBM non-subsidi yaitu Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertadex naik pada awal Maret 2022.
"Kami melihat pemerintah daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Kalteng, terus memantau dan memastikan ketersediaan bahan bakar gas di masyarakat," kata dia.
Adapun kenaikan harga komoditas utama ekspor di Kalteng, yaitu batu bara dan CPO, akan berdampak positif pada kenaikan pungutan pajak oleh pemerintah yang akan menaikan jumlah dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah pusat kepada daerah penghasil.
Data dari Dirjen Perimbangan Keuangan – Kemenkeu, menunjukkan alokasi DBH Sumber Daya Alam Minerba untuk Kalteng naik sekitar 15 persen dari Rp802 miliar pada 2021 menjadi Rp920 miliar pada 2022.
Kenaikan harga minyak bumi dan gas akibat kondisi geopolitik, sebenarnya tidak berdampak langsung terhadap kenaikan harga komoditas dimaksud. Sepanjang, tidak ada kebijakan dari pemerintah untuk menaikan harga," kata Yura.
Baca juga: BI Kalteng: Pelonggaran tes PCR beri efek positif ke sejumlah sektor
Baca juga: Bantu UMKM, Kalteng harus dukung Gernas Bangga Buatan Indonesia
"Porsi konsumsi masyarakat terhadap jenis bahan bakar tersebut relatif kecil dibandingkan komoditas lainnya," kata Yura di Palangka Raya, kemarin.
Dikatakan, harga gas non-subsidi telah dua kali dinaikkan Pertamina, yakni pada Desember 2021 dan akhir Februari 2022. Hal ini menjadikan komoditas bahan bakar rumah tangga termasuk 5 (lima) besar komoditas penyumbang inflasi pada bulan Januari dan Februari 2022.
Pria yang akrab disapa Yura itu mengatakan, hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) mingguan BI Kalteng menunjukan rata-rata harga gas LPG ukuran 12 kilogram di Palangka Raya naik menjadi sebesar Rp195 ribu pada Maret I dari Rp175 ribu pada Februari IV.
Sementara itu harga BBM non-subsidi yaitu Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertadex naik pada awal Maret 2022.
"Kami melihat pemerintah daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Kalteng, terus memantau dan memastikan ketersediaan bahan bakar gas di masyarakat," kata dia.
Adapun kenaikan harga komoditas utama ekspor di Kalteng, yaitu batu bara dan CPO, akan berdampak positif pada kenaikan pungutan pajak oleh pemerintah yang akan menaikan jumlah dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah pusat kepada daerah penghasil.
Data dari Dirjen Perimbangan Keuangan – Kemenkeu, menunjukkan alokasi DBH Sumber Daya Alam Minerba untuk Kalteng naik sekitar 15 persen dari Rp802 miliar pada 2021 menjadi Rp920 miliar pada 2022.
Kenaikan harga minyak bumi dan gas akibat kondisi geopolitik, sebenarnya tidak berdampak langsung terhadap kenaikan harga komoditas dimaksud. Sepanjang, tidak ada kebijakan dari pemerintah untuk menaikan harga," kata Yura.
Baca juga: BI Kalteng: Pelonggaran tes PCR beri efek positif ke sejumlah sektor
Baca juga: Bantu UMKM, Kalteng harus dukung Gernas Bangga Buatan Indonesia