Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menilai langkah Bareskrim Polri menyita sejumlah aset senilai Rp2 triliun dalam kasus dugaan penipuan investasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya sudah tepat.

"Menurut saya, tindakan polisi telah tepat. Urgensi sita tersebut adalah untuk kepentingan pembuktian oleh penyidik," kata Aan dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

Pada Kamis (21/4), Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri kembali menyita aset tersangka kasus dugaan penipuan KSP Indosurya, yakni properti dua lantai di Sudirman Suites Apartment senilai Rp160 miliar. Dengan demikian, hingga kini, total aset yang disita dalam kasus tersebut mencapai Rp2 triliun.

Penyidik Bareskrim memerlukan aset para tersangka tersebut untuk kepentingan pembuktian. Setelah penyidikan selesai, aset-aset itu bisa dikembalikan kepada para nasabah.

Menurut Aan, penyitaan tersebut juga untuk mencegah tiga petinggi KSP Indosurya yang menjadi tersangka menyamarkan aset-aset tersebut.

"Penegak hukum harus cepat menuntaskan sehingga barang bukti bisa segera dikembalikan kepada yang berhak atau nasabah," katanya.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat serupa, dengan menilai langkah Bareskrim tersebut merupakan upaya mencegah para tersangka menyamarkan aset-aset litu. Selain itu, penyitaan tersebut juga merupakan upaya untuk menyelamatkan barang bukti, tambahnya.

Fickar juga mendorong Polri mengusut tuntas kasus yang merugikan para nasabah KSP Indosurya.

"Totalitas menjalani tugas dan kewenangan itu dengan konsekuen dan konsisten," katanya.

Dalam kasus dugaan penipuan, penggelapan, dan pencucian uang di KSP Indosurya tersebut, Bareskrim Polri menetapkan tiga petinggi KSP Indosurya Cita sebagai tersangka, yakni Direktur Operasional Suwito Ayub (SA), Ketua Henry Surya (HS), dan Direktur Keuangan June Indria (JI).

Dari ketiga tersangka tersebut, Polri telah menahan Henry Surya dan June Indria, sedangkan Suwita Ayub masih buron dan namanya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Kasus itu berawal dari penghimpunan dana yang diduga ilegal dengan menggunakan badan hukum KSP Indosurya Inti/Cipta sejak November 2012 hingga Februari 2020.

Tersangka Henry Surya diduga menghimpun dana dalam bentuk simpanan berjangka, dengan memberikan bunga 8 hingga 11 persen. Kegiatan yang berakibat gagal bayar itu dilakukan di seluruh wilayah Indonesia tanpa dilandasi izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Henry Surya, yang menjabat sebagai Ketua KSP Indosurya Inti/Cipta memerintahkan dua tersangka lainnya, yakni JI dan Suwito Ayub, untuk menghimpun dana masyarakat menggunakan badan hukum Kospin Indosurya Inti/Cipta.

Atas perbuatan tersebut, Suwito Ayub, Henry Surya, dan June Indria diduga melakukan tindak pidana perbankan dan/atau tindak pidana penggelapan dan/atau tindak pidana penipuan/perbuatan curang dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Ketiganya disangka melanggar Pasal 46 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan/atau Pasal 372 KUHP dan/atau Pasal 378 KUHP dan Pasal 3 dan/atau Pasal 4. Selanjutnya, Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Bareskrim Polri juga telah melakukan gelar perkara pada pertengahan April 2022, yang menyimpulkan proses penyidikan telah dilakukan sesuai prosedur dan ketentuan.

Pewarta : Putu Indah Savitri
Uploader : Ronny
Copyright © ANTARA 2024