Palangka Raya (ANTARA) - Mantan Kepala PT Pertani Cabang Kalimantan Tengah, Hubertus Talajan (56) ditangkap Unit Tindak Pidana Korupsi (tipikor) Polresta Palangka Raya, diduga melakukan korupsi penjualan beras hingga sebesar Rp1,2 miliar.
Wakapolresta Palangka Raya AKBP Andiyatna saat jumpa pers di Mapolresta, Senin, mengatakan, dugaan korupsi yang dilakukan pelaku dan kini sudah ditetapkan sebagai tersangka itu, terkait dugaan penjualan beras dari PT Pertani Cabang Kalimantan Tengah kepada Koperasi Sunan Manyuru yang berada di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
"Dugaan tipikor tersebut terjadi sejak 2016-2017. PT Pertani merupakan BUMN dan semua permodalan menggunakan keuangan negara," katanya.
Dia menjelaskan, modus operandi yang dilancarkan oleh tersangka yakni meminta dan menawarkan untuk melakukan jual-beli beras ke Koperasi Sunan Manyuru.
Selanjutnya, jual-beli beras tersebut berjalan sesuai dengan permintaan dari tersangka kepada koperasi tersebut.
"Dari dugaan tipikor itu kami juga sudah melakukan pemeriksaan 16 orang saksi, 12 orang dari PT Pertani, satu saksi ahli keuangan negara, satu saksi sebagai audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menentukan seberapa besar kerugian negara," katanya.
Perwira berpangkat melati dua itu mengungkapkan, dalam proses jual-beli beras tersebut, tersangka melakukan perjanjian dalam penjualan beras, namun nyatanya tidak sesuai dengan prosedur.
Tersangka melakukan penjualan lebih dari empat kali dengan sekali transaksi lebih dari 20 ton.
"Tetapi hasil dari penjualan tersebut tidak pernah disetorkan ke kas negara. Kemudian ada 98 dokumen yang berhasil kami sita terkait kasus tersebut," bebernya.
Dalam perkara dugaan tipikor itu, negara mengalami kerugian sebesar Rp1,2 miliar . Berdasarkan hasil pemeriksaan, yang bersangkutan berani melakukan perbuatannya hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Tersangka yang sudah mendekam di Rumah Tahanan Mapolresta Palangka Raya juga dikenakan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021.
"Terkait hukuman kurungan penjaranya minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun. Untuk denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar," demikian Andiyatna.
Wakapolresta Palangka Raya AKBP Andiyatna saat jumpa pers di Mapolresta, Senin, mengatakan, dugaan korupsi yang dilakukan pelaku dan kini sudah ditetapkan sebagai tersangka itu, terkait dugaan penjualan beras dari PT Pertani Cabang Kalimantan Tengah kepada Koperasi Sunan Manyuru yang berada di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
"Dugaan tipikor tersebut terjadi sejak 2016-2017. PT Pertani merupakan BUMN dan semua permodalan menggunakan keuangan negara," katanya.
Dia menjelaskan, modus operandi yang dilancarkan oleh tersangka yakni meminta dan menawarkan untuk melakukan jual-beli beras ke Koperasi Sunan Manyuru.
Selanjutnya, jual-beli beras tersebut berjalan sesuai dengan permintaan dari tersangka kepada koperasi tersebut.
"Dari dugaan tipikor itu kami juga sudah melakukan pemeriksaan 16 orang saksi, 12 orang dari PT Pertani, satu saksi ahli keuangan negara, satu saksi sebagai audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menentukan seberapa besar kerugian negara," katanya.
Perwira berpangkat melati dua itu mengungkapkan, dalam proses jual-beli beras tersebut, tersangka melakukan perjanjian dalam penjualan beras, namun nyatanya tidak sesuai dengan prosedur.
Tersangka melakukan penjualan lebih dari empat kali dengan sekali transaksi lebih dari 20 ton.
"Tetapi hasil dari penjualan tersebut tidak pernah disetorkan ke kas negara. Kemudian ada 98 dokumen yang berhasil kami sita terkait kasus tersebut," bebernya.
Dalam perkara dugaan tipikor itu, negara mengalami kerugian sebesar Rp1,2 miliar . Berdasarkan hasil pemeriksaan, yang bersangkutan berani melakukan perbuatannya hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Tersangka yang sudah mendekam di Rumah Tahanan Mapolresta Palangka Raya juga dikenakan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021.
"Terkait hukuman kurungan penjaranya minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun. Untuk denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar," demikian Andiyatna.