Jakarta (ANTARA) - Pengamat militer Anton Aliabbas berpendapat perlu ada aturan atau mekanisme yang terperinci soal penempatan prajurit TNI aktif di kementerian/lembaga terkait rencana revisi UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Secara umum, ide revisi UU TNI perihal ruang jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif memang sudah lama digaungkan," kata Anton, di Jakarta, Selasa.
Hal itu mengingat ada jabatan yang memang dapat disandang prajurit aktif di luar yang diatur dalam pasal 47 UU TNI seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kantor Staf Presiden (KSP), Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pasal 47 ayat 2 UU TNI sudah mengunci hanya 10 pos yang dapat ditempati prajurit aktif yakni Kemenko Polhukam, Kemhan, Sekretaris Militer Presiden, BIN, BSSN, Lemhannas, Wantannas, Basarnas, BNN dan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, ide revisi pasal tersebut memang dapat diterima.
"Akan tetapi, tentunya revisi tersebut tidak menjadi ruang terbuka bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan fungsi pokok TNI. Untuk itu, pengaturan ruang jabatan dan mekanisme yang rinci dibutuhkan. Hal ini menjadi penting agar kekhawatiran bahwa tuduhan kembalinya dwifungsi TNI dapat dihindari," kata Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) ini.
Anton mengingatkan perluasan penugasan prajurit untuk tugas sipil dalam jangka panjang akan dapat mempengaruhi profesionalisme TNI itu sendiri, mengingat tugas dan fungsi pokok militer sudah jelas.
Selain itu, pengaturan rinci dibutuhkan agar perluasan tugas militer tidak mengganggu tata kelola karier ASN sipil.
"Sebenarnya PP No 17/2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sudah mengatur tentang peluang perwira TNI untuk menduduki jabatan sipil, selain dari 10 pos tersebut. Namun, sebelum diangkat untuk jabatan tersebut, status militer aktif harus dilepas. Itu pun juga harus sudah mengikuti serangkaian proses seleksi jabatan secara terbuka," kata Anton.
Anton menyebutkan, TNI memang memiliki masalah terkait banyaknya perwira dengan kepangkatan tertentu yang menganggur (non job) adalah fenomena yang harus dibenahi.
"Namun, memperluas ruang jabatan militer pada pos sipil hanyalah akan menciptakan masalah baru. Tidak hanya mengganggu pola karier ASN sipil tetapi juga berpotensi untuk menimbulkan kecemburuan di internal institusi militer," paparnya.
Menurut dia, perbaikan program pemisahan dan penyaluran (sahlur) dalam tata kelola karier prajurit menjadi sebuah kebutuhan mendesak.
Kemhan bersama Mabes TNI dan tiga matra lainnya hendaknya duduk bersama membahas secara serius dan komprehensif penataan program sahlur.
"Sudah semestinya fenomena prajurit non job tidak lagi diatasi dengan penambahan ruang jabatan baru. Sebab, langkah ini hanya akan membuat birokrasi militer menjadi gemuk dan karir militer tidak jelas. Konsekuensinya tentu saja adalah peningkatan beban anggaran institusi, yang semestinya bisa dialokasikan untuk penambahan kesejahteraan prajurit atau alutsista baru," demikian Anton Aliabbas.
Rencana TNI bisa aktif kembali di kementerian maupun lembaga Indonesia kembali muncul setelah Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan ingin ada revisi Undang-Undang 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Luhut berharap agar UU TNI direvisi, terutama soal penempatan TNI di kementerian maupun lembaga demi mencegah kemunculan pejabat tinggi yang berlebihan di tubuh TNI AD.
"Secara umum, ide revisi UU TNI perihal ruang jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif memang sudah lama digaungkan," kata Anton, di Jakarta, Selasa.
Hal itu mengingat ada jabatan yang memang dapat disandang prajurit aktif di luar yang diatur dalam pasal 47 UU TNI seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kantor Staf Presiden (KSP), Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pasal 47 ayat 2 UU TNI sudah mengunci hanya 10 pos yang dapat ditempati prajurit aktif yakni Kemenko Polhukam, Kemhan, Sekretaris Militer Presiden, BIN, BSSN, Lemhannas, Wantannas, Basarnas, BNN dan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, ide revisi pasal tersebut memang dapat diterima.
"Akan tetapi, tentunya revisi tersebut tidak menjadi ruang terbuka bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan fungsi pokok TNI. Untuk itu, pengaturan ruang jabatan dan mekanisme yang rinci dibutuhkan. Hal ini menjadi penting agar kekhawatiran bahwa tuduhan kembalinya dwifungsi TNI dapat dihindari," kata Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) ini.
Anton mengingatkan perluasan penugasan prajurit untuk tugas sipil dalam jangka panjang akan dapat mempengaruhi profesionalisme TNI itu sendiri, mengingat tugas dan fungsi pokok militer sudah jelas.
Selain itu, pengaturan rinci dibutuhkan agar perluasan tugas militer tidak mengganggu tata kelola karier ASN sipil.
"Sebenarnya PP No 17/2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sudah mengatur tentang peluang perwira TNI untuk menduduki jabatan sipil, selain dari 10 pos tersebut. Namun, sebelum diangkat untuk jabatan tersebut, status militer aktif harus dilepas. Itu pun juga harus sudah mengikuti serangkaian proses seleksi jabatan secara terbuka," kata Anton.
Anton menyebutkan, TNI memang memiliki masalah terkait banyaknya perwira dengan kepangkatan tertentu yang menganggur (non job) adalah fenomena yang harus dibenahi.
"Namun, memperluas ruang jabatan militer pada pos sipil hanyalah akan menciptakan masalah baru. Tidak hanya mengganggu pola karier ASN sipil tetapi juga berpotensi untuk menimbulkan kecemburuan di internal institusi militer," paparnya.
Menurut dia, perbaikan program pemisahan dan penyaluran (sahlur) dalam tata kelola karier prajurit menjadi sebuah kebutuhan mendesak.
Kemhan bersama Mabes TNI dan tiga matra lainnya hendaknya duduk bersama membahas secara serius dan komprehensif penataan program sahlur.
"Sudah semestinya fenomena prajurit non job tidak lagi diatasi dengan penambahan ruang jabatan baru. Sebab, langkah ini hanya akan membuat birokrasi militer menjadi gemuk dan karir militer tidak jelas. Konsekuensinya tentu saja adalah peningkatan beban anggaran institusi, yang semestinya bisa dialokasikan untuk penambahan kesejahteraan prajurit atau alutsista baru," demikian Anton Aliabbas.
Rencana TNI bisa aktif kembali di kementerian maupun lembaga Indonesia kembali muncul setelah Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan ingin ada revisi Undang-Undang 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Luhut berharap agar UU TNI direvisi, terutama soal penempatan TNI di kementerian maupun lembaga demi mencegah kemunculan pejabat tinggi yang berlebihan di tubuh TNI AD.