Pontianak (ANTARA) - Konsul Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Kuching, Raden Sigit Witjaksono, menyatakan saat ini Pemerintah Sarawak, Malaysia, masih membutuhkan sekitar 20 ribu Pekerja Migran Indonesia (PMI) untuk bekerja di bidang perusahaan perkebunan kelapa sawit dan konstruksi.
“Kebutuhannya memang besar karena di sini jumlah perusahaan-perusahaan besar juga banyak, baik di perkebunan kelapa sawit maupun konstruksi. Kondisi riil saat ini mereka kekurangan separuhnya tenaga kerja, terutama dari PMI kita di Sarawak ini,” kata Raden Sigit Witjaksono saat dihubungi di Kuching, Sabtu.
Dia mengatakan akibat kekurangan tenaga kerja itu perusahaan-perusahaan yang ada di Sarawak mengalami penurunan produksi.
“Itu terjadi saat sebelum pandemi COVID-19 dan saat menuju endemi mereka mengharapkan sekali proses pemulihan dengan masuknya tenaga kerja Indonesia," katanya.
Setelah mengecek sistem aplikasi daring yaitu one canal system KJRI Kuching untuk masuknya para pekerja Indonesia ke Sarawak, ia mengatakan PMI yang sedang diproses sekitar 1.600 orang. Sementara itu tenaga PMI yang sudah ada di Sarawak sekitar 70 ribu orang. Dari 70 ribu ini, lebih dari setengahnya merupakan PMI yang bekerja di perusahaan perkebunan sawit dan konstruksi.
“Namun tantangan yang kami hadapi adalah ada juga pekerja Indonesia yang tidak memiliki dokumen resmi (ilegal). Itu artinya mereka-mereka yang ilegal ini pastinya tidak terdata di database di KJRI Kuching. Mudah-mudahan dengan ada perbaikan system kami bisa mengupayakan dari hulu ke hilir dalam rangka optimal untuk melakukan perlindungan terhadap para PMI,” ujarnya.
Sementara itu Senior Manager Sarawak Oil Palms Berhad, Lau Shi Wen dari salah satu perusahaan besar kepala sawit yang ada di Miri, Sarawak, Malaysia, membenarkan bahwa hingga saat ini beberapa perusahaan yang ada di Sarawak memang masih banyak membutuhkan tenaga kerja, khususnya dari Indonesia.
Dia mengatakan hingga saat ini PMI yang bekerja di grup perusahaannya sebanyak 10 ribu orang. Jumlah itu masih kurang dan masih memerlukan paling sedikitnya sekitar 5.000 orang lagi.
“Sejak pandemi COVID-19 melanda, lebih dari dua grup perusahaan kami tidak mendapatkan lagi tambahan PMI untuk bekerja di perusahaan sawit kami, ini tentu sangat menghambat kemajuan perusahaan kami. Sejak pandemi itu, karyawan kami ada yang pulang tapi tak dapat masuk kembali,” ujar Lau Shi Wen.
Lau berharap dengan adanya perundingan antara Pemerintah Malaysia dan Indonesia terkait perizinan penyaluran dan penempatan PMI, sehingga kekurangan tenaga kerja khususnya dari Indonesia dapat segera teratasi.
“Kami siap menampung hanya untuk para PMI saja, dan ini saya rasa juga untuk perusahaan lain yang ada di Sarawak ini. Karena dari segi bahasa akan lebih mudah untuk berinteraksi dibandingkan dari negara lain. Tapi tentu saja kami menerima mereka-mereka yang memiliki dokumen lengkap agar bisa aman dan nyaman saat bekerja di perusahaan kami,” kata Lau Shi Wen.
“Kebutuhannya memang besar karena di sini jumlah perusahaan-perusahaan besar juga banyak, baik di perkebunan kelapa sawit maupun konstruksi. Kondisi riil saat ini mereka kekurangan separuhnya tenaga kerja, terutama dari PMI kita di Sarawak ini,” kata Raden Sigit Witjaksono saat dihubungi di Kuching, Sabtu.
Dia mengatakan akibat kekurangan tenaga kerja itu perusahaan-perusahaan yang ada di Sarawak mengalami penurunan produksi.
“Itu terjadi saat sebelum pandemi COVID-19 dan saat menuju endemi mereka mengharapkan sekali proses pemulihan dengan masuknya tenaga kerja Indonesia," katanya.
Setelah mengecek sistem aplikasi daring yaitu one canal system KJRI Kuching untuk masuknya para pekerja Indonesia ke Sarawak, ia mengatakan PMI yang sedang diproses sekitar 1.600 orang. Sementara itu tenaga PMI yang sudah ada di Sarawak sekitar 70 ribu orang. Dari 70 ribu ini, lebih dari setengahnya merupakan PMI yang bekerja di perusahaan perkebunan sawit dan konstruksi.
“Namun tantangan yang kami hadapi adalah ada juga pekerja Indonesia yang tidak memiliki dokumen resmi (ilegal). Itu artinya mereka-mereka yang ilegal ini pastinya tidak terdata di database di KJRI Kuching. Mudah-mudahan dengan ada perbaikan system kami bisa mengupayakan dari hulu ke hilir dalam rangka optimal untuk melakukan perlindungan terhadap para PMI,” ujarnya.
Sementara itu Senior Manager Sarawak Oil Palms Berhad, Lau Shi Wen dari salah satu perusahaan besar kepala sawit yang ada di Miri, Sarawak, Malaysia, membenarkan bahwa hingga saat ini beberapa perusahaan yang ada di Sarawak memang masih banyak membutuhkan tenaga kerja, khususnya dari Indonesia.
Dia mengatakan hingga saat ini PMI yang bekerja di grup perusahaannya sebanyak 10 ribu orang. Jumlah itu masih kurang dan masih memerlukan paling sedikitnya sekitar 5.000 orang lagi.
“Sejak pandemi COVID-19 melanda, lebih dari dua grup perusahaan kami tidak mendapatkan lagi tambahan PMI untuk bekerja di perusahaan sawit kami, ini tentu sangat menghambat kemajuan perusahaan kami. Sejak pandemi itu, karyawan kami ada yang pulang tapi tak dapat masuk kembali,” ujar Lau Shi Wen.
Lau berharap dengan adanya perundingan antara Pemerintah Malaysia dan Indonesia terkait perizinan penyaluran dan penempatan PMI, sehingga kekurangan tenaga kerja khususnya dari Indonesia dapat segera teratasi.
“Kami siap menampung hanya untuk para PMI saja, dan ini saya rasa juga untuk perusahaan lain yang ada di Sarawak ini. Karena dari segi bahasa akan lebih mudah untuk berinteraksi dibandingkan dari negara lain. Tapi tentu saja kami menerima mereka-mereka yang memiliki dokumen lengkap agar bisa aman dan nyaman saat bekerja di perusahaan kami,” kata Lau Shi Wen.