Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo disebut meminta pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 yang ditujukan untuk kendaraan VIP/VVIP dibatalkan karena kondisi ekonomi sedang tidak normal.
"Presiden pada 3 Desember 2015 bertempat di Kantor Presiden Jakarta dilakukan Rapat Terbatas tentang Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia. Presiden memberikan beberapa arahan di antaranya, pada kondisi ekonomi yang tidak normal seperti saat ini maka pembelian Helikopter AgustaWestland jangan dibeli dahulu," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Arief Suhermanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Hal tersebut terungkap dalam pembacaan dakwaan untuk terdakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia yang didakwa melakukan korupsi pengadaan helikopter AW 101 untuk kendaraan VIP/VVIP Presiden yang merugikan keuangan negara sebesar Rp738,9 miliar.
Menurut jaksa KPK, dalam Risalah Terbatas Nomor R/269/Seskab/DKK/12/2015 tanggal 14 Desember 2015, Presiden Jokowi meminta agar terkait pengadaan helikopter AW 101 agar dikalkulasi dan hitung dengan benar sekali lagi kelayakan TNI membeli Helikopter AgustaWestland.
"Dan pembelian Helikopter AgustaWestland agar dilakukan dengan kerangka kerja sama 'Government to Government'," tambah jaksa.
Untuk menindaklanjuti hasil rapat terbatas tersebut maka pada 7 Desember 2015 terkait pengadaan Helikopter VVIP RI-1 diblokir (diberi tanda bintang/*) sehingga anggaran Rp742,5 miliar yang masuk di lembar catatan ke IV tidak dapat dicairkan.
Irfan Kurnia diketahui memesan 1 unit Helikopter VVIP AW-101 kepada Perusahaan AgustaWestland, dan pada 15 Oktober 2015 ia membayar uang tanda jadi (booking fee) sebesar 1 juta dolar AS atau Rp13.318.535.000 atas nama PT Diratama Jaya Mandiri kepada AgustaWestland, padahal saat itu belum ada pengadaan Helikopter VVIP di lingkungan TNI AU.
Helikopter itu sendiri sesungguhnya adalah helikopter AW-101 Nomor Seri Produksi (MSN) 50248 yang selesai diproduksi pada 2012 dengan konfigurasi VVIP yang merupakan pesanan Angkatan Udara India.
Irfan juga menyiapkan 2 perusahaan untuk dijadikan peserta lelang yaitu PT Diratama Jaya Mandiri sebagai perusahaan pemenang dan PT Karsa Cipta Gemilang sebagai perusahaan pendamping.
Pada 18 Juli 2016 PT Diratama Jaya Mandiri ditetapkan sebagai pemenang pengadaan Helikopter Angkut AW 101 senilai Rp738,9 miliar.
Dari pembayaran tahap 1 yaitu senilai Rp436.689.900.000 pada 5 September 2016, sebesar 4 persen yaitu Rp17,733 miliar dipergunakan sebagai Dana Komando (DAKO/DK) untuk Agus Supriatna.
Atas perbuatannya tersebut, Irfan Kurnia mendapatkan keuntungan senilai Rp183.207.870.911,13.
JPU KPK mendakwakan pasal pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Presiden pada 3 Desember 2015 bertempat di Kantor Presiden Jakarta dilakukan Rapat Terbatas tentang Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia. Presiden memberikan beberapa arahan di antaranya, pada kondisi ekonomi yang tidak normal seperti saat ini maka pembelian Helikopter AgustaWestland jangan dibeli dahulu," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Arief Suhermanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Hal tersebut terungkap dalam pembacaan dakwaan untuk terdakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia yang didakwa melakukan korupsi pengadaan helikopter AW 101 untuk kendaraan VIP/VVIP Presiden yang merugikan keuangan negara sebesar Rp738,9 miliar.
Menurut jaksa KPK, dalam Risalah Terbatas Nomor R/269/Seskab/DKK/12/2015 tanggal 14 Desember 2015, Presiden Jokowi meminta agar terkait pengadaan helikopter AW 101 agar dikalkulasi dan hitung dengan benar sekali lagi kelayakan TNI membeli Helikopter AgustaWestland.
"Dan pembelian Helikopter AgustaWestland agar dilakukan dengan kerangka kerja sama 'Government to Government'," tambah jaksa.
Untuk menindaklanjuti hasil rapat terbatas tersebut maka pada 7 Desember 2015 terkait pengadaan Helikopter VVIP RI-1 diblokir (diberi tanda bintang/*) sehingga anggaran Rp742,5 miliar yang masuk di lembar catatan ke IV tidak dapat dicairkan.
Irfan Kurnia diketahui memesan 1 unit Helikopter VVIP AW-101 kepada Perusahaan AgustaWestland, dan pada 15 Oktober 2015 ia membayar uang tanda jadi (booking fee) sebesar 1 juta dolar AS atau Rp13.318.535.000 atas nama PT Diratama Jaya Mandiri kepada AgustaWestland, padahal saat itu belum ada pengadaan Helikopter VVIP di lingkungan TNI AU.
Helikopter itu sendiri sesungguhnya adalah helikopter AW-101 Nomor Seri Produksi (MSN) 50248 yang selesai diproduksi pada 2012 dengan konfigurasi VVIP yang merupakan pesanan Angkatan Udara India.
Irfan juga menyiapkan 2 perusahaan untuk dijadikan peserta lelang yaitu PT Diratama Jaya Mandiri sebagai perusahaan pemenang dan PT Karsa Cipta Gemilang sebagai perusahaan pendamping.
Pada 18 Juli 2016 PT Diratama Jaya Mandiri ditetapkan sebagai pemenang pengadaan Helikopter Angkut AW 101 senilai Rp738,9 miliar.
Dari pembayaran tahap 1 yaitu senilai Rp436.689.900.000 pada 5 September 2016, sebesar 4 persen yaitu Rp17,733 miliar dipergunakan sebagai Dana Komando (DAKO/DK) untuk Agus Supriatna.
Atas perbuatannya tersebut, Irfan Kurnia mendapatkan keuntungan senilai Rp183.207.870.911,13.
JPU KPK mendakwakan pasal pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.