Tanjungpinang (ANTARA) - Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Asintel Kejati Kepri) Lambok Sidabutar mengungkapkan sejumlah modus korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) supaya menjadi perhatian bagi aparatur yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan dana tersebut.
"Titik celah korupsi dana BOS itu ada tiga, yakni dari proses pencairan, proses pengelolaan data, dan proses pelaporan atau pertanggungjawaban yang berpotensi melahirkan laporan fiktif," kata Lambok, di Tanjungpinang, Kamis.
Lambok menjelaskan modus korupsi dana BOS, antara lain sekolah menyetorkan sejumlah uang kepada pengelola dana BOS di Dinas Pendidikan (Disdik) untuk mempercepat proses pencairan dana tersebut.
Kemudian dana BOS diselewengkan dalam bentuk pengadaan barang dan jasa, serta pengelolaan dana BOS yang tidak sesuai dengan petunjuk teknis, hingga sekolah tidak melibatkan komite sekolah dan dewan pendidikan.
Selanjutnya, dana BOS hanya dikelola oleh kepala sekolah dan bendahara sekolah, hingga dikelola secara tidak transparan. Pihak sekolah atau kepala sekolah selalu berdalih dana BOS kurang, padahal sebagian digunakan untuk kepentingan pribadi.
Ada juga modus mark up atau penggelembungan dana pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Membuat laporan palsu, misalnya pembelian alat prasarana sekolah dengan kuitansi palsu atau pengadaan alat fiktif.
"Bahkan ada pula kepala sekolah yang menggunakan dana BOS untuk kepentingan pribadi," ujar Lambok.
Lambok mengutarakan dana BOS adalah program yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk membantu sekolah-sekolah di Indonesia, agar dapat melaksanakan kegiatan belajar yang lebih baik bagi siswa.
Ia menyampaikan bahwa pencairan dana BOS dibagi ke dalam dua jenis, yakni dana BOS reguler dan dana BOS kinerja.
Dana BOS reguler adalah dana BOS yang dialokasikan untuk membantu kebutuhan belanja operasional seluruh peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah.
Sedangkan, dana BOS kinerja adalah dana yang dialokasikan bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang dinilai berkinerja baik sebagai sekolah berprestasi dan sekolah yang ditetapkan sebagai pelaksana program sekolah penggerak.
Menurutnya, untuk tahun 2021 total alokasi dana BOS di seluruh Indonesia mencapai Rp52,5 triliun untuk 216.662 sekolah penerima.
"Jumlah sebesar itu yang rawan menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi, baik dari faktor internal maupun eksternal," katanya lagi.
Lebih lanjut Asintel Kejati Kepri mengajak semua pihak untuk turut aktif memberantas korupsi khususnya di lingkungan sekolah, di mana peran serta masyarakat masuk ke dalam strategi pemberantasan korupsi.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Strategi Pemberantasan Korupsi Dapat Berupa Pencegahan, Penindakan, dan Peran Serta Masyarakat yang diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2000.
"Pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas TPK melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan-penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat," demikian Lambok.
"Titik celah korupsi dana BOS itu ada tiga, yakni dari proses pencairan, proses pengelolaan data, dan proses pelaporan atau pertanggungjawaban yang berpotensi melahirkan laporan fiktif," kata Lambok, di Tanjungpinang, Kamis.
Lambok menjelaskan modus korupsi dana BOS, antara lain sekolah menyetorkan sejumlah uang kepada pengelola dana BOS di Dinas Pendidikan (Disdik) untuk mempercepat proses pencairan dana tersebut.
Kemudian dana BOS diselewengkan dalam bentuk pengadaan barang dan jasa, serta pengelolaan dana BOS yang tidak sesuai dengan petunjuk teknis, hingga sekolah tidak melibatkan komite sekolah dan dewan pendidikan.
Selanjutnya, dana BOS hanya dikelola oleh kepala sekolah dan bendahara sekolah, hingga dikelola secara tidak transparan. Pihak sekolah atau kepala sekolah selalu berdalih dana BOS kurang, padahal sebagian digunakan untuk kepentingan pribadi.
Ada juga modus mark up atau penggelembungan dana pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Membuat laporan palsu, misalnya pembelian alat prasarana sekolah dengan kuitansi palsu atau pengadaan alat fiktif.
"Bahkan ada pula kepala sekolah yang menggunakan dana BOS untuk kepentingan pribadi," ujar Lambok.
Lambok mengutarakan dana BOS adalah program yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk membantu sekolah-sekolah di Indonesia, agar dapat melaksanakan kegiatan belajar yang lebih baik bagi siswa.
Ia menyampaikan bahwa pencairan dana BOS dibagi ke dalam dua jenis, yakni dana BOS reguler dan dana BOS kinerja.
Dana BOS reguler adalah dana BOS yang dialokasikan untuk membantu kebutuhan belanja operasional seluruh peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah.
Sedangkan, dana BOS kinerja adalah dana yang dialokasikan bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang dinilai berkinerja baik sebagai sekolah berprestasi dan sekolah yang ditetapkan sebagai pelaksana program sekolah penggerak.
Menurutnya, untuk tahun 2021 total alokasi dana BOS di seluruh Indonesia mencapai Rp52,5 triliun untuk 216.662 sekolah penerima.
"Jumlah sebesar itu yang rawan menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi, baik dari faktor internal maupun eksternal," katanya lagi.
Lebih lanjut Asintel Kejati Kepri mengajak semua pihak untuk turut aktif memberantas korupsi khususnya di lingkungan sekolah, di mana peran serta masyarakat masuk ke dalam strategi pemberantasan korupsi.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Strategi Pemberantasan Korupsi Dapat Berupa Pencegahan, Penindakan, dan Peran Serta Masyarakat yang diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2000.
"Pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas TPK melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan-penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat," demikian Lambok.