Jakarta (ANTARA) - Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyampaikan bahwa pemerintah mengusulkan tujuh perubahan materi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Penyusunan Rancangan Perubahan Kedua Undang-Undang ITE diperlukan untuk meningkatkan penataan dan pengaturan informasi dan transaksi elektronik. Pemerintah mengusulkan tujuh perubahan materi muatan Undang-Undang ITE," ujar Johnny dalam Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Pemerintah di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin.
Johnny menuturkan, usulan pertama mengenai perubahan terhadap ketentuan Ayat 1, Ayat 3, dan Ayat 4 Pasal 27 mengenai kesusilaan, penghinaan serta pencemaran nama baik, dan pemerasan serta pengancaman dengan merujuk ketentuan KUHP.
Usulan kedua mengenai perubahan ketentuan Pasal 28 sehingga hanya mengatur ketentuan mengenai berita bohong atau informasi menyesatkan yang menyebabkan kerugian materiil konsumen.
Usulan ketiga mengenai penambahan ketentuan Pasal 28A di antara Pasal 28 dan Pasal 29 mengenai ketentuan SARA dan pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
"Keempat, penambahan ketentuan penjelasan Pasal 29 mengenai perundungan atau cyberbullying," kata Johnny.
Usulan kelima tentang perubahan ketentuan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Usulan keenam tentang perubahan ketentuan Pasal 45 terkait ancaman pidana penjara dan denda serta menambah pengaturan mengenai pengecualian pengenaan ketentuan pidana atas pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 27 Ayat 1.
Usulan ketujuh mengenai perubahan ketentuan Pasal 45A terkait pidana atas pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
Lebih lanjut Johnny mengatakan, selain perubahan pasal Undang-Undang ITE tersebut, dalam Pasal 622 Ayat 1 huruf R Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terdapat ketentuan dalam Undang-Undang ITE yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pertama, ketentuan Pasal 27 Ayat 1 mengenai kesusilaan dan Ayat 3 mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Kedua, ketentuan Pasal 28 Ayat 2 mengenai ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Ketiga, ketentuan Pasal 30 mengenai akses ilegal. Keempat, ketentuan Pasal 31 mengenai intersepsi atau penyadapan. Kelima, ketentuan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Keenam, ketentuan Pasal 45 Ayat 1 ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 terkait kesusilaan dan Ayat 3 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 27 Ayat 3 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik.
Ketujuh, ketentuan Pasal 45A Ayat 2 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 28 Ayat 2 terkait ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Kedelapan, ketentuan Pasal 46 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 30 terkait akses legal.
Kesembilan, ketentuan Pasal 47 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 31 terkait intersepsi atau penyadapan.
Kesepuluh, ketentuan pasal 51 Ayat 2 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 36 terkait pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Johnny mengatakan, mengingat usulan Rancangan Perubahan Kedua Undang-Undang ITE disampaikan sebelum Undang-Undang KUHP disahkan, perlu dilakukan harmonisasi antara Rancangan Perubahan Kedua Undang-Undang ITE dengan Undang-Undang KUHP untuk melakukan penyesuaian terhadap kesepuluh materi tersebut.
"Demikian penjelasan Pemerintah mengenai RUU Perubahan Kedua Undang-Undang ITE. Kami sampaikan dan siap menindaklanjuti sampai dengan menghasilkan Undang-Undang yang baik," kata Johnny.
Sementara itu, Pimpinan Rapat Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengatakan bahwa pembahasan mengenai Perubahan Kedua UU ITE akan segera dilakukan setelah masa reses.
"Dapat kami sampaikan pembahasan akan segera dilakukan setelah masa reses berlangsung, mudah-mudahan daftar inventarisasi masalah bisa segera kami kirim, untuk kemudian bahan untuk rapat dalam forum sudah bentuk panja (panitia kerja) pembahasan RUU," kata Kharis.
"Penyusunan Rancangan Perubahan Kedua Undang-Undang ITE diperlukan untuk meningkatkan penataan dan pengaturan informasi dan transaksi elektronik. Pemerintah mengusulkan tujuh perubahan materi muatan Undang-Undang ITE," ujar Johnny dalam Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Pemerintah di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin.
Johnny menuturkan, usulan pertama mengenai perubahan terhadap ketentuan Ayat 1, Ayat 3, dan Ayat 4 Pasal 27 mengenai kesusilaan, penghinaan serta pencemaran nama baik, dan pemerasan serta pengancaman dengan merujuk ketentuan KUHP.
Usulan kedua mengenai perubahan ketentuan Pasal 28 sehingga hanya mengatur ketentuan mengenai berita bohong atau informasi menyesatkan yang menyebabkan kerugian materiil konsumen.
Usulan ketiga mengenai penambahan ketentuan Pasal 28A di antara Pasal 28 dan Pasal 29 mengenai ketentuan SARA dan pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
"Keempat, penambahan ketentuan penjelasan Pasal 29 mengenai perundungan atau cyberbullying," kata Johnny.
Usulan kelima tentang perubahan ketentuan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Usulan keenam tentang perubahan ketentuan Pasal 45 terkait ancaman pidana penjara dan denda serta menambah pengaturan mengenai pengecualian pengenaan ketentuan pidana atas pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 27 Ayat 1.
Usulan ketujuh mengenai perubahan ketentuan Pasal 45A terkait pidana atas pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
Lebih lanjut Johnny mengatakan, selain perubahan pasal Undang-Undang ITE tersebut, dalam Pasal 622 Ayat 1 huruf R Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terdapat ketentuan dalam Undang-Undang ITE yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pertama, ketentuan Pasal 27 Ayat 1 mengenai kesusilaan dan Ayat 3 mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Kedua, ketentuan Pasal 28 Ayat 2 mengenai ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Ketiga, ketentuan Pasal 30 mengenai akses ilegal. Keempat, ketentuan Pasal 31 mengenai intersepsi atau penyadapan. Kelima, ketentuan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Keenam, ketentuan Pasal 45 Ayat 1 ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 terkait kesusilaan dan Ayat 3 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 27 Ayat 3 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik.
Ketujuh, ketentuan Pasal 45A Ayat 2 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 28 Ayat 2 terkait ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Kedelapan, ketentuan Pasal 46 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 30 terkait akses legal.
Kesembilan, ketentuan Pasal 47 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 31 terkait intersepsi atau penyadapan.
Kesepuluh, ketentuan pasal 51 Ayat 2 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 36 terkait pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Johnny mengatakan, mengingat usulan Rancangan Perubahan Kedua Undang-Undang ITE disampaikan sebelum Undang-Undang KUHP disahkan, perlu dilakukan harmonisasi antara Rancangan Perubahan Kedua Undang-Undang ITE dengan Undang-Undang KUHP untuk melakukan penyesuaian terhadap kesepuluh materi tersebut.
"Demikian penjelasan Pemerintah mengenai RUU Perubahan Kedua Undang-Undang ITE. Kami sampaikan dan siap menindaklanjuti sampai dengan menghasilkan Undang-Undang yang baik," kata Johnny.
Sementara itu, Pimpinan Rapat Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengatakan bahwa pembahasan mengenai Perubahan Kedua UU ITE akan segera dilakukan setelah masa reses.
"Dapat kami sampaikan pembahasan akan segera dilakukan setelah masa reses berlangsung, mudah-mudahan daftar inventarisasi masalah bisa segera kami kirim, untuk kemudian bahan untuk rapat dalam forum sudah bentuk panja (panitia kerja) pembahasan RUU," kata Kharis.