Palangka Raya (ANTARA) - Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit infeksi dari serotipe virus Dengue DENV 1-4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Penularannya tak pandang usia mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dengan tingkat keparahan berbeda. 

Indonesia sebagai negara tropis menjadi lokasi menguntungkan untuk berkembangnya berbagai penyakit yang disebarkan oleh vektor seperti DBD. Sebagaimana kita ketahui bahwa DBD adalah salah satu penyakit tular vektor yang masih menjadi momok meresahkan yang perlu terus diwaspadai dan ditanggulangi dengan baik karena kasus ini punya kemampuan penyebaran dan penularan yang cepat dengan kecenderungan meningkat setiap tahun bahkan sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) terutama di beberapa daerah di Provinsi Kalimantan Tengah.

Bersumber dari Satu Data Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) melaporkan daftar jumlah kasus 10 penyakit terbanyak di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2015 untuk penyakit DBD mencapai 1.509 kasus. Sementara itu, menurut Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan tengah Tahun 2019 melaporkan bahwa kasus DBD di Provinsi Kalimantan Tengah mencapai 1.786 kasus dan mengalami penurunan dibanding dengan kasus DBD di tahun 2018 yang mencapai 2.222 kasus. 

Sementara itu, angka kematian ditahun 2018 mencapai 22 orang sedangkan ditahun 2019 mencapai 44 orang. Penyebab terjadinya kasus DBD ini tidak lepas dari pengaruh kondisi tubuh seperti imunitas, pengaruh kondisi wilayah dimana Kalimantan Tengah termasuk wilayah endemik yang cocok untuk perkembangbiakan nyamuk ditambah dengan pertumbuhan penduduk terutama di daerah perkotaan yang semakin tinggi tentunya akan mempercepat perkembangbiakan dan penyebaran nyamuk, contohnya saja karena jarak rumah yang dekat pada tiap rumah akan memperpendek jarak penyebaran nyamuk. 

Selain itu, pengaruh tingginya curah hujan akan mempengaruhi kelembaban lingkungan sekitar dan mendukung perkembangbiakan nyamuk. 

Beberapa penyebab tersebut juga didukung oleh rendahnya kesadaran masyarakat tentang hidup sehat dan menjaga lingkungan, contohnya peletakkan barang-barang secara sembarangan atau bertumpuk, tidak membersihkan wadah-wadah berisi air maupun membiarkan banyak genangan di sekitar rumah. 


Permasalahan dan Upaya yang Telah Dilakukan

Dari data-data yang sudah disebutkan yaitu jumlah kasus DBD di tahun 2018 dan 2019 menunjukkan bahwa mortalitas cenderung meningkat walaupun kasus semakin menurun. Kematian yang terjadi sebagian besar karena keterlambatan dalam penanganan maupun rujukan dari keluarga ke sarana kesehatan terdekat.

Seharusnya ini dapat menjadi peringatan bagi pemerintah, berbagai lembaga dan masyarakat untuk bersinergi dalam memutus fenomena ini agar kasus maupun jumlah mortalitas akibat DBD tidak semakin meningkat yaitu dengan menjalankan program yang sebenarnya sudah ada hanya saja perlu dimaksimalkan lagi. 

Program yang digalakan oleh pemerintah seperti Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan menjalankan 3M Plus (menguras, menutup penampungan air dan mendaur ulang barang bekas) dan plusnya berupa menghindari gigitan nyamuk contohnya menggunakan kelambu, obat nyamuk bakar, semprot atau repellent lalu terdapat juga program pengendalian penyakit agar tidak meluas menjadi KLB serta pengoptimalan melalui upaya preventif DBD dengan gerakan satu rumah satu jumantik.  

Selain itu, program pengendalian dari dahulu dan masih dijalankan contohnya fogging ataupun penggunaan bubuk abate. 


Evaluasi Program dan Opsi Pengendalian

Program-program yang telah disediakan sebenarnya sudah baik dan efektif terutama dalam pelaksanaan 3M plus yang memberikan hasil signifikan dalam pengendalian, hanya saja yang menjadi masalah adalah implementasinya belum optimal yang disebabkan oleh ketidaktahuaan masyarakat. 

Sementara itu, pengendalian dengan cara fogging maupun penggunaan abate justru berdampak bagi kesehatan baik jangka pendek maupun jangka panjang, menyebabkan pencemaran lingkungan, resistensi pada nyamuk dan berdampak pada serangga bukan sasaran. 

Hal yang dapat dimaksimalkan terlebih dahulu yaitu menggunakan strategi edukasi agar menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan agar risiko tertular DBD dapat dicegah, tidak hanya melalui program penyuluhan atau sosialiasi dari dinas kesehatan atau intansi terkait, namun dibutuhkannya keterlibatan tokoh agama atau masyarakat. Contohnya melalui khotbah atau ceramah dengan menyinggung mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan tubuh agar dapat terhindar dari penyakit DBD. 

Selain itu, gebrakan baru dari pemerintah juga dibutuhkan, misalnya bekerjasama dengan akademisi atau praktisi, stakeholder dan lain-lain dalam membuat program berbasis Bioteknologi memanfaatkan bakteri Wolbachia. Wolbachia adalah bakteri gram negatif intraseluler yang dapat hidup dalam tubuh nyamuk Aedes sp dan mampu melakukan intervensi masa hidup nyamuk kemudian menganggu sistem reproduksi nyamuk hingga menghambat replikasi virus Dengue pada tubuh nyamuk. 

Nyamuk ber-Wolbachia disebar ke lingkungan setelah dikembangbiakan di laboratorium dan diharapkan dapat kawin dengan nyamuk lokal, sehingga nyamuk lokal akan tertular bakteri Wolbachia. Dengan demikian transmisi virus Dengue dapat dikurangi. Di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, cara ini terbukti efektif 77% menekan kasus DBD. 

Selain itu, opsi pengendalian lainnya adalah dengan penyuluhan mengenai gerakan menumbuhkan tanaman aromatik pengusir nyamuk seperti sereh dapur, sereh wangi, nilam, temulawak dan lain-lain serta pemberdayaan masyarakat dalam pembuatan penolak nyamuk maupun biolarvasida dari ekstrak atau essential oil berbahan tanaman sehingga mengurangi hingga menghindari dampak buruk penggunaan bahan kimia yang terkadang kurang bijaksana dalam penggunaannya. 

Dengan beberapa opsi pengendalian tersebut diharapkan dapat menjadi gebrakan preventif baru dan mengurangi kasus DBD di Kalteng.

Penulis: Febirianti Anyuani, salah satu Mahasiswi Universitas Kristen Duta Wacana, Fakultas/Jurusan Bioteknologi/Biologi.

Pewarta : -
Uploader : Ronny
Copyright © ANTARA 2024