Pontianak (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat meminta Kapolri turun tangan menghentikan penambangan emas tanpa izin yang semakin marak terjadi di Sungai Kapuas, Kabupaten Sanggau.
"Kami minta Kapolri untuk turun tangan dalam menyikapi kasus ini," kata Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat, Hendrikus Adam di Pontianak, Senin.
Adam mengungkapkan, aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang terjadi di sepanjang Sungai Kapuas, khususnya di beberapa daerah seperti Desa Inggis, Desa Nanga Biang, Sungai Bemban Desa Lape, hingga Mapai Desa Semerangkai, perlu menjadi perhatian serius.
Dia menyampaikan keprihatinan atas maraknya praktik PETI ini, yang tidak hanya merugikan lingkungan tetapi juga meresahkan warga sekitar.
"Dugaan keterlibatan oknum aparat terkait dengan praktik PETI yang marak terjadi menambah kompleksitas masalah. Misalnya, ada dugaan distribusi uang kepada warga untuk memuluskan praktik pertambangan ilegal di Sungai Kapuas," tuturnya.
Terkait hal tersebut, Walhi Kalbar mendesak Kapolri untuk turun tangan dalam menangani masalah ini.
"Kami berharap Kapolri dapat mengambil langkah-langkah tegas untuk menindak para pelaku PETI ini," kata Adam.
Menurutnya, Praktik PETI tidak hanya merugikan lingkungan dan meresahkan warga, tetapi juga memiliki dampak kesehatan yang serius. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan ilegal dapat mencemari sungai dan mengganggu ekosistem, dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar.
Saat diwawancarai, salah satu pemilik alat tambang emas tradisional mengakui bahwa puluhan telah melakukan aktivitas PETI di sepanjang Sungai Bemban dan sekitarnya. Mereka diminta membayar iuran kepada para koordinator PETI hingga puluhan juta rupiah.
"Pengakuan ini mengindikasikan adanya praktik pungutan liar dan keterlibatan oknum dalam praktik PETI ini," ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Maraknya aktivitas PETI ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi warga yang menggunakan air sungai sebagai kebutuhan sehari-hari.
Walhi Kalbar menegaskan perlunya tindakan yang cepat dan tegas dari pihak berwenang untuk mengatasi masalah ini sebelum kerusakan lingkungan semakin parah dan merugikan masyarakat lebih lanjut.
"Kami minta Kapolri untuk turun tangan dalam menyikapi kasus ini," kata Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat, Hendrikus Adam di Pontianak, Senin.
Adam mengungkapkan, aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang terjadi di sepanjang Sungai Kapuas, khususnya di beberapa daerah seperti Desa Inggis, Desa Nanga Biang, Sungai Bemban Desa Lape, hingga Mapai Desa Semerangkai, perlu menjadi perhatian serius.
Dia menyampaikan keprihatinan atas maraknya praktik PETI ini, yang tidak hanya merugikan lingkungan tetapi juga meresahkan warga sekitar.
"Dugaan keterlibatan oknum aparat terkait dengan praktik PETI yang marak terjadi menambah kompleksitas masalah. Misalnya, ada dugaan distribusi uang kepada warga untuk memuluskan praktik pertambangan ilegal di Sungai Kapuas," tuturnya.
Terkait hal tersebut, Walhi Kalbar mendesak Kapolri untuk turun tangan dalam menangani masalah ini.
"Kami berharap Kapolri dapat mengambil langkah-langkah tegas untuk menindak para pelaku PETI ini," kata Adam.
Menurutnya, Praktik PETI tidak hanya merugikan lingkungan dan meresahkan warga, tetapi juga memiliki dampak kesehatan yang serius. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan ilegal dapat mencemari sungai dan mengganggu ekosistem, dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar.
Saat diwawancarai, salah satu pemilik alat tambang emas tradisional mengakui bahwa puluhan telah melakukan aktivitas PETI di sepanjang Sungai Bemban dan sekitarnya. Mereka diminta membayar iuran kepada para koordinator PETI hingga puluhan juta rupiah.
"Pengakuan ini mengindikasikan adanya praktik pungutan liar dan keterlibatan oknum dalam praktik PETI ini," ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Maraknya aktivitas PETI ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi warga yang menggunakan air sungai sebagai kebutuhan sehari-hari.
Walhi Kalbar menegaskan perlunya tindakan yang cepat dan tegas dari pihak berwenang untuk mengatasi masalah ini sebelum kerusakan lingkungan semakin parah dan merugikan masyarakat lebih lanjut.