Jakarta (ANTARA) - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan liar di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Cabang KPK hari ini menyampaikan permintaan maaf secara langsung dan terbuka di Auditorium Gedung Pusat Edukasi Anti Korupsi KPK.
Permintaan maaf terbuka tersebut adalah tindak lanjut dari putusan etik Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait pelanggaran di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Cabang KPK.
Penjatuhan hukuman etik dilakukan oleh Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa terhadap dua pegawai terkait yakni Sopian Hadi (SH) dan Ristanta (RT).
“Penjatuhan hukuman etik ini sebagai bentuk tindak lanjut KPK mengeksekusi pelanggaran para pegawai sesuai Pasal 4 ayat 2 huruf b perihal Peraturan Dewan Pengawas Nomor 03 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK oleh Dewas,” kata Cahya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Cahya juga menyampaikan rasa keprihatinannya atas pelanggaran tersebut. Dia meminta kejadian seperti ini tidak terulang lagi, dan insan KPK dapat menjaga integritas serta nilai-nilai dasar lainnya dalam IS KPK (Integritas, Sinergi, Keadilan, Profesionalisme, Kepemimpinan).
Permintaan maaf terbuka dibacakan langsung oleh kedua terperiksa. Mereka mengakui telah melakukan pelanggaran etik berupa penyalahgunaan jabatan dan/atau wewenang untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan.
“Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut dan sebagai Insan KPK akan senantiasa bersikap, bertindak, dan/atau berbuat sesuai dengan Kode Etik dan Kode Perilaku. Dengan ini saya memberikan kuasa kepada Sekretaris Jenderal sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian untuk mengunggah rekaman permintaan maaf ini pada media komunikasi internal KPK,” ujar Sopian Hadi dan Ristanta.
Secara paralel, KPK juga memproses penegakan disiplin pegawainya yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Sekretariat Jenderal (Setjen) telah membentuk tim pemeriksa yang terdiri dari unsur Inspektorat KPK, Biro SDM KPK, Biro Umum KPK, dan atasan para pegawai terkait, untuk menindaklanjuti temuan pelanggaran tersebut.
Di samping itu, KPK pun melakukan upaya penindakan atas dugaan tindak pidana korupsinya dengan telah menahan 15 orang tersangka dalam perkara ini.
Untuk diketahui, Dewas KPK menyatakan para terperiksa terbukti melanggar Peraturan Dewas dengan melakukan penyalahgunaan wewenang dalam melakukan tugas jabatan sebagai insan KPK.
"Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan penyalahgunaan jabatan atau kewenangan yang dimiliki, termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai insan komisi, baik dalam pelaksana tugas maupun kepentingan pribadi dan atau golongan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 2 huruf B Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 tahun 2021," ujar Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam sidang kode etik di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan, Rabu (27/3).
Dalam sidang kode etik tersebut, Dewas KPK juga merekomendasikan ketiga pegawai lembaga antirasuah itu dikenakan hukuman disiplin kepegawaian.
"Merekomendasikan kepada pejabat pembina kepegawaian untuk melakukan pemeriksaan guna penjatuhan hukuman disiplin kepada terperiksa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.
Sebelumnya, tim penyidik KPK telah menetapkan Ristanta dan Sopian Hadi bersama 13 orang pegawai KPK lainnya sebagai tersangka dalam perkara pungli di Rutan cabang KPK.
Sebanyak 15 orang pegawai yang berstatus tersangka tersebut kini sedang menjalani penahanan di Rutan Polda Metro Jaya.
Para tersangka diketahui memberikan fasilitas eksklusif berupa percepatan masa isolasi, layanan menggunakan ponsel dan powerbank, hingga informasi sidak..
Besaran uang untuk mendapatkan layanan tersebut bervariasi dan dipatok mulai dari Rp300 ribu sampai dengan Rp20 juta yang kemudian disetorkan secara tunai ataupun melalui rekening bank penampung.
Rentang waktu 2019-2023, besaran jumlah uang yang diterima para tersangka sejumlah sekitar Rp6,3 Miliar dan masih akan dilakukan penelusuran serta pendalaman kembali, baik aliran uang maupun penggunaannya.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Permintaan maaf terbuka tersebut adalah tindak lanjut dari putusan etik Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait pelanggaran di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Cabang KPK.
Penjatuhan hukuman etik dilakukan oleh Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa terhadap dua pegawai terkait yakni Sopian Hadi (SH) dan Ristanta (RT).
“Penjatuhan hukuman etik ini sebagai bentuk tindak lanjut KPK mengeksekusi pelanggaran para pegawai sesuai Pasal 4 ayat 2 huruf b perihal Peraturan Dewan Pengawas Nomor 03 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK oleh Dewas,” kata Cahya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Cahya juga menyampaikan rasa keprihatinannya atas pelanggaran tersebut. Dia meminta kejadian seperti ini tidak terulang lagi, dan insan KPK dapat menjaga integritas serta nilai-nilai dasar lainnya dalam IS KPK (Integritas, Sinergi, Keadilan, Profesionalisme, Kepemimpinan).
Permintaan maaf terbuka dibacakan langsung oleh kedua terperiksa. Mereka mengakui telah melakukan pelanggaran etik berupa penyalahgunaan jabatan dan/atau wewenang untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan.
“Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut dan sebagai Insan KPK akan senantiasa bersikap, bertindak, dan/atau berbuat sesuai dengan Kode Etik dan Kode Perilaku. Dengan ini saya memberikan kuasa kepada Sekretaris Jenderal sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian untuk mengunggah rekaman permintaan maaf ini pada media komunikasi internal KPK,” ujar Sopian Hadi dan Ristanta.
Secara paralel, KPK juga memproses penegakan disiplin pegawainya yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Sekretariat Jenderal (Setjen) telah membentuk tim pemeriksa yang terdiri dari unsur Inspektorat KPK, Biro SDM KPK, Biro Umum KPK, dan atasan para pegawai terkait, untuk menindaklanjuti temuan pelanggaran tersebut.
Di samping itu, KPK pun melakukan upaya penindakan atas dugaan tindak pidana korupsinya dengan telah menahan 15 orang tersangka dalam perkara ini.
Untuk diketahui, Dewas KPK menyatakan para terperiksa terbukti melanggar Peraturan Dewas dengan melakukan penyalahgunaan wewenang dalam melakukan tugas jabatan sebagai insan KPK.
"Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan penyalahgunaan jabatan atau kewenangan yang dimiliki, termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai insan komisi, baik dalam pelaksana tugas maupun kepentingan pribadi dan atau golongan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 2 huruf B Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 tahun 2021," ujar Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam sidang kode etik di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan, Rabu (27/3).
Dalam sidang kode etik tersebut, Dewas KPK juga merekomendasikan ketiga pegawai lembaga antirasuah itu dikenakan hukuman disiplin kepegawaian.
"Merekomendasikan kepada pejabat pembina kepegawaian untuk melakukan pemeriksaan guna penjatuhan hukuman disiplin kepada terperiksa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.
Sebelumnya, tim penyidik KPK telah menetapkan Ristanta dan Sopian Hadi bersama 13 orang pegawai KPK lainnya sebagai tersangka dalam perkara pungli di Rutan cabang KPK.
Sebanyak 15 orang pegawai yang berstatus tersangka tersebut kini sedang menjalani penahanan di Rutan Polda Metro Jaya.
Para tersangka diketahui memberikan fasilitas eksklusif berupa percepatan masa isolasi, layanan menggunakan ponsel dan powerbank, hingga informasi sidak..
Besaran uang untuk mendapatkan layanan tersebut bervariasi dan dipatok mulai dari Rp300 ribu sampai dengan Rp20 juta yang kemudian disetorkan secara tunai ataupun melalui rekening bank penampung.
Rentang waktu 2019-2023, besaran jumlah uang yang diterima para tersangka sejumlah sekitar Rp6,3 Miliar dan masih akan dilakukan penelusuran serta pendalaman kembali, baik aliran uang maupun penggunaannya.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.