Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan harta Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh naik sebesar Rp3,49 miliar menjadi Rp5,19 miliar saat menjadi Hakim Agung pada 2017, dari sebelumnya sebesar Rp1,7 miliar saat menjadi Hakim Ad Hoc pada 2016.
Padahal, pemeriksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada Direktorat LHKPN KPK Deny Setianto menyebutkan pendapatan yang diterima Gazalba kala itu hanya sebesar Rp978,62 juta selama satu tahun.
"Total kekayaan tersebut sumbernya dari tanah dan bangunan, dengan asal-usul hasil sendiri," ujar Deny saat menjadi saksi kasus dugaan korupsi penanganan perkara Mahkamah Agung pada sidang pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dia memerinci harta kekayaan Gazalba saat menjadi Hakim Agung kamar pidana pada 2017, meliputi tanah dan bangunan senilai Rp3,9 miliar, alat transportasi dan mesin Rp255 juta, harta bergerak lain Rp53,88 juta, kas setara kas Rp1,36 juta, serta utang Rp380 juta.
Selanjutnya pada 2018, Deny mengatakan harta kekayaan Gazalba yang dilaporkan tercatat sedikit menurun menjadi Rp5,05 miliar, dengan pendapatan senilai Rp1,72 miliar.
Sementara pada tahun 2019 dan 2020, total kekayaan Gazalba tercatat meningkat menjadi masing-masing Rp6,2 miliar dan Rp7,4 miliar.
Ia menjelaskan pada tahun 2019, pendapatan Gazalba sebagai Hakim Agung tercatat sama dengan tahun sebelumnya, sedangkan pada tahun 2020 tercatat naik menjadi Rp2,1 miliar selama setahun.
"Pada tahun 2020, hartanya naik dari segi aset karena ada kenaikan pada harta tidak bergerak, nilainya yang naik karena bertambah tahun," ucap dia.
Kemudian pada tahun 2021, harta kekayaan Gazalba yang dilaporkan kembali meningkat menjadi Rp7,8 miliar meski pendapatannya tercatat menurun menjadi Rp1,7 miliar.
"Ini pelaporan terakhir LHKPN Pak Gazalba," ujar Deny.
Dalam kasus dugaan korupsi penanganan perkara di MA, Gazalba didakwa menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan total nilai Rp62,89 miliar.
Dugaan penerimaan itu meliputi gratifikasi senilai Rp650 juta serta TPPU terdiri atas 18.000 dolar Singapura (Rp216,98 juta), Rp37 miliar, 1,13 juta dolar Singapura (Rp13,59 miliar), 181.100 dolar AS (Rp2 miliar), dan Rp9,43 miliar dalam kurun waktu 2020–2022.
Gratifikasi yang diberikan kepada Gazalba terkait dengan pengurusan perkara kasasi pemilik Usaha Dagang (UD) Logam Jaya Jawahirul Fuad yang mengalami permasalahan hukum terkait dengan pengelolaan limbah B3 tanpa izin pada tahun 2017.
Uang gratifikasi itu diduga diterima Gazalba bersama-sama dengan pengacara Ahmad Riyadh selaku penghubung antara Jawahirul Fuad dan Gazalba pada tahun 2022 setelah pengucapan putusan perkara.
Gazalba menerima Rp200 juta dan Riyadh menerima uang sebesar Rp450 juta, atau total gratifikasi yang diterima keduanya sebesar Rp650 juta.
Selanjutnya uang hasil gratifikasi tersebut beserta uang dari penerimaan lain yang diterima Gazalba dijadikan dana untuk melakukan TPPU bersama-sama dengan kakak kandung terdakwa, Edy Ilham Shooleh, dan teman dekat terdakwa, Fify Mulyani.
Dengan demikian, perbuatan Gazalba terancam pidana dalam Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Padahal, pemeriksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada Direktorat LHKPN KPK Deny Setianto menyebutkan pendapatan yang diterima Gazalba kala itu hanya sebesar Rp978,62 juta selama satu tahun.
"Total kekayaan tersebut sumbernya dari tanah dan bangunan, dengan asal-usul hasil sendiri," ujar Deny saat menjadi saksi kasus dugaan korupsi penanganan perkara Mahkamah Agung pada sidang pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dia memerinci harta kekayaan Gazalba saat menjadi Hakim Agung kamar pidana pada 2017, meliputi tanah dan bangunan senilai Rp3,9 miliar, alat transportasi dan mesin Rp255 juta, harta bergerak lain Rp53,88 juta, kas setara kas Rp1,36 juta, serta utang Rp380 juta.
Selanjutnya pada 2018, Deny mengatakan harta kekayaan Gazalba yang dilaporkan tercatat sedikit menurun menjadi Rp5,05 miliar, dengan pendapatan senilai Rp1,72 miliar.
Sementara pada tahun 2019 dan 2020, total kekayaan Gazalba tercatat meningkat menjadi masing-masing Rp6,2 miliar dan Rp7,4 miliar.
Ia menjelaskan pada tahun 2019, pendapatan Gazalba sebagai Hakim Agung tercatat sama dengan tahun sebelumnya, sedangkan pada tahun 2020 tercatat naik menjadi Rp2,1 miliar selama setahun.
"Pada tahun 2020, hartanya naik dari segi aset karena ada kenaikan pada harta tidak bergerak, nilainya yang naik karena bertambah tahun," ucap dia.
Kemudian pada tahun 2021, harta kekayaan Gazalba yang dilaporkan kembali meningkat menjadi Rp7,8 miliar meski pendapatannya tercatat menurun menjadi Rp1,7 miliar.
"Ini pelaporan terakhir LHKPN Pak Gazalba," ujar Deny.
Dalam kasus dugaan korupsi penanganan perkara di MA, Gazalba didakwa menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan total nilai Rp62,89 miliar.
Dugaan penerimaan itu meliputi gratifikasi senilai Rp650 juta serta TPPU terdiri atas 18.000 dolar Singapura (Rp216,98 juta), Rp37 miliar, 1,13 juta dolar Singapura (Rp13,59 miliar), 181.100 dolar AS (Rp2 miliar), dan Rp9,43 miliar dalam kurun waktu 2020–2022.
Gratifikasi yang diberikan kepada Gazalba terkait dengan pengurusan perkara kasasi pemilik Usaha Dagang (UD) Logam Jaya Jawahirul Fuad yang mengalami permasalahan hukum terkait dengan pengelolaan limbah B3 tanpa izin pada tahun 2017.
Uang gratifikasi itu diduga diterima Gazalba bersama-sama dengan pengacara Ahmad Riyadh selaku penghubung antara Jawahirul Fuad dan Gazalba pada tahun 2022 setelah pengucapan putusan perkara.
Gazalba menerima Rp200 juta dan Riyadh menerima uang sebesar Rp450 juta, atau total gratifikasi yang diterima keduanya sebesar Rp650 juta.
Selanjutnya uang hasil gratifikasi tersebut beserta uang dari penerimaan lain yang diterima Gazalba dijadikan dana untuk melakukan TPPU bersama-sama dengan kakak kandung terdakwa, Edy Ilham Shooleh, dan teman dekat terdakwa, Fify Mulyani.
Dengan demikian, perbuatan Gazalba terancam pidana dalam Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.