Muara Teweh (ANTARA) - Polemik gagalnya beberapa kali pembahasan bahkan paripurna anggaran perubahan 2024 menuai kritik dan respon keras dari berbagai kalangan. Tak terkecuali tokoh organisasi massa Islam terbesar kedua di Indonesia, yaitu Muhammadiyah.
Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, menilai penggagalan pengesahan Perubahan APBD 2024, karena tidak memenuhi kuorum disebabkan mangkirnya 11 anggota DPRD setempat cenderung bermuatan politis.
"Jika kejadian ini tertaut dengan rentetan dan historikal yang mudah dibaca. Dari historikal tersebut rasanya sangat sulit kita menafikan jika enam kali kegagalan paripurma tidak bermuatan politis. Apalagi dikatakan demi kepentingan orang banyak," Sekretaris PD Muhammadiyah Barito Utara Dadang Ma’mun di Muara Teweh, Kamis.
Menurut dia, ada aturan mengenai batasan waktu pembahasan anggaran perubahan. Artinya itu emergency. Sejak awal harusnya mereka paham bagaimana caranya menyingkat waktu rapat supaya semua dinas terkait mendapat giliran.
"Bukan menghabiskan waktu pada satu dinas dan berputar pada domain definisi SILPA yang tak pernah bisa dipahami," tegas Dadang.
Dadang yang juga adalah Ketua Takmir Masjid Attaqwa ini mencoba meng-counter pendapat salah satu pentolan fraksi yang mengatakan ‘rasanya’ pernah mengajukan usulan ABT (APBD perubahan) pada waktu Covid-19 tapi ditolak.
Apakah sang pimpinan fraksi tak tahu, pada Covid-19 anggaran memang berfokus kepada refocusing pandemi, jelas saja ditolak. Jadi kasusnya berbeda. Apalagi jika katanya ini berbasis pada ungkapan ‘rasanya’ yang sangat sulit dipertanggungjawabkan.
“Mengenai penerimaan ASN dan PPPK yang bisa lewat mana saja, betul bisa. Tapi pelaksanaan seperti validasi keaslian berkas, tes CAT, itu tetap sektoral dan dilaksanakan di daerah formasi. Sebagai wakil rakyat harusnya tahu hal ini dan bisa berpikir secara obyektif melaksanakan amanah konstitusi dengan sebaik-baiknya. Tanpa mendahulukan ego dan kepentingan politik kelompok," sambung Dadang.
Dadang juga mengatakan, kenapa ini disebut bermuatan politis pilkada. Karena puluhan tahun hampir tak ada sejarah paripurna diboikot agar tidak disahkan. Sebab momennya bukan momen pilkada yang diliputi dengan kecurigaan akan adanya anggaran yang berpihak kepada salah satu paslon.
Tidak semua perencanaan sempurna, katanya, tujuan anggaran perubahan adalah meng-cover yang tidak terencana pada anggaran murni.
“Sikap ini sangat kekanakan. Seperti sikap anak kecil yang tak dapat permen, karena kepentingannya menikmati permen tak terpenuhi, lalu merajuk nggak mau sekolah,” kata Dadang menegaskan.
Informasi yang diterima ternyata di samping anggaran pendidikan dan kesehatan terkendala, juga ada beberapa rumah ibadah yang karena sudah disetujui TAPD mengingat waktu mendesak, lebih duluan merenovasi bahkan memesan ambal.
Ternyata tak bisa dibayarkan karena anggaran perubahan tak disetujui oleh anggota DPRD dari koalisi perubahan. Seperti Masjid Attaqwa Tumenggung Surapati dan Masjid Agung Karang Jawa. Tidak menutup kemungkinan ada juga rumah ibadah lain yang terkendala.
Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, menilai penggagalan pengesahan Perubahan APBD 2024, karena tidak memenuhi kuorum disebabkan mangkirnya 11 anggota DPRD setempat cenderung bermuatan politis.
"Jika kejadian ini tertaut dengan rentetan dan historikal yang mudah dibaca. Dari historikal tersebut rasanya sangat sulit kita menafikan jika enam kali kegagalan paripurma tidak bermuatan politis. Apalagi dikatakan demi kepentingan orang banyak," Sekretaris PD Muhammadiyah Barito Utara Dadang Ma’mun di Muara Teweh, Kamis.
Menurut dia, ada aturan mengenai batasan waktu pembahasan anggaran perubahan. Artinya itu emergency. Sejak awal harusnya mereka paham bagaimana caranya menyingkat waktu rapat supaya semua dinas terkait mendapat giliran.
"Bukan menghabiskan waktu pada satu dinas dan berputar pada domain definisi SILPA yang tak pernah bisa dipahami," tegas Dadang.
Dadang yang juga adalah Ketua Takmir Masjid Attaqwa ini mencoba meng-counter pendapat salah satu pentolan fraksi yang mengatakan ‘rasanya’ pernah mengajukan usulan ABT (APBD perubahan) pada waktu Covid-19 tapi ditolak.
Apakah sang pimpinan fraksi tak tahu, pada Covid-19 anggaran memang berfokus kepada refocusing pandemi, jelas saja ditolak. Jadi kasusnya berbeda. Apalagi jika katanya ini berbasis pada ungkapan ‘rasanya’ yang sangat sulit dipertanggungjawabkan.
“Mengenai penerimaan ASN dan PPPK yang bisa lewat mana saja, betul bisa. Tapi pelaksanaan seperti validasi keaslian berkas, tes CAT, itu tetap sektoral dan dilaksanakan di daerah formasi. Sebagai wakil rakyat harusnya tahu hal ini dan bisa berpikir secara obyektif melaksanakan amanah konstitusi dengan sebaik-baiknya. Tanpa mendahulukan ego dan kepentingan politik kelompok," sambung Dadang.
Dadang juga mengatakan, kenapa ini disebut bermuatan politis pilkada. Karena puluhan tahun hampir tak ada sejarah paripurna diboikot agar tidak disahkan. Sebab momennya bukan momen pilkada yang diliputi dengan kecurigaan akan adanya anggaran yang berpihak kepada salah satu paslon.
Tidak semua perencanaan sempurna, katanya, tujuan anggaran perubahan adalah meng-cover yang tidak terencana pada anggaran murni.
“Sikap ini sangat kekanakan. Seperti sikap anak kecil yang tak dapat permen, karena kepentingannya menikmati permen tak terpenuhi, lalu merajuk nggak mau sekolah,” kata Dadang menegaskan.
Informasi yang diterima ternyata di samping anggaran pendidikan dan kesehatan terkendala, juga ada beberapa rumah ibadah yang karena sudah disetujui TAPD mengingat waktu mendesak, lebih duluan merenovasi bahkan memesan ambal.
Ternyata tak bisa dibayarkan karena anggaran perubahan tak disetujui oleh anggota DPRD dari koalisi perubahan. Seperti Masjid Attaqwa Tumenggung Surapati dan Masjid Agung Karang Jawa. Tidak menutup kemungkinan ada juga rumah ibadah lain yang terkendala.