Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan Sekretaris Lembaga Perekonomian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LP PBNU) Zainal Abidin mangkir dari panggilan sebagai saksi kasus dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama pada 2023–2024.
“Yang bersangkutan tidak hadir ya dalam pemeriksaan itu,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin.
Oleh sebab itu, kata Budi, materi pemeriksaan terhadap Zainal Abidin belum dapat disampaikan ke publik, yakni mengenai kapasitasnya sebagai Sekretaris LP PBNU atau Komisaris PT Superintending Company of Indonesia atau Sucofindo (Persero).
Baca juga: KPK ungkap kasus kuota haji khusus dijual ke sesama biro haji
Sebelumnya, Zainal Abidin dipanggil KPK sebagai saksi kasus kuota haji, yakni pada 4 September 2025.
Sebelumnya, KPK mengumumkan memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024, yakni pada 9 Agustus 2025.
Pengumuman dilakukan KPK setelah meminta keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam penyelidikan kasus tersebut pada 7 Agustus 2025.
Baca juga: Menteri agama terseret dugaan aliran dana kasus kuota haji, KPK beri sinyal
Pada saat itu, KPK juga menyampaikan sedang berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus kuota haji tersebut.
Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp1 triliun lebih, dan mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri. Salah satunya adalah mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Baca juga: Aliran dana kasus kuota haji ke PBNU, KPK lakukan penelusuran
Selain ditangani KPK, Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menyatakan pihaknya telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.
Poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.
Baca juga: KPK sita dua rumah ASN Kemenag Rp6,5 miliar terkait kasus korupsi kuota haji
Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler.
Baca juga: KPK periksa Wasekjen GP Ansor terkait kasus dugaan korupsi kuota haji
Baca juga: KPK usut dugaan korupsi kuota haji saat periksa Ketum Amphuri