London (ANTARA
News) - Lebih dari dua puluh anak-anak dan remaja Indonesia diajak
bermainan permainan tradisional yang biasa ditemui dan dimainkan
anak-anak di tanah air yang diadakan di taman depan gedung KBRI di
London, akhir pekan.
Koordinator kegiatan Fitri Yantin kepada ANTARA London, Senin mengatakan anak-anak warga Indonesia yang tinggal di London dan sekitarnya diajak untuk mengenal permainan tradisional di tanah air.
Dikatakannya biasanya anak anak berceloteh satu sama lain dengan menggunakan bahasa Inggris sambil menenteng smartphone atau tablet, perangkat komunikasi modern, kali ini diajak bermain.
Mereka berdiri saling membelakangi dan mengangkat kaki yang ditumpukan satu sama lain sambil mencoba berlompatan dan bertepuk tangan. Mereka sedang mencoba bermain dingklik oglak-aglik, permainan anak-anak yang populer di desa-desa Indonesia.
Namun, tidak sampai dua tiga kali loncatan kaitan antar kaki itu sudah terlepas dan lingkaran kecil itu sudah berantakan. Anak-anak itu pun terduduk sambil tertawa riang.
Selain dingklik oglak-aglik, ada juga permainan dampu, gobak sodor, dampar serta congklak. " Indonesia juga di sampaikan ke peserta melalui kuiz menarik yang dipandu seorang mentor, Retno Daru, pelajar di Brunel University.
Kegiatan dibuka Atase Pendidikan KBRI London Prof. Fauzi Soelaiman dengan mengajak putera-puteri warga Indonesia di London dan sekitarnya untuk mengenal budaya Indonesia.
Menurut Fitri Yantin, koordinator kegiatan yang sedang menyelesaikan sekolahnya di University of Roehampton, kegiatan diadakan untuk memperkenalkan ragam budaya Indonesia melalui berbagai jenis permainan tradisional tanah air kepada putera-puteri Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Dunia anak adalah dunia bermain, begitu juga remaja mereka tidak suka akan hal- hal yang terlalu serius, karenanya pengenalan ragam budaya juga disesuaikan dengan hal-hal yang disukai oleh anak.
Di negara dengan empat musim seperti di Inggris, permainan anak-anak yang sifatnya kolektif cenderung sulit ditemukan karena faktor cuaca. Walapun saat ini sudah memasuki summer (musim panas), matahari masih sulit ditemukan.
Kegiatan ini yang sedianya dilakukan di Grosvenor Square Garden taman di depan KBRI terpaksa dipindahkan di dalam gedung KBRI karena tiba-tiba turun hujan disertai dengan angin yang cukup kencang.
Anak-anak dan remaja nampak antusias dengan berbagai jenis permaianan tradisional itu, yang selama ini menghabiskan waktu dengan permainan elektronik dan virtual atau cenderung menyukai olahraga yang populer di Inggris seperti sepakbola, rugby dan cricket.
Memang tidak mudah bagi anak-anak Indonesia di London untuk memainkan permainan-permainan tersebut, seperti disampaikan Al Khanif, fasilitator utama permainan yang juga mahasiswa PhD di SOAS, University of London.
Dalam permainan gobak sodor misalnya, permainan cukup dilakukan dengan menahan pergerakan anak lainnya, tetapi sebagian anak menggunakan cara sliding seperti di sepak bola untuk melakukan tackle.
Untuk menambah semarak dan kebersamaan peserta juga diajak memainkan tongkat terbang dan ular naga bersama mentor-mentor yang lain, Rika Reviza dan Maria Rosa, yang keduanya tengah melanjutkan studi di University of Greenwich.
Pada bagian akhir acara peserta di minta menyampaikan pandangannya mengenai makna dari setiap permainan tersebut.
Para peserta pun diajak menyanyikan lagu nasional yang berjudul Tanah Air yang diharapkan dapat menambah rasa cinta dan bangga sebagai anak Indonesia walau berada jauh di belahan benua lain.
Defvany Aprilia, mahasiswi di University of Westminster yang menjadi mentor mengakui antusisme anak-anak dan remaja mengikuti acara menunjukkan antusismenya yang tinggi, bahkan terasa berlebih sehingga seringkali Defvany pun kewalahan untuk mengatur para peserta.
Tak jarang, mentor harus mengalah pada keinginan anak untuk bermain dengan caranya walaupun berbeda dengan tata cara permainan yang sebenarnya.
Bagi KBRI, kesempurnaan memainkan permainan bukanlah tujuan utama. Prof. Fauzi Soelaiman, Atase Pendidikan yang menggagas kegiatan ini, berharap agar anak Indonesia memiliki memori di dalam masa kecilnya mengenai akar budaya Indonesia.
Dikatakannya memori ini penting bagi mereka yang tinggal dan besar di luar negeri untuk membangun ikatan dengan identitas keIndonesiaan.
Dubes RI di London, T. M. Hamzah Thayeb, mendukung kegiatan dan mendorong agar kegiatan serupa dapat dilanjutkan dengan kegiatan yang bervariasi seperti mengenal pencak silat, melatih kemampuan berbahasa serta mengingat kembali sejarah Indonesia.(ZG)
Koordinator kegiatan Fitri Yantin kepada ANTARA London, Senin mengatakan anak-anak warga Indonesia yang tinggal di London dan sekitarnya diajak untuk mengenal permainan tradisional di tanah air.
Dikatakannya biasanya anak anak berceloteh satu sama lain dengan menggunakan bahasa Inggris sambil menenteng smartphone atau tablet, perangkat komunikasi modern, kali ini diajak bermain.
Mereka berdiri saling membelakangi dan mengangkat kaki yang ditumpukan satu sama lain sambil mencoba berlompatan dan bertepuk tangan. Mereka sedang mencoba bermain dingklik oglak-aglik, permainan anak-anak yang populer di desa-desa Indonesia.
Namun, tidak sampai dua tiga kali loncatan kaitan antar kaki itu sudah terlepas dan lingkaran kecil itu sudah berantakan. Anak-anak itu pun terduduk sambil tertawa riang.
Selain dingklik oglak-aglik, ada juga permainan dampu, gobak sodor, dampar serta congklak. " Indonesia juga di sampaikan ke peserta melalui kuiz menarik yang dipandu seorang mentor, Retno Daru, pelajar di Brunel University.
Kegiatan dibuka Atase Pendidikan KBRI London Prof. Fauzi Soelaiman dengan mengajak putera-puteri warga Indonesia di London dan sekitarnya untuk mengenal budaya Indonesia.
Menurut Fitri Yantin, koordinator kegiatan yang sedang menyelesaikan sekolahnya di University of Roehampton, kegiatan diadakan untuk memperkenalkan ragam budaya Indonesia melalui berbagai jenis permainan tradisional tanah air kepada putera-puteri Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Dunia anak adalah dunia bermain, begitu juga remaja mereka tidak suka akan hal- hal yang terlalu serius, karenanya pengenalan ragam budaya juga disesuaikan dengan hal-hal yang disukai oleh anak.
Di negara dengan empat musim seperti di Inggris, permainan anak-anak yang sifatnya kolektif cenderung sulit ditemukan karena faktor cuaca. Walapun saat ini sudah memasuki summer (musim panas), matahari masih sulit ditemukan.
Kegiatan ini yang sedianya dilakukan di Grosvenor Square Garden taman di depan KBRI terpaksa dipindahkan di dalam gedung KBRI karena tiba-tiba turun hujan disertai dengan angin yang cukup kencang.
Anak-anak dan remaja nampak antusias dengan berbagai jenis permaianan tradisional itu, yang selama ini menghabiskan waktu dengan permainan elektronik dan virtual atau cenderung menyukai olahraga yang populer di Inggris seperti sepakbola, rugby dan cricket.
Memang tidak mudah bagi anak-anak Indonesia di London untuk memainkan permainan-permainan tersebut, seperti disampaikan Al Khanif, fasilitator utama permainan yang juga mahasiswa PhD di SOAS, University of London.
Dalam permainan gobak sodor misalnya, permainan cukup dilakukan dengan menahan pergerakan anak lainnya, tetapi sebagian anak menggunakan cara sliding seperti di sepak bola untuk melakukan tackle.
Untuk menambah semarak dan kebersamaan peserta juga diajak memainkan tongkat terbang dan ular naga bersama mentor-mentor yang lain, Rika Reviza dan Maria Rosa, yang keduanya tengah melanjutkan studi di University of Greenwich.
Pada bagian akhir acara peserta di minta menyampaikan pandangannya mengenai makna dari setiap permainan tersebut.
Para peserta pun diajak menyanyikan lagu nasional yang berjudul Tanah Air yang diharapkan dapat menambah rasa cinta dan bangga sebagai anak Indonesia walau berada jauh di belahan benua lain.
Defvany Aprilia, mahasiswi di University of Westminster yang menjadi mentor mengakui antusisme anak-anak dan remaja mengikuti acara menunjukkan antusismenya yang tinggi, bahkan terasa berlebih sehingga seringkali Defvany pun kewalahan untuk mengatur para peserta.
Tak jarang, mentor harus mengalah pada keinginan anak untuk bermain dengan caranya walaupun berbeda dengan tata cara permainan yang sebenarnya.
Bagi KBRI, kesempurnaan memainkan permainan bukanlah tujuan utama. Prof. Fauzi Soelaiman, Atase Pendidikan yang menggagas kegiatan ini, berharap agar anak Indonesia memiliki memori di dalam masa kecilnya mengenai akar budaya Indonesia.
Dikatakannya memori ini penting bagi mereka yang tinggal dan besar di luar negeri untuk membangun ikatan dengan identitas keIndonesiaan.
Dubes RI di London, T. M. Hamzah Thayeb, mendukung kegiatan dan mendorong agar kegiatan serupa dapat dilanjutkan dengan kegiatan yang bervariasi seperti mengenal pencak silat, melatih kemampuan berbahasa serta mengingat kembali sejarah Indonesia.(ZG)