Markas Besar PBB,
(ANTARA News) - Presiden Bolivia Evo Morales mendesak pemindahan Markas
Besar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dari New York, karena sikap
Amerika Serikat yang "memeras" dan mengintimidasi.
Pemimpin sosialis Morales menyerang pemerintah AS atas tindakannya terhadap Presiden Venezuela Nicolas Maduro dan mengutuk sikap imperialis AS, dalam pidato berapi-api selama 40 menit di hadapan Sidang Majelis Umum PBB.
"Kita harus memikirkan secara serius mengenai pemindahan markas besar PBB," kata Morales, tokoh sentral pemimpin sayap kiri Amerika Latin setelah meninggalnya presiden Venezuela Hugo Chavez.
"Markas besar seharusnya berada di negara yang sudah meratifikasi semua konvensi PBB," katanya.
"Bagaimana kita bisa aman berada dalam pertemuan di PBB di sini, di New York? Mungkin tidak semua," tambah dia.
"Beberapa tidak percaya pada imperialisme dan kapitalisme dan benar-benar merasa tidak aman," kata Morales, merujuk pada perseteruan Morales dengan otoritas AS terkait kehadirannya di pertemuan puncak PBB itu.
Morales menunjukkan solidaritasnya terhadap presiden Venezuela yang menuduh AS telah menolak izinnya melintasi wilayah udara AS untuk menuju China, serta menolak visa beberapa stafnya ke sidang PBB.
Maduro dijadwalkan berbicara pada sidang PBB, Rabu namun ia membatalkan kunjungannya.
Pemerintah AS mengatakan surat permohonan untuk melintasi wilayah udara AS tidak diisi dengan benar dan menyangkal telah menolak visa untuk beberapa delegasi Venezuela.
"Tidak ada jaminan visa, tidak ada jaminan penerbangan. Kami merasa terancam, terintimidasi, dan diperas lewat visa ini," katanya seraya menambahkan bahwa AS "tidak pernah meratifikasi konvensi terkait hak asasi manusia."
Morales mengatakan ia tidak yakin Bolivia ataupun negara lain di Amerika Latin sanggup menjadi markas besar PBB.
Markas besar PBB berada di New York sejak badan dunia itu dibentuk pada 1945. Markas besar dipindah ke area seluas 18 acre menghadap East River pada 1952.
Pemimpin sosialis Morales menyerang pemerintah AS atas tindakannya terhadap Presiden Venezuela Nicolas Maduro dan mengutuk sikap imperialis AS, dalam pidato berapi-api selama 40 menit di hadapan Sidang Majelis Umum PBB.
"Kita harus memikirkan secara serius mengenai pemindahan markas besar PBB," kata Morales, tokoh sentral pemimpin sayap kiri Amerika Latin setelah meninggalnya presiden Venezuela Hugo Chavez.
"Markas besar seharusnya berada di negara yang sudah meratifikasi semua konvensi PBB," katanya.
"Bagaimana kita bisa aman berada dalam pertemuan di PBB di sini, di New York? Mungkin tidak semua," tambah dia.
"Beberapa tidak percaya pada imperialisme dan kapitalisme dan benar-benar merasa tidak aman," kata Morales, merujuk pada perseteruan Morales dengan otoritas AS terkait kehadirannya di pertemuan puncak PBB itu.
Morales menunjukkan solidaritasnya terhadap presiden Venezuela yang menuduh AS telah menolak izinnya melintasi wilayah udara AS untuk menuju China, serta menolak visa beberapa stafnya ke sidang PBB.
Maduro dijadwalkan berbicara pada sidang PBB, Rabu namun ia membatalkan kunjungannya.
Pemerintah AS mengatakan surat permohonan untuk melintasi wilayah udara AS tidak diisi dengan benar dan menyangkal telah menolak visa untuk beberapa delegasi Venezuela.
"Tidak ada jaminan visa, tidak ada jaminan penerbangan. Kami merasa terancam, terintimidasi, dan diperas lewat visa ini," katanya seraya menambahkan bahwa AS "tidak pernah meratifikasi konvensi terkait hak asasi manusia."
Morales mengatakan ia tidak yakin Bolivia ataupun negara lain di Amerika Latin sanggup menjadi markas besar PBB.
Markas besar PBB berada di New York sejak badan dunia itu dibentuk pada 1945. Markas besar dipindah ke area seluas 18 acre menghadap East River pada 1952.