Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan penerapan hukuman kebiri bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak perlu dikaji mendalam dan komprehensif.
"Pada prinsipnya saya sepakat dilakukan pemberatan hukuman terhadap pelaku pedofolia. Namun, saya mendengar bahwa hukuman yang akan dijatuhkan adalah hukuman kebiri atau pemutusan libido seksual," kata Saleh Partaonan Daulay melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis.
Terkait dengan wacana tersebut, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menanyakan kira-kira apa batasan hukuman kebiri tersebut. Apakah betul-betul memutus ataukah hanya mengurangi libido seksual?
Kemudian, kekerasan seksual seperti apa yang menyebabkan seseorang dijatuhi hukuman kebiri? Menurut Saleh, hal itu perlu dijelaskan secara baik sehingga masyarakat bisa memahami dan memberikan penilaian tentang layak tidaknya seseorang dijatuhi hukuman seperti itu.
"Bila hukuman kebiri diterapkan, lalu siapakah yang akan melakukan eksekusi hukuman kebiri tersebut? Apakah jaksa atau dokter? Bila dokter yang melakukannya, perlu juga dikaji apakah bertentangan dengan kode etik kedokteran atau tidak," tuturnya.
Sebab, selama ini yang diketahui masyarakat tentang tugas dokter adalah merawat dan menyembuhkan orang yang sakit. Sebaliknya hukuman kebiri sifatnya justru mendisfungsikan organ vital manusia.
Yang juga perlu dikaji adalah apakah dengan mengebiri para pelaku akan menyelesaikan masalah atau malah sebaliknya? Apakah ada jaminan pelaku tidak mengulangi perbuatannya ketika dilepas kembali ke masyarakat?"
"Atau malah sebaliknya, pelakunya akan melakukan tindakan kriminal lain karena motif balas dendam. Saya memandang bahwa pedofilia adalah penyakit psikis yang perlu penanganan khusus yang tidak mustahil disembuhkan," katanya.
Saleh juga berpendapat hukuman kebiri bisa bias gender. Bagaimana bila kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh perempuan dewasa?
"Apakah harus dikebiri juga? Bila dikebiri apa yang dikebiri? Faktanya, kekerasan seksual pada anak tidak hanya dilakukan oleh laki-laki. Sementara, hukum harus mengikat setiap orang tanpa memandang jenis kelamin bahkan strata sosial yang dimiliki seseorang," pungkasnya.
"Pada prinsipnya saya sepakat dilakukan pemberatan hukuman terhadap pelaku pedofolia. Namun, saya mendengar bahwa hukuman yang akan dijatuhkan adalah hukuman kebiri atau pemutusan libido seksual," kata Saleh Partaonan Daulay melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis.
Terkait dengan wacana tersebut, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menanyakan kira-kira apa batasan hukuman kebiri tersebut. Apakah betul-betul memutus ataukah hanya mengurangi libido seksual?
Kemudian, kekerasan seksual seperti apa yang menyebabkan seseorang dijatuhi hukuman kebiri? Menurut Saleh, hal itu perlu dijelaskan secara baik sehingga masyarakat bisa memahami dan memberikan penilaian tentang layak tidaknya seseorang dijatuhi hukuman seperti itu.
"Bila hukuman kebiri diterapkan, lalu siapakah yang akan melakukan eksekusi hukuman kebiri tersebut? Apakah jaksa atau dokter? Bila dokter yang melakukannya, perlu juga dikaji apakah bertentangan dengan kode etik kedokteran atau tidak," tuturnya.
Sebab, selama ini yang diketahui masyarakat tentang tugas dokter adalah merawat dan menyembuhkan orang yang sakit. Sebaliknya hukuman kebiri sifatnya justru mendisfungsikan organ vital manusia.
Yang juga perlu dikaji adalah apakah dengan mengebiri para pelaku akan menyelesaikan masalah atau malah sebaliknya? Apakah ada jaminan pelaku tidak mengulangi perbuatannya ketika dilepas kembali ke masyarakat?"
"Atau malah sebaliknya, pelakunya akan melakukan tindakan kriminal lain karena motif balas dendam. Saya memandang bahwa pedofilia adalah penyakit psikis yang perlu penanganan khusus yang tidak mustahil disembuhkan," katanya.
Saleh juga berpendapat hukuman kebiri bisa bias gender. Bagaimana bila kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh perempuan dewasa?
"Apakah harus dikebiri juga? Bila dikebiri apa yang dikebiri? Faktanya, kekerasan seksual pada anak tidak hanya dilakukan oleh laki-laki. Sementara, hukum harus mengikat setiap orang tanpa memandang jenis kelamin bahkan strata sosial yang dimiliki seseorang," pungkasnya.